Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewi Safitri*
Bayi-bayi apa yang paling nista di Indonesia? Jawabannya bayi kodok. Tiap hari kecebong dimaki-maki, tidak pandang siang, malam, pagi, bahkan dinihari. Kalau Anda punya waktu bertandang ke Twitter atau Facebook (dua platform media sosial utama dengan jumlah pemakai mendekati 200 juta di Indonesia), berudu katak ini ada di mana-mana dan hampir semuanya berurusan dengan ekspresi menghina. Misalnya, “Junjungan dikritik, cebong membela. Dasar cebong!”
Tapi para waris klan amfibi pemangsa serangga ini tidak perlu malu, sedih, apalagi minder. Di atas cebong masih banyak hewan lain yang biasa dihinakan manusia saat sedang perlu meluapkan emosi jiwa. Di Indonesia, posisi ini sudah puluhan tahun diduduki dua satwa berkaki empat: anjing dan babi. Sulit mengatakan mana yang lebih nista di antara keduanya. Makian dengan mengutip anjing kelihatannya sama umumnya dengan yang memakai babi.
Dalam langgam bahasa daerah, dua hewan ini juga luar biasa populer sebagai diksi pisuhan. Priayi Surakarta yang halus budi bahasanya pun biasa menyebut anjing saat amarah sedang bergelora: asu tenan. Di Medan, selisih paham dan pertengkaran kerap berujung pada penyebutan babinya itu.
Di bawah popularitas anjing dan babi, ada monyet—dengan berbagai kawanannya. Di Bandung, orang marah biasa menyitir kunyuk, seperti halnya herek banyak dipakai di Toba dan sekitarnya. Lucunya, di Boyo-lali, Yogya, Solo, dan sekitarnya, orang tidak memaki dengan menggunakan kethek (bahasa Jawa: monyet), tapi bedhes alias anak monyet.
Anak hewan lain yang kerap dihinakan di Jawa adalah kampret, anak kalong. Cukup mengherankan kenapa cebong, kampret, dan bedhes yang masih imut dan tak berdosa itu justru terpilih menjadi kata makian populer (setidaknya di Jawa). Sama mengherankannya dengan apa salah anjing, babi, dan monyet sehingga satwa-satwa tak tahu apa-apa ini harus menanggung derita menjadi bulan-bulanan dimaki-maki semua orang.
Ada memang tawaran penjelasan yang mengaitkan anjing dan babi, terutama, dengan reputasi hewan menjijikkan, najis, dan haram dalam sudut pandang syariat. Saking najisnya, hewan-hewan itu layak dibakukan sebagai langgam memaki orang. Tapi penjelasan ini mudah dibantah: lha kan anjing dan babi juga populer sebagai kata makian di berbagai wilayah Indonesia yang tidak menganggap keduanya najis atau haram. Misalnya di Medan dan Manado—di sana, dua satwa itu menjadi sumber protein yang digemari.
Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu, babi juga kerap dipanggil saat memaki orang. “Donald Trump is a racist pig” mudah ditemukan dicetak di kaus dan dipasarkan lewat Internet. Kata dog tidak lazim sebagai makian, tapi ada bitch (yang menurut kamus Merriam-Webster berarti anjing betina) dan pussy, yang berarti kucing. Anehnya, baik bitch maupun pussy banyak dipakai dalam makian dengan interpretasi negatif terhadap perempuan, dari perempuan jalang, vagina, sampai perempuan mitra hubungan seks. Seorang teman yang pandai linguistik mengatakan pemakaian dua kata itu menjadi indikasi adanya bias gender.
Nama hewan lain yang cukup sering dipinjam sebagai kata makian adalah ass, sejenis keledai. Jenis ungkapannya bisa ditemukan dalam adegan orang marah dalam film Hollywood: “What an ass!”
Namun, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, misteri utama di balik penistaan satwa ada pada kenapa sebagian dinista sebagian tidak. Apa keistimewaan angsa, jerapah, dinosaurus, dan semut rangrang, misalnya, sehingga tidak masuk daftar?
Saya juga penasaran apakah variasi makian satwa di Indonesia yang begitu kaya dan beragam adalah bentuk kearifan lokal yang tak ada padanannya pada bangsa lain. Sebab, sulit membayangkan ada ragam bahasa non-Indonesia yang menggunakan jangkrik atau bangsat saat memaki orang. Saking kreatifnya kita, ada jenis satwa imajiner yang sering dijadikan bahan hinaan juga: kutukupret.
Kembali ke urusan bayi kodok yang nista, belakangan sempat muncul juga makian balasan dengan kata unta atau onta. Contohnya, “Nyinyir mulu dasar otak onta!” Tapi popularitasnya tetap kalah jauh dibanding cebong, yang makin berjaya, sampai saya dengar ada orang mengidentifikasi diri sebagai bani cebong, cebonger, atau bahkan anggota jamaah cebongiyah. Rupanya, cebong begitu suksesnya sebagai kata baru, sampai-sampai yang menghina dan dihina sudah sama-sama menerimanya sebagai bagian kekayaan lingua franca.
*) WARTAWAN CNN INDONESIA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo