Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATNAWATI Jonan menatap lekat-lekat lembaran batik kuno yang terhampar di depannya. Dari beberapa helai kain batik warna-warni yang terpajang di meja, ia memegang wastra dengan corak kembang dan berkelir ungu. ”Sangat cantik,” kata Ratnawati saat mengusapnya.
Ratnawati adalah kolektor batik tulis. Istri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan ini bahkan punya lemari khusus koleksi batiknya, yang sebagian ia beli dan sebagian lagi warisan dari neneknya.
Kain batik yang diusapnya tadi sudah berusia setengah abad dan harganya kini sekitar Rp 5 juta. Kain itu milik Sumartono Hadinoto, bekas pengusaha batik asal Solo yang merupakan keluarga pemilik batik merek Ling. Ratnawati menemukannya di rumah Sumartono saat dia bersama kawannya, Anita Ayu, berburu batik kuno di Solo, Senin tiga pekan lalu.
Ratnawati mengincar batik tiga negeri, yang peredarannya kini sangat terbatas, untuk dipajang dalam sebuah pameran di Jakarta. Menurut dia, ada tiga merek batik tiga negeri yang terkenal. ”Tjoa Giok Tjiam, Sie Djien Soen, dan Ling,” ucap perempuan yang mengaku mengoleksi batik tiga negeri tersebut.
Batik tiga negeri salah satu batik klasik yang legendaris. Batik jenis ini diyakini dibuat pertama kali oleh pembatik Solo, Tjoa Giok Tjiam, pada awal 1900-an. Pria kelahiran 1889 itu semula bekerja sebagai pembuat gula-gula, tapi usahanya kurang menguntungkan. Dia lantas banting setir menjadi pembuat batik di rumahnya di Kampung Sorogenen.
Tjoa Giok Tjiam membikin batik dengan cara yang tak lazim pada masa itu. Pria peranakan Tionghoa ini menggabungkan kelir batik yang berkembang di tiga daerah: warna merah Lasem, biru atau ungu khas Pekalongan, dan cokelat yang lekat dengan Solo. ”Karena itu dinamakan batik tiga negeri,” kata Tjoa Siang Swie, cucu Tjoa Giok Tjiam.
Menurut Swie, proses pembuatan batik itu dulu panjang. Tjoa Giok Tjiam harus mengirim kain yang telah digambari corak ke Lasem, sekitar 170 kilometer di pesisir utara Jawa, hanya untuk diberi warna merah. Selanjutnya, batik setengah jadi itu dikirim kembali ke Solo untuk kemudian diangkut ke Pekalongan buat mendapat kelir biru, ungu, atau hijau.
Dari Pekalongan, yang terletak hampir 200 kilometer dari Solo, barulah kain itu dikembalikan ke Solo lagi untuk disempurnakan dengan diberi warna cokelat soga. ”Bayangkan. Dulu belum ada mobil. Perjalanan bisa ditempuh berhari-hari melewati jalanan sepi,” ucap Swie. Menurut pria 75 tahun ini, batik tiga negeri dibikin dalam waktu paling cepat enam bulan.
Kain batik itu harus dikirim ke Lasem dan Pekalongan karena kelir merah dan merah atau ungu alami diproduksi di daerah tersebut. Namun proses yang rumit itu tidak lantas membuat batik ini laris. Menurut Swie, pangsa pasar batik ini dulu sangat terbatas karena masyarakat Solo pada masa itu lebih menyukai batik warna soga. ”Kebanyakan yang beli keturunan Tionghoa,” ujarnya.
Tjoa Giok Tjiam lalu memutuskan untuk menjual batik itu ke Jawa Barat. Entah apa penyebabnya, kata Swie, batik ini justru cukup disukai orang Sunda. ”Kakek menjual batiknya di pasar tradisional serta dititipkan ke toko-toko.”
Makin lama batik tiga negeri makin diminati. Batik kaya warna yang umumnya bercorak bunga dan tanaman ini juga diproduksi di sentra penghasil batik lain, seperti Pekalongan dan Lasem. Batik yang tergolong premium ini bahkan sempat populer pada abad ke-20.
Inger McCabe Elliott, pengusaha tekstil dan pengamat batik, dalam bukunya, Batik: Fabled Cloth of Java, mengatakan batik tiga negeri mahal karena pembuatannya rumit. Dengan rute pewarnaan Solo-Lasem-Pekalongan, tiap helai batik tiga negeri melewati tiga kali lorotan atau tiga kali penutupan malam pada kain. ”Batik ini menggabungkan yang terbaik dari semua gaya Jawa, membuatnya ’sempurna’,” katanya.
Tjoa Giok Tjiam, yang meninggal pada 1976, memiliki dua anak, Tjoa Tjoen Kiat dan Tjoa Tjoen Tiang, yang melanjutkan pembuatan batik tiga negeri. Dari mereka, usaha Tjoa Giok Tjiam diteruskan oleh cucu-cucunya, termasuk Swie, yang mewarisi bisnis batik dari ayahnya, Tjoa Tjoen Kiat.
Sepeninggal kakek dan ayahnya, Swie menggarap seluruh proses pewarnaan batik tiga negeri di Solo. Keputusan itu diambil lantaran dia merasa tertipu oleh mitranya di Lasem. Kain mori yang dikirimkannya pernah tidak dikembalikan lagi ke Solo. Bahkan mitranya justru menggunakannya untuk membuat produk batik sejenis sehingga menjadi pesaing. ”Saya rugi dobel,” ucapnya.
Selain itu, para pembatik di Lasem telah mulai memakai pewarna buatan. ”Kalau sama-sama menggunakan warna kimia, kami juga bisa membuatnya sendiri,” kata Swie. Pembatik Lasem dulu dikenal piawai menghasilkan warna merah yang khas dari kulit manggis.
Usaha batik Swie mencapai puncak kejayaan sebelum 1980-an. Saat itu ia mampu menghasilkan hingga 250 helai batik tulis tiap bulan. Namun produksinya merosot karena gempuran batik printing, yang harganya cuma puluhan ribu rupiah. Batik tiga negerinya keok meskipun sejak dulu tidak dibanderol mahal. ”Harganya tak pernah tembus Rp 1 juta,” ujarnya.
Swie menyetop produksi batiknya pada 2014. Selain tidak menguntungkan, ia makin kesulitan memperoleh pembatik yang garapannya halus. Sumartono pun menyerah. Ia menghentikan produksi batiknya saat teknologi batik printing merebak pada 1980-an. ”Kami kalah harga,” katanya. Padahal kini, setelah tak lagi diproduksi, harga batik tiga negeri bekas atau lawasan bisa melesat hingga Rp 6-10 juta per helai di tangan kolektor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo