PENEMBAKAN Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, tiga pekan lalu, membawa tim penyelidik polisi ke arah putra bungsu bekas presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy. Pernyataan dari saksi-saksi yang diperiksa—hakim agung serta istri dan kawan-kawan dekat almarhum—mengarah ke dia. Menurut Sunu Wahadi, hakim agung yang menjadi anggota majelis hakim saat memutus kasus Tommy, Syafiuddin bercerita bahwa rumahnya pernah diancam akan dibom. "Pada hari penembakan Syafiuddin itu, saya juga diteror," katanya.
Dari kawan-kawan dekat korban, polisi mendapat informasi bahwa Syafiuddin pernah mendengar ancaman Tommy itu—karena Tommy merasa sudah pernah memberikan sejumlah uang agar kasusnya ditutup. "Kamu sudah menerima uang, kok, Tommy masih divonis bersalah juga?" begitu bunyi ancamannya. Dari situ polisi pun mengarahkan penyelidikan ke kawan-kawannya sendiri.
Polisi berhasil memperoleh satu nama berinisial LM, teman Tommy yang sering datang ke Jalan Cendana. Dia diperiksa polisi, lalu dilepaskan, tapi handphone dan telepon rumahnya disadap. Dalam salah satu percakapan telepon, LM mengatakan tahu tentang penembakan Syafiuddin. LM bilang ke lawan bicaranya agar kasus ini jangan sampai jadi ramai dan minta agar Fery Hukom "si ember bocor"—biasa banyak omong—diamankan.
Polisi lalu mengikuti Fery, teman Tommy di STM Penerbangan, Kebayoran Baru, Jakarta. Setelah lima hari membuntutinya, polisi mulai punya gambaran jelas. Seorang pramusaji bar di bilangan Jakarta Selatan, tempat Fery biasa nongkrong, diminta membantu polisi mendekati dan masuk ke mobil lelaki itu. Dari selidikan polisi diketahui bahwa Fery membawa sejumlah dokumen yang diletakkan di jok belakang BMW-nya. Bargirl tadi diminta oleh polisi agar mencari dokumen yang berhubungan dengan kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin. Kerja perempuan itu sukses. Ia berhasil melihat dokumen itu. Isinya denah rumah Syafiuddin dan kegiatannya. Fery diikuti polisi sampai ke rumahnya di kawasan Pamulang, Tangerang, Jawa Barat. Esok paginya, Sabtu dua pekan lalu, polisi menggerebeknya.
Di rumah tersebut, polisi menemukan dokumen itu, juga akta kelahiran dan KTP Tommy yang baru, dengan nama Ibrahim, lengkap dengan foto Tommy yang berewokan. Selain itu, ditemukan denah dan hasil survei atas dua hakim agung lainnya, Sunu Wahadi dan Paulus Effendy Lotulong. Kepada polisi, Fery mengakui, survei rute hakim-hakim agung dilakukan atas perintah Deddy S. Yusuf.
Siang itu juga polisi menangkap Deddy di rumahnya di Graha Hijau, Ciputat, saat hendak main tenis. Ia mengaku diperintah Tommy agar Fery melakukan survei atas rumah Syafiuddin. Hasil surveinya diserahkan kepada Heti Siti Hartika, yang tinggal di Apartemen Cemara, Menteng, Jakarta Pusat. Selama ini, Hetilah yang berhubungan dengan Tommy. Polisi lantas menangkapnya tak jauh dari Apartemen Cemara. Perempuan ini mengaku menyerahkan hasil survei rumah dan kegiatan Syafiuddin kepada Iyok, pembantu rumah tangga laki-laki kepercayaan Mbak Tutut. Sayangnya, Iyok saat ini sedang ke Boston, AS.
Selain menyebut nama Heti, Deddy menyeret nama Dodi Hardjito, teman Tommy sejak kecil. Polisi memaksa Deddy menghubungi Dodi dan membuat janji bertemu di sebuah restoran di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Polisi yang menyaru dan mengendarai taksi menangkap Dodi. Dari dirinya meluncur cerita bahwa Tommy mengaku sakit hati terhadap Syafiuddin dan ia mengajaknya membunuh sang Hakim Agung. Tapi Dodi tak mau dengan alasan tak mahir mengendarai sepeda motor RX King yang baru dibeli Tommy. Lalu, ia mencarikan orang yang bisa dipercaya, Maulawarman alias Mola.
Mola menyanggupi order itu. Alasannya adalah uang dan utang budi kepada Dodi yang memasukkannya bekerja di tempat milik kakaknya di restoran driving range golf di Senayan. Semula Tommy sendiri yang akan mengeksekusi Syafiuddin. Tapi Mola menolak dan menawarkan temannya, Novel Haddad. Tommy setuju. Kepada Novel, Mola hanya memberitahukan bahwa sasarannya adalah musuh bosnya dan ia dijanjikan bayaran Rp 100 juta untuk berdua.
Tommy membayar kedua orang itu US$ 10 ribu sebelum eksekusi. Senjata beserta denah hasil survei soal kebiasaan, ciri-ciri fisik, dan mobil yang dikendari Syafiuddin juga diberikan Tommy kepada Mola. Senjata itu diserahkan kepada Novel dan sehari sebelum pembunuhan dicoba di rumah Mola. Mereka lalu menginap di Hotel By Pass—sebutan lain untuk Hotel Patra Jasa—di Jalan Ahmad Yani. Pagi pada hari kejadian pembunuhan itu, mereka ke tempat sasaran.
Pada hari-H itu, mereka lalu mengikuti Syafiuddin dari rumahnya di Sunter. Tepat di pintu air di Jalan Serdang, mobil calon korban dipepet, lalu Novel menembak—satu kena pintu, sementara satunya lagi menghantam kaca mobil Honda CRV dan tembus melukai bahu Syafiuddin. Sesudah mobil korban menabrak tukang cukur, Novel mendekat ke sasaran dan—bak jagoan dalam film western—menembak dua kali lagi. Satu diarahkan ke jantung, sedangkan yang satu lagi dibidikkan ke pelipis hakim agung yang malang itu. Tit.
Setelah menembak, mereka kembali ke Hotel Patra Jasa dan mengembalikan pistol itu ke Tommy. Saat itu, anak manja keluarga Soeharto ini juga menawarkan order lagi, membunuh dua hakim agung lainnya: Sunu Wahadi dan Paulus Effendy Lotulong.
Kita kini bertanya-tanya: kalau saja polisi tak menemukan rumah Tommy di Pondok-indah itu, apa yang akan terjadi dengan dua hakim agung yang lain? Tit jugakah?
Ahmad Taufik, Rian Suryalibrata, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini