Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA belasan bank asing di Indonesia, tapi Chase Manhattan Bank tergolong senior dibanding pendatang baru yang bermunculan sejak Paket Deregulasi Perbankan, Oktober 1988. Chase, demikian nama populer bank asing yang berkantor pusat di Amerika Serikat itu, sudah 20 tahun beroperasi di Indonesia. Pengalaman yang cukup panjang ini telah mengantarkan Chase ke satu tahap baru dalam bisnisnya di sini. Tahap baru itu ditandai dengan satu perubahan strategi menghadapi pasar domestik, yang belakangan semakin sesak oleh persaingan yang ketat. Pada saat Citibank, misalnya, menggebu-gebu menggarap sektor consumer banking dengan pelbagai produk baru, Chase malah menghentikan operasinya di sektor itu. Inilah yang dimaksud dengan perubahan strategi. Singkatnya, Chase mundur dari bisnis retail. Mungkin sektor itu tidak terlalu menguntungkan -- segmen Chase mungkin tersedot oleh pesaing -- mungkin juga karena hal-hal lain. Yang pasti, akhir Januari silam manajemen Chase sepakat memindahkan ribuan deposannya ke Bank Universal. Ini samalah artinya dengan memindahkan hampir seluruh kegiatan consumer banking Chase ke Universal, bank yang antara lain dimiliki oleh taipan Willian Soeryadjaya (20%) dan ekonom terkemuka Prof. Sumitro Djojohadikusumo. Satu paket dengan pemindahan itu, ruang kantor di lantai bawah Chase Plaza Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, juga diambil alih oleh pihak Universal. Otomatis, kantor bekas Chase itu berubah fungsi menjadi satu dari 33 kantor cabang Bank Universial. Chase tinggal memanfaatkan lantai dua dan tiga di gedung berdinding marmer hitam yang mewah itu. Pengalihan kepemilikan seperti ini, yang masih merupakan hal baru di Indonesia, bisa dianggap sebagai satu bentuk akuisisi juga. Namun, seberapa besar nilainya, sampai kini belum diketahui. Bahkan, menurut Vice President Bank Universal, Jerry Ng, jumlah deposan yang hendak pindah ke bank miliknya belum bisa dipastikan. "Mereka diberi kebebasan memilih, mau ke pindah ke bank kami atau bank lain," kata Jerry kepada TEMPO. Kalau tetap memilih Chase, alternatif yang diberikan pihak bank adalah menutup rekeningnya. Tak urung, dalam kesempatan ini pihak manajemen Bank Universal menawarkan bunga 1-2% lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan Chase selama ini. "Mereka tidak akan kami rugikan," kata Jerry, sedikit berpromosi. Berapa pun yang akan dibayar Universal nanti, penjualan satu sayap operasi bank semacam itu bukan saja perlu disimak, tapi bisa jadi contoh soal dalam bisnis perbankan yang sedang mendewasakan diri. Dalam kasus peralihan operasi bisnis seperti antara Chase dan Universal, kedua belah pihak tampaknya sama-sama diuntungkan. Bagi Universal, tebusan yang harus dibayarnya bisa dianggap sebagai ongkos investasi untuk membuka sebuah cabang, bahkan tanpa susah payah mencari nasabah baru. Dalam pada itu, Chase, yang tengah mengadakan perampingan dan meningkatkan efisiensi, tidak harus kehilangan muka di mata para deposannya. Kecuali itu, Chase seperti memperoleh pengesahan untuk melakukan restrukturisasi -- bahasa kongkretnya merumahkan 100 orang (dari 300) karyawannya di bagian comsumer banking. Selain itu, Chase masih akan memperoleh sejumlah dana tunai dari hasil transaksi yang oleh kedua pihak disamarkan dalam istilah "kerja sama". Kalaupun ada yang terasa kurang, itu tentulah tingkat laba Chase pada 1992 yang pasti menurun, seiring dengan penghapusan sayap retail banking tersebut. Manajemen Chase mengakui, persaingan di sektor consumer banking di Indonesia semakin berat. Ini sangat dirasakan ketika perbankan nasional leluasa membuka cabang dan menjangkau nasabah di seluruh pelosok Tanah Air. Maka, langkah paling realistis adalah melepaskan diri dari arena itu, dan berkonsentrasi pada bidang yang dikuasainya dengan baik. Bisnis yang diutamakan Chase antara lain corporate banking, treasury services, dan correspondent banking. Sementara itu, consumer banking dalam dua tahun terakhir ini hanya memberikan andil 15% dari total keuntungan Chase di Indonesia. Keuntungan setelah pajak tahun 1990 adalah Rp 8,2 milyar dan pada tahun 1991 meningkat jadi Rp 12 milyar. Country Manager Chase Manhattan Bank Peter Nice mengatakan, "Dalam bisnis, kalau kita merasa tidak kuat, pilihannya adalah menurunkan porsi usaha atau menutupnya sama sekali. Dan kami memilih alternatif kedua." Pengalihan consumer banking ke Bank Universal ini memang seirama dengan strategi global Chase, yakni menajamkan kegiatan perbankannya pada sektor yang benar-benar bisa diandalkan. Dengan demikian, risiko rugi berkurang. Strategi ini sudah dilaksanakan sejak dua tahun silam di Amerika Serikat dan akan dilaksanakan di pelbagai kantor Chase lainnya di dunia. Memang, banyak bank di AS dalam bebarapa tahun terakhir mengalami keuntungan semu. Chase (pusat) bahkan tahun 1990 merugi US$ 334 juta. Sempat pula merumahkan 5.000 dari 41.000 karyawannya. Kemudian, melalui konsolidasi yang sudah dimulai sejak dua tahun lalu itu, kondisinya membaik. Tahun 1991, Chase berhasil meraih laba setelah pajak US$ 520 juta. Sementara itu, perampingan untuk mengurangi operasi yang tidak menguntungkan tetap digencarkan. Tahun lalu Chase telah menutup kegiatan retail banking di Argentina, Australia, Taiwan, dan Malaysia. Untuk pasar Asia, hanya di Singapura dan Hong Kong Chase masih tetap menjual produk-produk consumer banking. Di kedua tempat itu pasarnya memang empuk. Di Indonesia, Chase pernah menjadi penjamin (underwriter) utama dalam penyaluran sindikasi pinjaman sebanyak US$ 400 juta kepada pemerintah RI, Desember lalu. Sindikasi pinjaman US$ 750 juta untuk membiayai proyek LNG Train F Bontang juga disalurkan oleh Chase. Dan Chase juga menjadi bank untuk banyak perusahaan besar di sini, antara lain Astra International. Sebuah sumber TEMPO mengatakan, Astra telah memanfaatkan pinjaman dari Chase Rp 30 milyar. Hubungan Chase dengan Astra International memang sudah berlangsung lama. Bahkan pendiri dan Presiden Komisaris Astra, William Soeryadjaya, adalah anggota International Advisory Committee Chase (yang berkantor di New York). Dalam organisasi itu ada nama-nama tersohor seperti David Rockefeller dan Dr. Henry Kissinger. Faktor hubungan kerja seperti itu tampaknya menjadi pertimbangan penting, ketika pihak Chase memilih bank yang hendak diajak kerja sama untuk pengalihan consumer banking. Sebelum memutuskan bekerja sama dengan Bank Universal, Peter Nice mengakui, ia sudah menghubungi sejumlah rekannya sesama bankir di Jakarta. Mereka memberikan penawaran -- tak dirinci oleh Peter Nice bentuk atau jumlahnya -- yang sama menariknya. Tapi karena mereka bukan milik Astra atau William Soeryadjaya, bobotnya menjadi berkurang. Bahwa hubungan baik sangat menentukan dalam proses pengalihan itu tecermin dari pernyataan Peter Nice yang diutarakan pada TEMPO. "Dalam proses ini, yang penting adalah kerja sama lebih dahulu," katanya. "Sebab, pada dasarnya, bisnis bank adalah berdagang kepercayaan." Kalau akhirnya Chase memilih Universal, tentu erat kaitannya dengan kerja sama Chase dan Om Willem yang sudah dijalin sejak dulu. Sedang di Bank Universal, Om Willem (panggilan populer pemegang komando tertinggi Grup Astra itu) kepemilikannya tidak hanya melalui tangan Astra International. Ia secara pribadi memiliki pula 20% saham bank yang menerbitkan kartu kredit Astra Card itu. Bank Universal, yang merupakan hasil merger (Juli 1990) antara Bank Perkembangan Asia dan Bank Kredit Universal, juga telah menjadi bank devisa. Desember 1991 jumlah asetnya Rp 1,06 trilyun. Dengan tambahan uang kontan dari para deposan bekas Chase, Universal memiliki peluang lebih besar untuk mengembangkan produk, terutama comsumer banking. Siapa tahu, di antaranya berupa peningkatan jumlah kredit pembelian mobil-mobil keluaran Astra. Namun, sebagian orang mengatakan, dalam pemindahan ini justru Chase diuntungkan. Selain mendapat ganti uang transfer, Chase juga dapat melepaskan karyawanya tanpa harus kehilangan muka. Jadi, sekali kayuh dua tiga pulau terlampaui. Mohamad Cholid, Bambang Aji, dan Iwan Qodar H.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo