Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jawara pajak dari kediri

Keluarga surya wonowidjojo justru prihatin di tengah penobatan gudang garam sebagai pembayar pajak terbesar. pasalnya, kini gg mengurangi produksi rokoknya, setelah ada bppc.

15 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK yang berdecak ketika mendengar Menteri Keuangan Sumarlin mengumumkan 400 nama pembayar pajak terbesar di Indonesia untuk tahun 1990, pekan lalu. Kalau saja nama taipan Liem Sioe Liong yang muncul sebagai juara pertama pembayar pajak perorangan, lalu juara di jajaran pajak badan tetap diborong bank pemerintah atau perusahaan pertambangan semodel PT Freeport Indonesia, decakan kagum itu agaknya tak akan ada. Sebab, selama ini perusahaan-perusahaan itulah yang selalu tampil meraih posisi 10 besar. Nah, yang membuat orang kagum kali ini adalah munculnya para jawara pajak dari Kediri, Jawa Timur, baik perorangan maupun badan. Dan ini yang juga menarik, mereka berasal dari perusahaan yang sama: pabrik rokok kretek Gudang Garam, biasa disingkat dengan GG. Seperti diumumkan Sumarlin, prestasi GG dicapai setelah meloncat dari posisi ke-17 tahun 1989, dan menempati posisi puncak yang sebelumnya diduduki oleh PT Freeport Indonesia, yang beroperasi di Kota Tembagapura, Irian Jaya. Tapi, berapa besarnya pajak yang dibayar kelompok GG, yang sebenarnya bisa menempati kedudukan utama, setelah GG go public tahun 1989 ? Jumlahnya ternyata mencapai Rp 95 milyar, alias Rp 11 milyar lebih rendah dari pajak yang disetor Freeport tahun 1989. Tapi 1990 memang bukan tahun yang mudah, saat Pemerintah mengerem ekspansi mesin ekonominya yang dianggap sudah kepanasan. Akibatnya, tidak sedikit perusahaan yang labanya menurun, termasuk Freeport. Yang tak kalah menarik dari pembayar pajak badan terbesar adalah pembayar pajak perorangan terbesar, yang seperti sudah disebutkan, diborong oleh pemilik saham mayoritas keluarga besar GG. Seperti sudah diatur saja layaknya, peringkat yang dicapai oleh para pemegang saham itu "disesuaikan" dengan jumlah saham yang mereka kuasai. Tersebutlah Nyonya Tan Siok Tjien, janda mendiang pendiri perusahaan "asap" yang mulai berkibar seperempat abad yang lalu di Kediri. Dia muncul di peringkat pertama karena menguasai 27,4% saham GG. Menyusul nama Rachman Halim, putra sulung Ny. Tan, yang menjabat presiden direktur GG, dengan 15,6% saham. Setelah itu, sesuai dengan jumlah saham yang dikuasai, tampil nama Susilo Wonowidjojo di tangga ke-3, Sigid Sumargo Wonowidjojo ke-4, Sumarto Wonowidjojo ke-5, Yuni Setiawati Wonowidjojo ke-6, dan Wurniati Wonowidjojo ke-7. Senangkah pihak GG? Ternyata tidak. "Wong, kami sedang prihatin," kata Thomas Darmadji Rachmat, salah seorang komisaris GG. Ada benarnya. Sejak Desember lalu, tak lama setelah lahirnya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), GG terpaksa meliburkan ribuan karyawannya. Dan hingga sekarang, menurut Thomas, pengurangan produksi dengan cara meliburkan karyawan di harihari tertentu masih berjalan. Sekitar 30.000 buruh yang bekerja di bagian produksi sigaret kretek tangan dan klobot, contohnya, kini hanya bekerja hingga pukul 13.00. Itu pun hanya berlangsung dari Senin hingga Jumat. Tahun lalu saja, produksi sigaret kretek tangan GG berkurang sekitar dua milyar batang, menjadi 12,6 milyar batang. Dan produksi rokok klobot, meskipun bukan penghasil utama, merosot tajam. Sejak awal tahun lalu hingga sekarang, produksi total GG boleh dibilang turun rata-rata 20 persen setiap bulan, dibanding tahun lalu. Tidak cuma GG, semua perusahaan rokok kretek pun merasa disundut pantatnya, ketika Pemerintah mengukuhkan peran BPPC dengan lahirnya SKB Dua Menteri, yaitu dengan mengaitkan pembelian cengkeh dari BPPC dengan pembelian pita pada Direktorat Jenderal Bea & Cukai, hingga ke pengaturan kemasan rokok dan harga jual per batang. Salah satu contoh peraturan baru yang bikin pusing GG adalah ketentuan tentang harga jual per batang. GG diharuskan menjual produksi klobotnya dengan harga Rp 65 per batang. Maka, setiap bungkus klobot berisi lima batang harus dijual dengan Rp 325. Padahal, sebelumnya, kretek yang dililit daun jagung itu hanya dijual Rp 150 per bungkus. "Kenaikan harga seperti ini jelas akan mengurangi omset," kata Thomas. Kalau beleid baru yang terasa menekan para juragan rokok kretek itu tidak dikendurkan Pemerintah, bukan mustahil untuk tahun 1991 kedudukan GG sebagai pembayar pajak top perusahaan dan perorangan akan tergeser. Sampai sekarang, GG yang memiliki aset Rp 1,2 trilyun itu masih menyandang gelar pabrik rokok kretek terbesar, yang menguasai 35% pasaran, atau hampir dua kali dari seluruh omset saingan terdekatnya, PT Djarum Kudus. Terlepas dari masa sulit yang mengepung industri kretek sekarang, GG sebenarnya sudah sejak dua tahun lalu melebarkan sayap usahanya ke bidang lain. Kini diperkirakan sudah ada 20 perusahaan yang bernaung di bawah bendera GG. Mulai dari perbankan, pabrik kertas rokok, perhotelan dan pariwisata, pabrik plastik, hingga ke pabrik kopi bubuk. Namun, di antara berbagai langkah diversifikasi itu, yang paling menonjol adalah usaha perhotelan dan pariwisata. Itu bermula pada akhir 1988, ketika PT Surya Raya Indah (SRI), anak perusahaan GG, membangun hotel berbintang empat di kawasan wisata sejuk Tretes, Jawa Timur. Sukses di Tretes, SRI pun membeli biro perjalanan Natour dan Hotel Merdeka, keduanya di Kediri. Di hotel tua yang direnovasi itu pula para tamu GG menginap. Bekerja sama dengan Pemda, GG juga telah membangun sebuah taman rekreasi di daerah Kediri, dengan investasi Rp 10 milyar. Sebuah taman lain seluas 75 ha untuk taman wisata hutan akan pula mereka dirikan di daerah Besuki. Cukup? Tampaknya belum. SRI juga kini sudah membebaskan 23 ha tanah di kawasan bergengsi Nusa Dua, Bali. Rencananya, di sini mereka akan membangun hotel berbintang empat, lengkap dengan lapangan golf. Pihak direksi GG selalu mengingatkan pada logo yang menjadi andalannya: gudang garam yang berpintu lima. Dari lima pintu itu baru dua yang terbuka lebar. Dua lainnya baru terbuka separuh, dan yang satu masih tertutup. Menurut almarhum Sarman, yang merancang logo tersebut, pintu yang tertutup penuh dan separuhnya itu menandakan bahasa gerak usaha GG tidak akan pernah berakhir. Mudah-mudahan, dari pintupintu yang lain itu pula akan mengucur laba, hingga Grup GG akan bisa bertahan sebagai pembayar pajak terbesar, kelak. Budi Kusumah dan Jalil Hakim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus