Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSIS sebulan sebelum bencana gempa dan tsunami dahsyat itu datang bergulung-gulung, Susilo Bambang Yudhoyono mampir ke Nanggroe Aceh Darussalam. Penjagaan begitu ketatnya di ibu kota provinsi yang dilanda pemberontakan bersenjata itu. Sekitar tiga batalion tentara dan polisi siaga di sepanjang jalan dan juga di tiap sudut kota. Inilah kunjungan pertama Yudhoyono sebagai Presiden Republik Indonesia ke Banda Aceh, 26 November lalu.
Saat itu, kurang-lebih baru sebulan SBY duduk di kursi presiden. Seperti janjinya semasa kampanye, Aceh menjadi salah satu prioritas pemerintah baru SBY-Jusuf Kalla. Pada kunjungan perdana itu, SBY seperti hendak mempertegas bahwa solusi Aceh harus lewat jalan "aman, damai, dan bermartabat". Maklum, kalau dihitung sejak rezim Orde Baru, Presiden RI sudah berganti empat kali. Berkali-kali pula operasi militer digelar di Bumi Rencong itu. Tapi problem pemberontakan bersenjata di Aceh tak juga kunjung selesai.
Sebetulnya, solusi politik bagi Aceh sudah dirintis pemerintahan sebelum Yudhoyono. Ketika Megawati menjadi presiden, misalnya, parlemen sudah mengegolkan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Aceh. Meniti arah yang sama, SBY melihat otonomi khusus adalah kompromi maksimal mengatasi tuntutan kemerdekaan dari GAM. Bagi Indonesia, negara kesatuan adalah harga mati yang tak bisa ditawar. Sedangkan GAM menyodorkan merdeka sebagai harga pas.
Itu sebabnya, otonomi khusus dalam pandangan SBY adalah jalan keluar terbaik menyelesaikan permusuhan politik. "Bila konflik berlanjut, korban terus jatuh. Pembangunan terhambat, kesejahteraan rakyat tak bisa ditingkatkan," ujarnya di Banda Aceh.
Ketika berkunjung ke sana, SBY baru sepekan memperpanjang kembali status darurat sipil. Sebelumnya, hampir dua tahun Aceh tercekam darurat militer. Status darurat sipil diberlakukan karena, berdasarkan laporan TNI, kekuatan Gerakan Aceh Merdeka sudah dapat dikikis lebih dari separuh. Meski begitu, Jakarta memutuskan operasi militer tetap berlangsung di sana.
Bedanya, kini tawaran damai bagi Gerakan Aceh Merdeka kembali terbuka. Bahkan Yudhoyono melangkah maju dengan menawarkan amnesti. "Saya akan berbicara dengan DPR untuk memikirkan bergabungnya kembali saudara GAM dengan kebijakan amnesti," katanya. Bagi SBY, amnesti adalah bagian dari paket penawar konflik. Bila sengketa itu selesai, konsentrasi pemerintah selanjutnya, kata Yudhoyono, membangun Aceh dengan agenda, sasaran, dan kerangka yang konkret.
Sejak hari pertama duduk di kursi RI-1, SBY tampaknya sudah menyiapkan strategi khusus bagi penyelesaian Aceh. Dengan bantuan Wakil Presiden Jusuf Kalla, SBY mencoba mendekati "jalur belakang" terhadap para anggota Gerakan Aceh Merdeka yang berpengaruh. Di lapangan, peran Menteri Kehakiman dan HAM Hamid Awaluddin sangat penting.
Sejumlah sumber yang dihimpun Tempo mengatakan SBY telah menunjuk Kalla untuk merintis dialog kembali dengan GAM. Dalam soal ini, tampaknya duet SBY dan Kalla mencoba mengulang cerita sukses saat menjadi mediator konflik Poso dan Ambon. Saat itu keduanya masih menjadi menteri koordinator dalam kabinet Megawati. Kalla diketahui sudah lama mencoba merintis kontak dengan petinggi GAM, baik yang berada di lapangan maupun di luar negeri.
Tak mengherankan, ketika pertemuan antara utusan RI dan GAM berlangsung pekan ini di Helsinki, Finlandia, yang menjadi pusat koordinasi adalah kantor Wakil Presiden, bukan Departemen Luar Negeri. Sejumlah orang dekat Kalla, baik sipil maupun militer, terlihat begitu sibuk dalam proyek dialog damai ini.
Semua upaya itu memang sangat rahasia. Baik Wakil Presiden Jusuf Kalla maupun Menteri Hamid menolak berkomentar kepada media. "Wah, saya tak tahu soal dialog damai itu," ujar Hamid, akhir Oktober lalu. Sumber terdekat Jusuf Kalla menyebut bahwa pemerintah menutup rapat proses ini karena sangat sensitif bagi kedua belah pihak. Pemberitaan yang keliru, kata sumber itu, bisa membatalkan semua rencana perdamaian.
Tapi, musibah gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam ternyata tak menunggu SBY-Kalla berkuasa sampai 100 hari. Gelombang tsunami telah melumpuhkan Banda Aceh dan Meulaboh pada 26 Desember lalu. Permukiman warga di bibir pantai barat dan sebagian timur Aceh lenyap. Sedikitnya 150 ribu warga Aceh tewas dan 600 ribu lainnya menjadi pengungsi. Tentu, bencana itu kini menjadi beban kerja luar biasa bagi SBY-Kalla.
Misalnya, pemerintah harus menyiapkan ongkos rehabilitasi dan rekonstruksi bagi Serambi Mekah. Jumlahnya luar biasa besar, sekitar Rp 20 triliun. Itu pun, kata Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan Mulia P. Nasution, adalah hasil penilaian cepat dan kasar Departemen Pekerjaan Umum. "Kalau melihat kerusakan, terutama seluruh aset dan milik masyarakat, jumlahnya bisa lebih besar," katanya. Gawatnya, dana darurat sangat terbatas. Untuk 2005 saja, duit yang tersedia hanya Rp 2 triliun. Itu pun cuma separuhnya digunakan bagi Aceh dan Sumatera Utara.
Di luar perkara ekonomi itu, masalah Aceh menjadi lebih rumit lagi pasca-tsunami. Dipastikan, tragedi itu turut mengubah lanskap sosial dan politik. Soal resolusi konflik, yang dulu domi-nan, kini mendadak menjadi problem nomor dua. Isu terpenting sekarang adalah program sosial-ekonomi agar Aceh kembali bergeliat.
Tentu saja, kecakapan kepemimpinan menjadi penting dalam situasi krisis seperti di Aceh. Misalnya, reaksi cepat, seperti ditunjukkan Wakil Presiden Kalla yang hadir di Banda Aceh sehari setelah bencana, sangat patut dicatat.
Meski begitu, bencana tampaknya punya sisi lain yang tak terduga. Sejumlah momentum politik dan ekonomi mendadak terbuka dan memberikan percepatan penting. Dari sudut politik, misalnya, terbuka peluang bernegosiasi kembali dengan GAM. Tapi, bekas Menteri HAM Hasballah M. Saad, yang juga tokoh masyarakat Aceh, mengatakan perundingan itu sedapat mungkin harus mencerminkan keinginan rakyat Aceh yang kini tertimpa bencana. "Juru runding seharusnya mendapat masukan langsung dari rakyat," ujarnya.
Presiden, yang mengutus empat menteri dan seorang jenderal bintang dua TNI ke Helsinki, kata Hasballah, adalah bentuk keseriusan pemerintah menyelesaikan Aceh secara damai. Juga penunjukan mediator Crisis Management Initiative, yang diketuai oleh bekas Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, adalah peningkatan kualitas dibandingkan dengan proses dialog sebelumnya. "Lembaga itu dihormati oleh kedua pihak," ujarnya. Dia berharap, hasil perundingan segera bisa memberikan atmosfer perdamaian di Aceh.
Namun, belum begitu jelas ke mana arah perdamaian itu akan bergerak di masa depan. Dalam soal ini, efektivitas hasil menjadi penting ketimbang adu mulut di meja runding. Apalagi, proyek itu terkesan tertutup, sampai-sampai koordinasi antar-instansi pun tak muncul. Pihak Departemen Luar Negeri, misalnya, tak berani berkomentar karena segala urusan dialog perdamaian ini dikerjakan oleh tim khusus Wakil Presiden.
Percepatan lain adalah pembentukan Badan Otorita Aceh. Menurut Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, rancangan badan khusus itu belum final. Soalnya, pemerintah masih melihat aspek lain, semisal Aceh sebagai daerah otonomi khusus. "Agar kewenangan berbagai instansi yang menangani bencana di Aceh tidak saling tumpang tindih," ujar Yusril.
Badan itu rencananya akan bekerja untuk tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Pemerintah Daerah Aceh tetap berjalan seperti biasa. Hanya, "Tugas rehabilitasi dan rekonstruksi lebih dibebankan kepada Badan Otorita," ujarnya. Sementara itu, Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas) lebih berfokus pada tugas darurat pasca-bencana.
Kerja untuk Aceh memang tak bisa diukur dalam 100 hari. Setelah bencana gempa dan tsunami, ukuran keberhasilan bagi Aceh kian beragam. Misalnya, pemilihan kepala daerah di Aceh terpaksa tertunda dari jadwal pertengahan tahun ini. Kemudian, status Aceh yang masih darurat sipil bisa bertumbukan dengan Badan Otorita dalam soal kewenangan tertinggi di Tanah Rencong itu. Dalam bahasa Hasballah, "Jangan sampai di Aceh begitu banyak orang menjadi penguasa."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo