Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANPA membuat kegaduhan, sejumlah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi mendekati tiga pengunjung sebuah gerai kosmetik di Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Ketiga pengunjung, Patrialis Akbar bersama dua perempuan, Rabu malam pekan lalu, tampak hendak berbelanja.
Setelah mengenalkan diri, penyidik paling senior menjelaskan bahwa Patrialis disangka menerima uang sehubungan dengan uji materi Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi. Penyidik lalu mengajak hakim konstitusi itu turut bersama mereka ke kantor KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Patrialis menolak ikut. Ia menyanggah pernah menerima duit dalam perkara yang putusannya akan dibacakan Mahkamah Konstitusi pada Senin pekan depan itu. Menghindari perdebatan panjang, penyidik kemudian mengatakan, "Sudah ada dua orang yang ditangkap dan menyebut nama Bapak." Patrialis menyerah.
Dua belas jam sebelumnya, petugas komisi antikorupsi menangkap Kamaludin di Jakarta Golf Club di Rawamangun, Jakarta Timur. Kamaludin adalah orang dekat Patrialis. Mereka berkawan lebih dari sepuluh tahun. Sebagaimana Patrialis, Kamaludin membantah tuduhan KPK. "Dia ngeyel," ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief, Kamis pekan lalu.
Yang tak disadari Kamaludin, petugas KPK sudah lama memantau gerak-geriknya. Pagi itu, sebelum ditangkap petugas, Kamaludin bertemu dengan Patrialis di lapangan golf tersebut. Tapi Patrialis tak lama di sana. Ia menuju Mahkamah Konstitusi dan ikut menyidangkan sebelas undang-undang yang digugat bersama delapan hakim konstitusi lain.
Sewaktu bertemu dengan Kamaludin pagi itu, Patrialis memperlihatkan draf putusan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di telepon selulernya. Disidangkan pertama kali pada 5 November 2015, pemeriksaan perkara selesai pada 12 Mei 2016. Tapi putusannya belum dibacakan hingga kini. Dalam draf yang kemudian dikirimkan Patrialis ke telepon seluler Kamaludin, Mahkamah memutuskan mengabulkan sebagian gugatan.
Penyidik menyita draf tersebut. Namun rancangan dalam format digital itu telanjur diteruskan ke Basuki Hariman, pengusaha impor daging sapi. Nama Basuki banyak disebut dalam perebutan jatah impor daging sejak Kementerian Pertanian menerapkan sistem kuota pada 2011. Menurut Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, Basuki punya 20 perusahaan yang bergerak di bisnis daging sapi. Dua di antaranya PT Impexindo Pratama dan CV Sumber Laut Perkasa, yang pernah mendapatkan kuota impor daging ribuan ton.
Siang itu, penyidik langsung bergerak ke Kompleks Perkantoran Danau Sunter, Jakarta Utara, yang menjadi alamat sejumlah perusahaan Basuki, termasuk PT Impexindo. "Mereka menggeledah kantor saya, terus saya datang ke kantor," kata Basuki setelah diperiksa KPK pada Jumat pekan lalu. "Saya tanya kenapa. Rupanya, Pak Kamal udah dibawa duluan, jadi terus saya dibawa ke sini."
Basuki berkukuh tak pernah memberikan uang kepada Patrialis agar uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan dikabulkan. Basuki mengatakan ia hanya menyerahkan uang kepada Kamaludin sebagai imbalan telah mempertemukannya dengan Patrialis.
Setelah dikenalkan Kamaludin, Basuki bisa bertatap muka dengan Patrialis pada Juli dan Agustus tahun lalu. Mereka bertemu di lapangan golf Rawamangun, lalu mengobrol sembari makan-makan. Basuki mengeluhkan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menyebabkan derasnya impor daging sapi dari India.
Akibatnya, kata Basuki kepada Patrialis, peternak lokal banyak yang rontok. Bila uji materi itu dikabulkan, Basuki sebagai pengusaha daging impor ikut ketiban pulung. "Saya impor daging dari Australia yang jauh lebih mahal," ujarnya. "Daging India ini mengganggu bisnis saya."
Dua pekan lalu, Basuki dikontak Kamaludin. Di telepon, Kamaludin mengabarkan bahwa Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan bakal direvisi Mahkamah Konstitusi. Kamaludin meminta Basuki merealisasi janjinya merogoh Sin$ 200 ribu, atau sekitar Rp 1,87 miliar dalam kurs saat ini, untuk Patrialis. Setelah diperiksa penyidik KPK pada Jumat dinihari pekan lalu, ketika dimintai konfirmasi, Kamaludin tak menjawab.
Duit panjar sebenarnya sudah masuk. Totalnya US$ 30 ribu, yang diserahkan kepada Kamaludin secara bertahap, US$ 10 ribu dan US$ 20 ribu. Pemberian terakhir pada 23 Desember lalu. "Kamaludin minta buat umrah," kata Basuki. Dengan duit itu pula Patrialis ditengarai berangkat ke Tanah Suci pada akhir tahun lalu.
SEJAK enam bulan lalu, pergerakan Basuki sudah dipantau Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemimpin Komisi meneken surat perintah penyelidikan setelah mendapat laporan tentang kisruh tata niaga daging sapi menjelang Lebaran tahun lalu. Waktu itu, Presiden Joko Widodo ingin harga daging sapi di bawah Rp 80 ribu per kilogram. Sampai Lebaran lewat, harga daging tak kunjung turun ke harga tersebut.
Menteri Koordinator Kemaritiman pada saat itu, Rizal Ramli, menyebutkan harga daging tinggi karena impor dikuasai segelintir pengusaha. Sedangkan pasokan daging dari peternak lokal pun terbatas.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak/Produk Hewan dalam Hal Tertentu menyebut kondisi saat harga daging melambung dan stok tiris itu sebagai keadaan luar biasa. Dalam aturan tersebut, kondisi itu persisnya disebut "dalam keadaan tertentu".
Untuk menanggulanginya, pemerintah menugasi badan usaha milik negara sebagai importir daging dari negara peternak sapi, meski negara itu belum betul-betul bebas dari penyakit mulut dan kuku, asalkan zona atau wilayah penghasil di negara tersebut dinyatakan bersih dari penyakit ini. Salah satunya India. Sistem ini dikenal sebagai impor berdasarkan zona.
Maka pemerintah menunjuk Bulog untuk membanjiri pasar dengan daging India yang harganya lebih murah. Setelah Lebaran tahun lalu, Bulog mendapat kuota impor daging India hingga 70 ribu ton.
Ini membuat importir daging swasta meradang. Bisnis mereka terjun bebas. Mereka hanya boleh mengimpor dari negara yang 100 persen bebas penyakit mulut dan kuku, seperti Australia dan Selandia Baru—sistem ini disebut impor berdasarkan negara. Selain itu, angka kuota impor bagi mereka pun tak sebanyak Bulog. Akibatnya, harga daging mereka tak bisa bersaing dengan daging India.
Dirutuk para pemain daging, aturan impor berbasis zona sesungguhnya merupakan turunan dari Pasal 36-E ayat 1 Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ini salah satu pasal yang digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh Ketua Dewan Peternakan Nasional Teguh Boediyana dan kawan-kawan.
Menurut Teguh, selain demi swasembada daging, ia mengajukan uji materi ke Mahkamah demi menurunkan risiko adanya daging yang terinfeksi penyakit mulut dan kuku. Sistem impor berdasarkan zona seperti diatur undang-undang dan peraturan pemerintah itu memperbesar kemungkinan penyakit sampai ke Indonesia. "Ini untuk melindungi peternak lokal," katanya. Ia menyanggah punya hubungan dengan Basuki.
Bagi Basuki, gugurnya pasal tersebut bisa menggenjot lagi bisnisnya yang lesu. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016 tak akan lagi punya cantelan undang-undang. Dengan begitu, cara impor daging bakal kembali ke sistem negara, bukan sistem zona seperti sekarang. Beririsan kepentingan, Basuki kemudian menunggangi gugatan Teguh dan kawan-kawan. "Saya mencoba membantu supaya mereka memenangi perkaranya," ujarnya.
Ketika daging India mulai membanjiri pasar, Basuki mendekati Patrialis. Saat itu, meski pemeriksaan perkara sudah rampung, Mahkamah belum menggelar rapat permusyawaratan hakim untuk menentukan putusan. Dalam salah satu pertemuan dengan Basuki, Patrialis berjanji akan mempengaruhi hakim lain untuk mengabulkan gugatan—setidaknya terhadap Pasal 36-E ayat 1 dari empat pasal yang digugat (lihat "Bau Amis Perkara Daging").
Rapat permusyawaratan hakim kemudian digelar sekitar Agustus-September. Tapi, menurut seorang pejabat Mahkamah, selama rapat Patrialis tak berusaha mempengaruhi hakim lain. Patrialis memang menyatakan agar uji materi tersebut diterima, tapi ia tak ngotot agar koleganya sependapat. Ketika rapat memutuskan menolak seluruh gugatan, Patrialis pun tak meminta perbedaan pendapatnya dicantumkan sebagai dissenting opinion dalam putusan.
Hingga dua pekan lalu, Patrialis lewat Kamaludin masih mengontak Basuki dan memintanya melunasi janji mengucurkan Sin$ 200 ribu bila gugatan dikabulkan. Untuk meyakinkan Basuki, Patrialis memperlihatkan draf versi sebelum rapat permusyawaratan hakim. Menurut pejabat KPK, uang tersebut hendak digunakan Patrialis untuk membeli apartemen bagi Anggita, perempuan 24 tahun, yang ditangkap bersama Patrialis di Grand Indonesia.
Kepada penyidik KPK, Patrialis mengaku hanya menerima US$ 10 ribu dari Kamaludin. Tapi, ketika ditanya setelah diperiksa KPK pada Jumat pekan lalu, ia membantah pernah menerima besel dari Basuki. "Saya tidak pernah terima uang satu rupiah pun dari orang yang namanya Basuki," ujarnya.
Adapun Basuki menyanggah uang tersebut untuk Patrialis. Menurut dia, Kamaludin memang beberapa kali meminta uang atas nama Patrialis. Tapi dia tak yakin duit tersebut diteruskan kepada bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu. Ihwal gepokan Sin$ 200 ribu yang dijanjikan, kata Basuki, "Uangnya masih ada di saya."
Walau begitu, pembukuan perusahaan telah mencatat duit keluar. Sekretaris Basuki, Ng Fenny, membubuhkan kode "HMK" untuk pengeluaran Sin$ 200 ribu tersebut. Kode "HMK", kependekan dari "Hakim Mahkamah Konstitusi", menurut penegak hukum di KPK, merujuk pada Patrialis. Angka Sin$ 200 ribu itu sesuai dengan isi percakapan Kamaludin dan Basuki di telepon.
Dari Ng Fenny, KPK juga menyita "voucher" penukaran valuta asing senilai Sin$ 200 ribu. Voucher ini bukan berasal dari gerai penukaran uang, melainkan istilah di perusahaan Basuki untuk tanda bukti pengeluaran. Karena menjadi perantara penyerahan US$ 30 ribu kepada Kamaludin, Ng Fenny juga dijadikan tersangka. "Kasus ini masih berkembang," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif tentang kemungkinan adanya tersangka lain dalam perkara ini.
ANTON SEPTIAN, LINDA TRIANITA, SYAILENDRA PERSADA, WAYAN AGUS PURNOMO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo