Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA Juli 1997, suatu pagi yang tak dikehendaki datang lagi.
Menteri Keuangan Thailand, Thanong Bidaya, akhirnya takluk di tangan spekulan. Kontrol atas mata uang bath terpaksa dilepas, demi menahan devisa yang bocor deras. Seperti pintu bendungan jebol, sejak itulah krisis keuangan datang memorak-porandakan bangunan ekonomi tiga negara Asia: Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan.
Meski tak separah tiga negara tadi, Malaysia, Filipina, dan Singapura ikut terpukul. Seperti rumah kartu roboh, dampaknya menjalar cepat. Krisis mata uang segera menjelma menjadi krisis perbankan dan ekonomi. Krisis sosial dan politik datang menyusul.
Ribuan perusahaan Asia bangkrut. Puluhan bank ditutup atau terpaksa merger. Jutaan pekerja kehilangan pendapatan. Jutaan lainnya mendadak jatuh miskin. Di Korea Selatan, penganggur dadakan itu terpaksa mudik ke desa. Mereka tak sanggup membayar sewa tempat berteduh.
Di Thailand, krisis memaksa ribuan pekerja konstruksi pulang dari Bangkok menuju kawasan pertanian di utara negeri itu. Di Indonesia, sektor konstruksi goyah, begitu juga manufaktur dan perbankan. Gelombang besar pemutusan hubungan kerja tak terhindarkan.
Sekitar 20 juta orang kehilangan kerja. Angka ini yang terbesar sejak akhir 1960-an. Artinya, satu dari lima orang angkatan kerja menganggur. Rupiah terpelanting dari semula Rp 2.400 menjadi Rp 17 ribu per dolar Amerika pada Januari 1998. Harga barang-barang membubung tinggi.
Keadaan makin runyam dengan suku bunga bank yang meroket mencapai 70 persen. Ratusan perusahaan kolaps seketika tertimpa utang yang tiba-tiba menggembung. Akibat pukulan beruntun itu, pendapatan per kapita penduduk Indonesia drop dari semula US$ 1.088 menjadi tinggal US$ 610. Angka kemiskinan pun meledak mencapai 50 persen dari total penduduk.
Ditambah tragedi politik berdarah, Mei 1998, lengkap sudah penderitaan negeri ini. Merasa kehilangan harapan, tak sedikit pengusaha memilih hengkang dan mengungsikan dana ke luar negeri. ”Pelarian” modal itu ditaksir sekitar US$ 20 miliar, kini setara dengan Rp 182 triliun, sekitar seperempat bagian anggaran negara tahun ini.
KRISIS memang bencana, tapi juga berkah buat sebagian orang. Beberapa daerah luar Jawa, yang mengandalkan produk ekspor, malah kejatuhan bulan. Di balik hutan belantara Kalimantan Timur, persisnya di Kecamatan Kuaro, Pasir, Tempo menjumpai perkampungan petani kelapa sawit yang makmur. Hampir saban tahun mereka naik haji. Mobil mewah Toyota Land Cruiser pun teronggok di pelataran rumah.
Di Samarinda, juga di Kalimantan Timur, tak sulit pula menemukan pengusaha tambang batu bara yang bergelimang harta dengan rumah mentereng. Semakin jatuh nilai rupiah terhadap dolar Amerika, pendapatan ekspor batu bara semakin berlipat-lipat.
Kini, syukurlah, puncak krisis telah 10 tahun lewat. Tanda-tanda kebangkitan kembali ekonomi Asia kian benderang. Ratusan gedung jangkung yang marak dibangun beberapa tahun terakhir seolah berebut merobek langit kota-kota Asia. Jumlah orang kaya di kawasan ini pun tumbuh paling mengesankan di dunia—meski angka kemiskinan tak berkurang signifikan.
Pengalaman krisis membuat benteng pertahanan ekonomi diperkuat, agar krisis jilid dua tak terjadi. Bank sentral negara-negara Asia terus memupuk cadangan devisa. Indonesia sukses menggandakan cadangannya dari US$ 20 miliar di saat krisis menjadi US$ 51 miliar tahun ini. Korea Selatan lebih dahsyat lagi. Dari hanya US$ 3 miliar menjadi US$ 240 miliar!
Perbankan, yang dulu menjadi biang keladi penyebab krisis, kini sudah jauh lebih tertata. Manajemen bank lebih transparan dan prudent, bahkan kelewat hati-hati sehingga penyaluran kredit tersendat.
Menurut Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, daya tahan perbankan domestik kini tidak perlu diragukan. Dari total 130 bank, katanya, ”Paling cuma tiga bank yang akan kesulitan bila ada krisis lagi.” Meski demikian, perlu dicatat, masih minimnya kredit yang disalurkan membuktikan bank belum pulih benar dalam menjalankan fungsi utama intermediasinya.
Dari tiga negara Asia yang parah diamuk krisis, Korea Selatan yang pulih dengan kecepatan paling mengesankan. Ekonominya yang jatuh ke angka minus 5,8 persen pada 1998, setahun kemudian kembali melesat ke angka 10,3 persen.
Sama halnya dengan Indonesia, Korea pun menerima paket utang Dana Moneter Internasional (IMF) US$ 57 miliar. Bedanya, Negeri Ginseng bisa dengan cepat menyehatkan sistem perbankan dan merestrukturisasi utang swasta. Pergantian pucuk pimpinan negara—hampir bersamaan dengan program IMF pada Desember 1997—ikut mendorong reformasi ekonomi.
Sebagai pemimpin baru, Kim Dae-jung tampil dengan visi yang jelas. Ia bertindak tegas terhadap para chaebol—sebutan bagi konglomerasi Korea. Setidaknya, 56 chaebol ditutup atau diganti pemimpinnya. Yang bersalah dijebloskan ke penjara, termasuk bos Daewoo Group.
Kim tak salah langkah. Bisnis grup-grup besar di sana tetap jalan, meski ada perubahan di sana-sini. Samsung Group, misalnya, menjadi lebih ramping setelah melepas unit otomotif. Tapi, lihat hasilnya sekarang: Samsung Electronics Co. menjadi raja industri rumah tangga di Asia.
Perubahan besar lain yang dilakukan Kim adalah mengundang modal asing—sesuatu yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Newbridge Capital, lembaga pengelola dana investasi dari Amerika Serikat, memulai era baru ini lewat akuisisi Korea First Bank pada 1999.
Sambutan dunia cukup semarak. Hanya kurang dari 10 tahun sampai tahun lalu investasi asing yang mengalir ke sana mencapai US$ 102 miliar (sekitar Rp 930 triliun). Dalam kurun waktu yang sama, Indonesia meraup US$ 122 miliar.
Fanatisme dan kerelaan berkorban rakyat Korea Selatan adalah kuncinya. Mereka beramai-ramai urunan mengumpulkan emas hingga US$ 2,2 miliar (sekitar Rp 20 triliun) demi membantu negaranya.
Selain Korea, Thailand juga lumayan cepat pulih. Pada 1998, ekonomi negara ini terjun bebas sampai minus 10,5 persen, tapi setahun berikutnya sudah melesat menjadi 4,5 persen. Perdana Menteri Chavalit Yongchaiyudh digantikan oleh Chuan Leekpai dinilai ikut memperbaiki keadaan. Apalagi setelah Leekpai digantikan Thaksin Shinawatra pada Januari 2001.
Thaksin melancarkan strategi tepat: melakukan investasi infrastruktur besar-besaran walau dikepung krisis. Alokasi anggaran infrastruktur Thailand melebihi negara-negara Asia Tenggara lainnya. ”Selama seperempat abad terakhir kami sudah menghabiskan duit 420 miliar bath (Rp 126 triliun) untuk infrastruktur,” kata Deputi Sekretaris Jenderal Badan Investasi Thailand, Thamrong Mahajchariyawong.
Hasilnya, kota Bangkok, tempat ratusan gedung pencakar langit yang dulu mandek dibangun ketika krisis datang, sekarang berubah drastis. Monorel, subway, jalan tol, kawasan industri, bandara baru, dan lusinan mal mewah kini mempercantik ibu kota Thailand.
Negeri Gajah Putih sekarang dilirik sebagai salah satu pusat industri di Asia Tenggara. Itu sebabnya, industri otomotif dan elektronik Jepang pun berebut mondok di sana. Tak mengherankan, 70 persen dari total ekspor Thailand kini ditopang oleh penjualan produk-produk ini.
Sayang, kisruh politik dan kudeta militer yang pecah pada September lalu membuat laju pertumbuhan ekonomi Thailand kembali tersendat: diperkirakan cuma 4,3 persen tahun ini. Untuk meredam larinya modal, bank sentral Thailand pun mengancam mengenakan penalti bagi para investor yang menarik dananya untuk diungsikan ke luar negeri.
DIBANDING dengan Korea dan Thailand, proses pemulihan Indonesia terbilang paling lelet. Ongkos pemulihan pun paling mahal, Rp 650 triliun kalau dihitung dengan angka pada 1999. Biaya yang harus ditanggung Indonesia itu 1,6 kali biaya Korea Selatan dan 2,1 kali ongkos krisis Thailand. Banyak kalangan percaya, kedatangan IMF sebagai ”dokter perbaikan ekonomi” malah menimbulkan bencana.
Resep penutupan 16 bank yang direkomendasikan IMF malah menimbulkan erosi kepercayaan publik terhadap perbankan. Dampaknya berat, Indonesia makin terpuruk ke jurang krisis. Perlu diakui, resep IMF ini juga yang membuat Presiden Soeharto turun panggung pada Mei 1998 setelah berkuasa lebih dari tiga dekade. Salah satu resep itu adalah kenaikan harga bahan bakar minyak yang kemudian mendatangkan demonstrasi luas.
Dua tokoh kunci krisis ekonomi, Soedradjad Djiwandono dan Boediono, punya cerita menarik di balik pergulatan Soeharto versus IMF. Ketika saran-saran IMF, termasuk menaikkan suku bunga gila-gilaan, tak membawa perbaikan, Soeharto mulai kecewa terhadap tim ekonomi dan lembaga kreditor multilateral itu.
Proses negosiasi dengan IMF pun kemudian ia ambil alih. Tapi Soeharto tak lagi sekokoh dulu. Sebuah nota kesepakatan (LoI) dengan IMF akhirnya terpaksa ia teken pada 15 Januari 1998. Orang belum lupa adegan bersejarah itu: Presiden Soeharto membungkuk membubuhkan tanda tangan, di sampingnya berdiri Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus, yang bersidekap angkuh. ”Meski meneken LoI, kesan saya hati Presiden sesungguhnya berada di tempat lain,” ujar Boediono, mantan Direktur BI yang saat itu turut mempersiapkan draf kesepakatan.
Setelah Soeharto digantikan Habibie, hubungan dengan IMF mulai mencair. Berbagai gebrakan dibuatnya. Bank sentral dibuat lebih independen. Ia rombak sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi, menyuntik modal bank besar-besaran hingga Rp 430 triliun. Habibie juga yang memutuskan pola penyelesaian kewajiban para taipan eks pemegang saham bank, kebijakan yang dinilai kontroversial.
Desentralisasi di mata ekonom UI Chatib Basri merupakan salah satu perubahan terbesar dalam sejarah Indonesia pascakrisis. Duit pembangunan mengalir deras ke daerah. Tahun ini saja Rp 250 triliun digelontorkan ke daerah.
Hasilnya, daerah-daerah yang pintar mengelola anggaran, seperti Sragen (Jawa Tengah) dan Jembrana (Bali) yang relatif miskin menjadi lebih makmur. Namun, sayang, pencapaian ini belum merata di semua daerah. Lihat saja Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Meski tergolong sebagai daerah terkaya di Indonesia, kondisinya tergolong morat-marit.
Harus diakui, proses pemulihan ekonomi Indonesia pun tak ajeg. Masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid yang banyak diwarnai kisruh politik hampir saja membuat ekonomi Indonesia kembali terjungkal.
Menurut mantan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono, proses pemulihan ekonomi baru benar-benar lancar di masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Gonjang-ganjing politik tak lagi mengganggu proses pemulihan ekonomi. ”Apalagi setelah dilakukan pemilihan presiden secara langsung, politik menjadi lebih stabil,” kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.
Sekarang, berbagai indikator makroekonomi menunjukkan ekonomi Indonesia sudah mulai kembali sehat. Kurs rupiah stabil, inflasi terkendali, suku bunga terus turun, ekspor meningkat, cadangan devisa semakin tebal, rasio utang menurun drastis, dan neraca pembayaran mengalami surplus. Angka kemiskinan dan pengangguran turun.
Berbekal itu semua, Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Joachim von Amsberg, yakin ekonomi Indonesia akan mampu menyusul negara lain. Kreditor internasional ini pun memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih kencang meninggalkan Thailand, Malaysia, Korea Selatan, dan Filipina, yang sama-sama diterjang badai krisis ekonomi satu dekade silam.
Dua Juli 2007, sepuluh tahun setelah tanggal yang tak dikehendaki itu melintas kembali, ada yang berubah: pagi kini lebih cerah.
Pertumbuhan Ekonomi Asia Timur (dalam persen) | |||
Negara | 2006 | 2007*) | 2008*) |
Cina | 10,7 | 9,6 | 8,7 |
Vietnam | 8,2 | 8,0 | 8,0 |
Indonesia | 5,5 | 6,3 | 6,5 |
Malaysia | 5,9 | 5,6 | 5,8 |
Thailand | 5,0 | 4,3 | 4,5 |
Filipina | 5,4 | 5,6 | 6,0 |
Korea Selatan | 5,0 | 4,4 | 4,9 |
Sumber: Bank Dunia *) angka proyeksi |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo