Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Magnis, Vespa, dan Lapindo

Ilmuwan filsafat dan rohaniawan Franz Magnis-Suseno menolak Bakrie Award. ”Saya pernah membuat keputusan keliru.”

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Franz Magnis-Suseno baru saja tiba di kantornya. Raut wajahnya segar. Berjalan kaki dari rumah sejauh 1,2 kilometer dalam waktu 12 menit tak secuil pun menyisakan kesan capek. Kalau dihitung-hitung dengan usianya yang sudah 71 dan encok di kedua lututnya, waktu yang ia tempuh termasuk cepat.

Berjalan kaki memang sudah menjadi ”ritual” setiap kali ia tak punya agenda ke mana-mana. Itu artinya kegiatannya hanya di rumah dan kantor. Setiap kali ditanya alasannya, ia selalu punya empat jawaban: hemat bensin, tidak mengotori udara, sehat, dan menyenangkan. Barulah kalau ada kegiatan di luar kantor ia mengendarai Vespa kesayangannya.

Seperti Selasa pagi dua pekan lalu, Vespa itu disimpan di rumah karena kegiatannya hari itu hanya di kantor dan menerima Tempo. ”Saya hanya rugi waktu enam menit kalau berjalan kaki,” katanya diiringi tawa. Magnis juga sangat menikmati sapaan hangat dari anak-anak dan orang tua di sepanjang jalan: ”Mister, mister.”

Romo Magnis—demikian sapaan akrabnya—memang gampang dikenali dari sosoknya. Tubuh jangkung, atletis, dengan rambut putih yang sedikit gondrong. Penyuka bakso, nasi goreng, dan spaghetti bologna ini mengisi hari-harinya dengan membaca buku-buku filsafat serta menuliskan pemikirannya dalam bentuk buku dan kolom untuk media massa dan jurnal-jurnal ilmiah.

Sudah 500 tulisan yang dia kirim ke media cetak. Tapi ia mengaku buta huruf tentang sastra dan tak suka membaca novel. Satu-satunya jenis buku fiksi yang pernah dibacanya saat santai adalah cerita detektif. ”Saya hanya membaca sesuatu yang berkaitan dengan tugas dan minat saya,” katanya.

Di usia yang sudah kepala tujuh, Magnis memang masih gesit dan energetik. Di tengah kesemrawutan lalu lintas Jakarta, ia masih berani mengendarai Vespanya. Cinta bangsawan Jerman ini kepada skuter Italia itu terjadi begitu saja. ”Tresno jalaran soko kulino, karena sudah biasa,” kata Magnis yang lahir dengan nama Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis ini.

Alasan lainnya, mengendarai Vespa punya keuntungan lebih tinimbang sepeda motor lain. Misalnya, jarang rewel, ada ban serep, tidak cepat kotor, bensin hemat, dan tidak menjadi sasaran pencurian. ”Cuma memang harganya lebih mahal,” katanya, tergelak.

Kecintaan sang Romo pada Vespa membuat saudara-saudara sekomunitasnya di Ordo Jesuit menghadiahkan Vespa baru untuknya ketika Magnis berulang tahun yang ke-70 setahun silam. ”Mereka sudah tidak berharap bisa berhasil meyakinkan saya bahwa saya terlalu tua naik Vespa,” kata Magnis sambil tertawa lebar. Sedangkan 12 mantan muridnya menghadiahkan sebuah buku berjudul Sesudah Filsafat, Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno.

l l l

Pastor yang meraih doktor dalam ilmu filsafat dari Ludung Maximilians Universitat, Muenchen, ini masuk ke Indonesia pada 1961. Enam belas tahun kemudian, ia memilih menjadi warga negara Indonesia. Suseno adalah nama yang ia pilih untuk menunjukkan identitas barunya. ”Kok, bunyi Suseno itu enak,” begitu alasannya. Ketika ia tahu arti Suseno adalah pejuang untuk kebaikan dalam bahasa Jawa, Magnis kaget sekaligus gembira.

Ia bertambah gembira setelah tahu tokoh wayang pujaannya, Adipati Karna, juga memiliki nama Suseno. Nama lengkap tokoh yang simpatik tetapi perjalanan hidupnya tragis ini adalah Karna Basuseno Suryoseputro.

Selain pada Vespa, Magnis memang jatuh cinta habis pada budaya Jawa begitu mendarat pertama kali di Pulau Jawa. Separuh lebih dari 32 buku yang ia tulis berbicara soal etika dan budaya Jawa. Bukunya, Etika Jawa, menjadi rujukan banyak pihak yang mempelajari budaya Jawa.

Bukan hanya menulis buku, Magnis juga merelakan waktunya hingga semalaman hanya untuk menonton wayang. Seperti pada Mei lalu, ia menonton wayang dengan lakon Semar Kuning di rumah Abdurahman Wahid. Begitu asyik ia menikmati cerita tentang Baladewa yang mengkritik adiknya, Trisno, karena mengaku sebagai titisan dewa. Mengkritik lewat humor-humor yang lucu namun pedas itulah yang membuat Magnis bertahan hingga selesai. ”Saya nonton sampai gebyar,” ujarnya.

Pria yang lahir di Eckersdorf, Silesia, Jerman, pada 26 Mei 1936 itu lalu memamerkan wayang Arjuna, Bratasena, dan Kresna yang tersimpan di ruang kerjanya. Sesaat kemudian, Magnis sadar tokoh wayang pujaannya, Karna, malah tak ada. Ia tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala karena tidak ingat lagi ke mana gerangan Karna menghilang. Magnis memang bukan kolektor serius.

Tokoh Karna yang selalu tegas seolah tecermin dalam diri Magnis. Setidaknya, teman dan murid-muridnya menyepakati itu. Ketika bicara tentang keberpihakan pada satu masalah, prinsip Magnis tak pernah abu-abu. Contoh teranyar sekitar sebulan lalu. Sebelum ke Italia untuk menghadiri suatu undangan, ia mendengar desas-desus Freedom Institute mencalonkan dirinya sebagai nomine peraih Bakrie Award 2007.

Sekembalinya dari Italia, Magnis menelepon kantor Freedom, menanyakan desas-desus itu. Ternyata lembaga penelitian yang didirikan Rizal Mallarangeng itu memang serius mencalonkannya dan penghargaan itu akan diberikan bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Agustus nanti.

Rizal membenarkan bahwa lembaganya memang menawarkan penghargaan itu kepada Magnis. Namun, Magnis memutuskan menolaknya. Direktur Program STF Driyarkara ini menyatakan penolakan itu sebagai wujud solidaritasnya pada korban lumpur panas di Sidoarjo akibat pengeboran Lapindo.

Lapindo Brantas, perusahaan yang menggarap lapangan gas di Blok Brantas, Sidoarjo, itu memang milik keluarga Bakrie. Menurut Magnis, sebagai rohaniawan ia harus membuat kriteria tegas dan berhati-hati dalam menyikapi penghargaan semacam ini. Apalagi penghargaan itu terkait dengan masalah-masalah sosial yang kompleks.

Magnis agaknya tak ingin menjadi kontroversi seperti pada saat tampil dalam iklan dukungan terhadap pencabutan subsidi bahan bakar minyak pada 2005. Ketika itu, Magnis bersama sejumlah ekonom dan tokoh Indonesia ramai-ramai mendukung penghapusan subsidi BBM. Meskipun menjadi kontroversi, katanya, ”Saya tidak merasa bersalah dengan mengikuti iklan itu.”

Ia sejak awal memang berpendapat cara membantu orang miskin dengan mempertahankan subsidi adalah salah. Justru uang dari hasil pencabutan subsidi tersebut dapat digunakan untuk membantu rakyat miskin, misalnya untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

Yang disesali Magnis adalah bentuk sosialisasi dukungan itu, yang ternyata dilakukan lewat iklan di media. Ke depan nanti, jika ada tawaran iklan lagi, ia akan pikir-pikir lebih dulu sebelum menerimanya.

Ia mengakui pernah membuat keputusan-keputusan yang keliru. Ia juga pernah cemas dan tegang setelah menuangkan ide atau kritiknya kepada publik. Hanya saja semua kelemahan dan kesalahannya itu ia hadapi dengan pasrah, nrimo. ”Namun, saya tidak mau dilumpuhkan oleh kesalahan saya sendiri,” kata Magnis.

Sekarang, ia memilih menghabiskan waktunya untuk kampus STF Driyarkara yang kelahirannya ikut dia bidani. Sebagai seorang dosen filsafat, Magnis sangat tertarik pada Marxisme, aliran pemikiran yang begitu berpengaruh di abad ke-20. Ketertarikannya diawali oleh rasa prihatin dan khawatir mengenai komunisme.

Pemikiran-pemikiran kritisnya ia tuangkan dalam buku trilogi Marxisme. Buku pertama tentang Marxisme, buku kedua soal Leninisme, dan yang terakhir belum selesai ia tulis. Buku ketiga berbicara soal Marxisme-Leninisme di paruh kedua abad ke-20. ”Saya belum tahu kapan selesai,” ujarnya. Disertasinya tentang Marx mengantarkan dia meraih doktor dengan predikat summa cum laude.

l l l

Anak pertama dari lima bersaudara ini punya hobi lain yang tak kalah menantangnya. ”Hobi saya satu-satunya adalah mendaki gunung,” kata Magnis. Sejak muda, ia sudah menjelajahi Pegunungan Alpen. Begitu ia mendarat di Pulau Jawa, saban tahun ia mendaki gunung-gunung dengan ketinggian 3.000 meter ke atas.

Dalam tempo 46 tahun, Magnis sudah mendaki semua gunung di Jawa, juga Gunung Kerinci di Jambi dan Rinjani di Nusa Tenggara Barat. Romo Budi Susanto, teman Magnis mendaki gunung sejak 1974, mengagumi kecintaan Magnis pada hobinya itu. Meski pernah jatuh sakit, bahkan tersesat, Magnis tak pernah berhenti mendaki gunung.

Ia juga selalu serius mempersiapkan pendakiannya. Seperti ketika menyiapkan pendakiannya pada 14 Juli lalu. Setiap hari Magnis naik-turun tangga di kantornya yang bertingkat dua sampai 80 kali. Kali ini, Magnis memilih Gunung Merapi di Yogyakarta, kota tempat ia menuntut ilmu 46 tahun silam. ”Ini mungkin pendakian saya yang terakhir,” katanya.

Walau begitu, ia tak hendak berhenti berkarya. Ia juga tak ingin usia menghalanginya meski ia merasakan kemampuannya mulai menurun. Tumpukan pekerjaannya memang masih segunung. ”Saya bersedia menderita untuk sampai di atas,” katanya.

Maria Hasugian, L. Idayani (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus