Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGHARGAAN dari Pemerintah rupanya menjadi idaman bagi sebagian pengusaha dan profesional yang berpendapatan tinggi di negeri ini. Mungkin karena itu pula, banyak yang merasa kecewa ketika mengetahui bahwa namanya tak tercantum di deretan pembayar pajak perorangan terbesar tahun 1990. Padahal, mereka merasa sudah membayar pajak cukup banyak. Sukamdani Sahid Gitosardjono, eks ketua umum Kadin dan pemilik jaringan hotel Grup Sahid, termasuk orang yang kecewa itu. "Saya benar-benar tidak mengerti kenapa nama saya tidak tercantum dalam 200 besar," katanya. Padahal, untuk tahun 1990, pembayaran pajak pribadinya tidak kurang dari Rp 470 juta. "Sungguh, saya tidak mengerti bagaimana cara menetapkan peringkat yang 200 orang itu," tuturnya lagi. Keheranan serupa juga singgah dalam diri Johannes Kotjo, sang manajer top yang menjadi andalan Grup Salim. Dengan penghasilan Rp 700 juta setahun, menurut perhitungan, sedikitnya Kotjo membayar pajak penghasilan pribadi sebesar Rp 239 juta. Tapi nasibnya serupa dengan Sukamdani, alias tidak memperoleh penghargaan. "Apa komputer di Ditjen Pajak belum canggih?" katanya berseloroh. Yang tampak berbesar hati dan tidak menggerundel adalah Tanri Abeng. "Saya jelas belum layak mendapat penghargaan karena pajak saya kan cuma diambil dari gaji," kata manajer satu milyar ini, merendah. Toh Tanri -- diduga memperoleh penghasilan Rp 700 juta setahun itu -- merasa aneh juga jika mendengar batasan yang ditetapkan Pemerintah. Konon, peringkat ke-200 yang memperoleh penghargaan itu hanya membayar pajak Rp 217 juta. Dengan kata lain, penghasilan pemenang pajak itu sekitar Rp 638 juta setahun, alias masih di bawah profesional setingkat Tanri dan Johannes Kotjo. Lalu, misteri apa yang tersembunyi di balik penghargaan pajak ? Hanya Pemerintah yang tahu. Tapi ada dugaan, penghargaan itu diberikan tidak hanya berdasarkan besarnya jumlah pajak pribadi yang disetorkan, melainkan juga dimaksudkan untuk menggenjot PPh orang asing. Buktinya, di peringkat 130 ke atas tidak kurang dari 15 profesional asing yang memperoleh penghargaan. Padahal, kalau dihitunghitung, penghasilan mereka belum tentu dapat mengalahkan profesional seperti Tanri Abeng, yang di Indonesia jumlahnya sudah belasan orang, bahkan mungkin ratusan orang. BK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo