Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dicari: Tim Buru Sergap Jempolan

Perburuan terhadap Tommy Soeharto terus berlanjut. Polisi tak kunjung bisa meringkus. Karena keterbatasan peralatan?

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI ini, terhitung sejak 6 November 2000, genap 280 hari Tommy Soeharto menjadi buron. Dan, maaf saja, polisi belum bisa mengendus keberadaan terpidana 18 bulan dalam kasus tukar guling tanah Bulog dengan PT Goro Batara Sakti itu. Padahal orang mafhum, untuk mencari Tommy, polisi sudah menerjunkan sejumlah tim yang beranggotakan orang-orang terbaiknya. Tim yang dibentuk itu antara lain adalah "Tim Lima", yang dipimpin langsung oleh Kepala Korps Reserse Mabes Polri, Irjen Polisi Engkesman Hilep. Anggotanya adalah Brigjen Polisi Alex Bambang Riatmodjo, Brigjen Timbul Silaen, Brigjen Edi Darnadi, dan Senior Superintenden Gorris Mere. Di lapangan, tiap orang itu memiliki lima anggota. Tugas yang diemban tim ini sungguh berat. Selaku Kapolri, Bimantoro memberi target, mereka diharapkan bisa menangkap anak bungsu bekas presiden Soeharto itu sebelum kalender berganti menjadi tahun 2001. Kalau diitung-itung, tim tersebuti hanya punya waktu perburuan sekitar dua minggu. Tugas yang cukup berat dan menantang, memang! Nah, untuk mem-back-up-nya, setiap polda di seluruh Indonesia juga membentuk tim pencarian Tommy-nya sendiri. Berbagai teknik dan taktik pengendusan pun digelar. Salah satu teknik yang dikembangkan adalah penyadapan pembicaraan Tommy dengan orang-orang terdekatnya, baik itu keluarga, anak buah, maupun pacarnya. Di sinilah ahli multimedia asal Yogyakarta, R.M. Roy Suryo, ikut mengambil peran. Bersama Komisaris Besar Polisi Alfons Loemau, ia berada di tim yang dipimpin Gorris Mere. Dalam pengakuannya kepada TEMPO pekan lalu, Roy menyatakan kedua koleganya itu sangat terbuka dan akomodatif dalam bekerja. Meski hingga akhir tahun 2000 belum berhasil menangkap Tommy, tim perburuan jalan terus. Dari hasil penyadapan telepon seluler milik Tommy, tim berhasil memetakan keberadaan sang Buron. Pada Januari hingga Maret 2001, suami Ardhia Pramesti Regita Cahyani alias Tata ini diperkirakan beredar di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Itu bisa dilihat dari deteksi base transmission station (BTS)-nya. Di Menteng sendiri ada 4 BTS dengan radius 2-3 kilometer. Yang paling kuat sinyalnya ada di daerah Salemba, Jalan Diponegoro, dan Cikini. "Ia pakai Telkomsel, Excelcomindo, dan Komselindo, toh BTS-nya di situ-situ saja!" kata Roy. Lalu, apa lagi? Tapi, meski bisa menduga keberadaan Tommy, tim tersebuti tidak bisa mengendus isi pembicaraan telepon selulernya. Dalam urusan ini, Tommy memang cerdik. Ia tidak pernah mau bicara langsung kepada mereka yang menghubunginya. Bisa dipastikan ia akan mendengarkan voice mail yang masuk ke selulernya, baru membalas menelepon. Repotnya, sadar akan adanya penyadapan, Tommy mengantisipasinya dengan menggunakan code division multiple access (CDMA), yang sulit dilacak. Apa mau dikata, saat Tommy menelepon, Roy dan kawan-kawan cuma bisa gigit jari. Masih menurut Roy, perlengkapan penyadapan yang dimiliki tim memang tak bisa mengimbangi teknologi yang dipakai Tommy. Untuk urusan sebesar itu, tim hanya menggunakan produk made in Yogyakarta, yang teknologinya sudah sangat ketinggalan. Sementara itu, jika mau mencari alat penyadap yang mutakhir, harganya bisa mencapai Rp 1 miliar. Jadinya, alat itu tak terbeli. Dalam urusannya dengan peralatan, "Kita memang agak terganggu," ujar Roy. Walau begitu, kalau mau jujur, keberhasilan pemetaan keberadaan Tommy itu patut dipuji. Sebab, areanya sudah tergambar jelas. Polisi tinggal melakukan pendalaman. Jika langkah ini dilakukan, Roy yakin Tommy bakal terjaring. Sayang, sebelum semua itu menjadi kenyataan, hasil tim yang mestinya dijaga rapat-rapat itu bocor ke pers. Buntutnya sungguh tak sedap. Karena isinya berhubungan dengan urusan sadap-menyadap telepon, banyak orang menduga Roy-lah yang membocorkannya. Kepercayaan yang terbangun dalam tim buyar. Curiga dan saling tuduh pun terjadi. Roy, yang merasa tak melakukan pembocoran—karena tindakan itu hanya akan menyulitkan polisi—memilih keluar. Tak lama kemudian, entah mengapa, tim pemburu Tommy juga dibubarkan. Selepas itu, nama Tommy mulai jarang dibicarakan orang. Namanya baru muncul kembali, lengkap dengan samaran Ibrahim yang berjenggot, menyusul tertangkapnya para tersangka penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Dalam kasus ini, mereka mengaku mendapat perintah dari Tommy. Tak hanya itu, dalam perkembangannya, Tommy diduga juga terkait dengan teror bom yang selama ini melanda Jakarta. Yang menarik, sejumlah nama yang bisa ditangkap polisi, seperti Elize Maria Tuwahatu (kasus bom di Taman Mini Indonesia Indah), Fery Hukom, dan Deddy Yusuf (kasus penembakan Syafiuddin), menurut Roy memang pernah menghubungi Tommy. Sebab itu, jika polisi membentuk tim buru sergap lagi untuk menguber Tommy, jelas keterangan mereka bisa dijadikan pijakan awal. Tentu saja pola penyadapan seluler, seperti yang pernah dilakukan, juga tak tabu dilakukan. Cuma, agar tim ini lebih jempolan, peralatannya mesti dilengkapi agar tak dikelabui terus oleh Tommy. Nah, akan adakah alat yang mahal itu? Dwi Wiyana, Gita Widya Laksmini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus