Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENAM ekor burung itu terkurung di tiap kandang baja seluas satu meter persegi. Ada elang bondol, kakatua jambul kuning, junai emas, beo Papua, dan dua ekor nuri. Ada juga dua musang, yang berada di kandang terpisah. Suara mereka bersahut-sahutan dengan belasan satwa lain, seperti owa dan burung paruh bengkok, di tempat penampungan Taman Safari Indonesia di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Selasa siang itu, pada 15 Januari lalu, Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI beserta beberapa pakar satwa mendatangi tempat penampungan di sisi timur Taman Safari tersebut. Mereka hendak memindahkan satwa-satwa dilindungi itu ke salah satu pusat penyelamatan satwa di Bogor. Bareskrim menyita hewan-hewan itu sebagai barang bukti tindak pidana perdagangan satwa dilindungi. “Delapan satwa itu diduga ilegal,” kata Ketua Jakarta Animal Aid Network Benvika menceritakan proses penyitaan itu pada akhir Maret lalu. Seusai penyitaan, kandang-kandang tempat penampungan itu dibiarkan kosong.
Benvika—atau biasa disapa Iben—adalah salah satu pakar satwa yang membantu polisi mengidentifikasi hewan-hewan tersebut ketika penyitaan berlangsung. Dari hasil identifikasi, mereka menyimpulkan delapan satwa terdaftar sebagai hewan yang dilindungi sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018.
Delapan satwa dilindungi itu milik Abdul Hopir, warga Kota Bandung. Ia pedagang satwa dilindungi di media sosial dalam beberapa tahun belakangan. Hopir menyerahkan sendiri delapan satwa itu ke Taman Safari Indonesia. Menurut surat tanda terima satwa yang diperoleh Tempo, Hopir menyerahkan delapan satwa itu pada 13 Januari 2019.
Pengunjung memberi makan rusa di Taman Safari Indonesia, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, Juni 2018. TEMPO/Rully Kesuma
Isi surat itu menyebutkan pemilik satwa bisa kapan saja mengambil kembali satwa yang dititipkan. Menurut Iben, keterangan dalam surat itu janggal karena Taman Safari mengizinkan pemilik memelihara kembali satwa-satwa tersebut tanpa melakukan prosedur administrasi.
Hopir diduga berniat “memutihkan” delapan satwa ilegal itu ke Taman Safari. Ia seolah-olah berperan sebagai masyarakat yang ingin menyumbangkan satwa koleksi pribadi ke Taman Safari. Model penyerahan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63 Tahun 2013 tentang Tata Cara Memperoleh Spesimen Tumbuhan dan Satwa Liar untuk Lembaga Konservasi. Namun peraturan soal penyerahan itu justru menjadi celah untuk dimanfaatkan jaringan perdagangan ilegal satwa dilindungi.
Dengan cara seperti ini, satwa-satwa itu nantinya berstatus legal. Satwa-satwa tersebut akan tercatat sebagai hewan yang berada di bawah naungan Taman Safari sebagai lembaga konservasi ex situ, yaitu konservasi satwa liar di luar habitat aslinya. Jejak kelam perburuan ilegal akan terhapus. “Ini sudah jadi modus umum,” ujar Iben.
Polisi mengendus keberadaan delapan satwa dilindungi itu ketika menangkap -Dicky Rusvinda pada Jumat, 11 Januari lalu. Polisi menangkap Dicky saat ia menjual monyet yaki di Bandung. Dicky adalah makelar satwa liar jaringan internasional. Ia pernah ditangkap dalam kasus yang sama pada 2015.
Dari pengembangan jaringan Dicky, polisi menggulung jaringan perdagangan komodo di Surabaya, akhir Maret lalu. Jaringan itu diduga sudah menjual 41 komodo. Dicky memiliki pelanggan dari berbagai negara, khususnya Asia. “Dia pernah mengirimkan dua orang utan ke Bangladesh pada Mei 2018,” kata Kepala Subdirektorat I Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Komisaris Besar Adi Karya Tobing, Selasa, 5 Maret lalu.
Pada saat bersamaan, penyidik mencokok sepuluh jaringan lain yang terkoneksi dengan Dicky. Total polisi sudah menangkap 796 penjual satwa ilegal sejak 2017. Jumlah hewan yang disita mencapai 15.640 individu. Wildlife Conservation Society Indonesia Program mencatat transaksi dari bisnis haram ini di pasar gelap mencapai Rp 13 triliun setiap tahun. Indonesia adalah salah satu surga perdagangan ilegal satwa dilindungi.
Dicky adalah anggota jaringan yang sama dengan Abdul Hopir dalam memperdagangkan satwa dilindungi. Mereka menyimpan satwa-satwa liar dilindungi dari pemburu di gudang milik Hopir di kawasan Lembang, Bandung. Delapan satwa yang dititipkan ke Taman Safari adalah barang dagangan Dicky dan Hopir yang berasal dari gudang di Lembang.
Polisi mendapatkan informasi soal delapan satwa liar dilindungi yang siap jual itu dari keterangan Dicky. Menurut Dicky kepada polisi, hewan-hewan itu berada di gudang Lembang. Saat penyidik mendatangi lokasi tersebut, hewan-hewan itu sudah tak berada di sana. “Satwa-satwa dilindungi itu ternyata sudah dititipkan ke lembaga konservasi,” ujar Adi Karya. Lembaga konservasi yang dimaksud adalah Taman Safari Indonesia, yang memiliki luas kawasan sekitar 200 hektare.
Atraksi lumba-lumba di Batang Dolphin Center, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. batangkab.go.id
URUSAN Abdul Hopir ke Taman Safari Indonesia bukan sekadar menyembunyikan satwa dilindungi. Tempo mendapatkan dokumen yang menyebutkan Hopir pernah menjual empat ekor kucing emas ke Taman Safari pada Desember 2018. Nilainya mencapai Rp 80 juta. Pemerintah mencantumkan kucing emas sebagai salah satu mamalia yang dilindungi.
Hopir berkomunikasi dengan Imam Purwadi, kurator Taman Safari Indonesia yang bertugas mengawasi perkembangan satwa. Salah satu bukti pembayaran mencantumkan Imam mentransfer uang sebesar Rp 15 juta dari rekening Bank Mandiri ke rekening BCA milik Abdul Hopir pada 18 Desember 2018. Tempo sudah mengecek nomor rekening tersebut dan tercatat atas nama keduanya.
Sebelum itu, dari data di telepon Hopir, pernah ada transaksi pada November 2018. Hopir ketika itu juga menjual kucing emas kepada Imam. Namun kucing itu mati dalam perjalanan. Kepada Imam, Hopir menjelaskan lewat pesan pendek bahwa sang kucing kekurangan oksigen saat dalam perjalanan. Ia menyebutkan ventilasi kandang kucing tertutup tumpukan kardus. Imam mengirimkan foto bangkai kucing itu kepada Hopir.
Ketika ditemui Tempo pada Senin, 1 April lalu, Imam membenarkan soal foto tersebut. Ia mengaku bahwa Hopir meminta tolong merawat kucing emas itu. Namun ia menolak mengurus karena kucing itu sudah mati saat tiba di Taman Safari. “Saya kembalikan lagi saja,” kata Imam saat ditemui di Taman Safari Indonesia, Cisarua, Bogor. Foto lain memperlihatkan kucing emas itu tampak sudah bersih dikuliti.
Imam mengenal Hopir sejak 2008. Hopir adalah salah satu penyuplai kebutuhan akuarium di Taman Safari Indonesia. Imam mengatakan mengetahui penangkapan Dicky Rusvinda, tapi mengaku tak mengenalnya. Dia hanya berurusan dengan Hopir.
Imam membenarkan pernah mentransfer sejumlah uang ke rekening Hopir. Ia mengaku ketika itu Hopir meminjam uang kepadanya. “Ia sudah berutang Rp 60 juta kepada saya,” ucap Imam. Keterangan ini berbeda dari potongan percakapan pesan yang dilihat Tempo. Isinya menunjukkan bahwa Hopir mengirimkan sejumlah tagihan uang ke Imam.
Bareskrim sudah memeriksa Hopir sebagai saksi. Menurut Komisaris Besar Adi Karya, kasus Hopir masih dalam penyelidikan. Penyidik juga belum memeriksa Imam dan manajemen Taman Safari Indonesia. “Masih dalam pengembangan,” tuturnya.
Adi Karya mengaku mendengar informasi kenakalan pihak lembaga konservasi. Lembaga seperti Taman Safari Indonesia, kata dia, seharusnya melapor setiap kali ada satwa dilindungi yang melahirkan. Ia meyakini laporan itu harus diverifikasi. “Sudah sejak setahun lalu saya mengajak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memeriksa Taman Safari dan lembaga konservasi lain,” ujar Adi. Ia beralasan kewenangan memeriksa lembaga konservasi ada di kementerian.
Menurut Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Eksploitasia, pihaknya tak pernah mendengar ada masalah di Taman Safari Indonesia. Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Wiratno mengatakan hal senada. “Harus ada aktivitas intelijen untuk membuktikan tuduhan itu,” kata Wiratno saat dimintai konfirmasi soal dugaan keterlibatan Taman Safari dalam jual-beli satwa dilindungi, Kamis, 4 April lalu.
Tempo mencoba menghubungi Abdul Hopir lewat nomor baru telepon selulernya, 4 April lalu. Awalnya ia menjawab panggilan telepon. Saat ditanyai soal satwa di Taman Safari Indonesia, Hopir mendadak mengaku sedang sibuk, lalu mematikan telepon. Ia pun sempat menjawab pesan lewat aplikasi WhatsApp dengan menanyakan identitas pembocor nomor telepon barunya. Setelah dijawab, ia kembali bungkam.
Imam Purwadi juga diduga membantu Hopir menyimpan delapan satwa dilindungi, yang belakangan disita Bareskrim, di Taman Safari Indonesia. Dokumen yang diperoleh Tempo menunjukkan Imam adalah petugas yang menandatangani surat serah-terima satwa itu atas nama manajemen Taman Safari. Imam menyebutkan tak mengetahui asal-muasal satwa milik Hopir.
Kedelapan satwa itu seharusnya didaftarkan ke balai konservasi sumber daya alam atau BKSDA. Imam mengatakan belum sempat melaporkan delapan satwa itu ke BKSDA. Ia beralasan Hopir datang pada Ahad, saat kantor BKSDA tengah libur. Di ujung percakapan, ia mengaku tak terlibat jaringan Hopir. “Dia memohon-mohon minta bantuan saya,” ujarnya.
SELAIN lewat jaringan Imam Purwadi, Taman Safari Indonesia diduga terlibat jaringan perdagangan ilegal lumba-lumba. Femke den Haas, pendiri Jakarta Animal Aid Network, menginvestigasi soal ini pada 2012. Kala itu, ia tengah menginvestigasi berbagai tempat penangkaran lumba-lumba di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Salah satunya Batang Dolphin Center di Desa Klidang Lor.
Tempat penangkaran sekaligus taman hiburan atraksi lumba-lumba itu adalah salah satu unit usaha Taman Safari Indonesia yang berdiri pada 2009. Femke memperoleh informasi dari sejumlah saksi di lapangan bahwa Batang Dolphin Center hanya kedok menyamarkan perdagangan ilegal satwa dilindungi. Modusnya, lumba-lumba yang dibeli dari nelayan menjalani pelatihan, kemudian dijual lagi. “Dijual ke sirkus-sirkus,” ucap perempuan asal Belanda ini, Senin, 1 April lalu.
Femke berhari-hari menginvestigasi perdagangan ilegal lumba-lumba di Batang. Ia menemukan fakta nelayan di sana menjual lumba-lumba kepada Batang Dolphin Center. Harganya bervariasi, dari hanya Rp 400 ribu hingga belasan juta rupiah. “Mereka bahkan secara khusus memesan lumba-lumba itu ke nelayan,” ujarnya.
Lumba-lumba adalah salah satu hewan yang dilindungi negara. Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya melarang setiap orang menyimpan, memiliki, memelihara, menangkap, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Ancaman hukumannya maksimal setahun penjara.
Manajer Operasional Batang Dolphin Center Octavianus B.W. Danu mengatakan lembaganya hanya berfungsi sebagai tempat merawat lumba-lumba. Kepemilikan mereka pun dibatasi hanya sampai 14 ekor. “Kami tak memberikan uang kepada nelayan yang menyerahkan lumba-lumba ke sini,” kata Octavianus, Rabu, 3 Maret lalu. Ia tak mengizinkan Tempo melongok fasilitas penangkaran dengan alasan rahasia perusahaan.
Soal penangkapan lumba-lumba di Batang Dolphin Center ini pernah dibahas John Valentine dengan John Sumampau melalui surat elektronik. John Sumampau adalah anak Tony Sumampau, salah satu pendiri Taman Safari Indonesia. Lembaga konservasi ini adalah bisnis keluarga yang didirikan oleh kakak-adik Yansen Manansang, Frans Manansang, dan Tony Sumampau. John bertugas mengawasi bisnis Taman Safari, salah satunya Batang Dolphin Center. John Valentine adalah pelatih lumba-lumba asal Amerika Serikat.
Lumba-lumba adalah salah satu hewan yang dilindungi negara. Undang-Undang melarang setiap orang menyimpan, memiliki, memelihara, menangkap, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Ancaman hukumannya maksimal setahun penjara.
Sumber yang mengetahui percakapan e-mail keduanya mengatakan surat elektronik bertanggal 26 Mei 2012 itu berisi tuntunan menangkap lumba-lumba. Valentine menyarankan John melengkapi awak kapal dan darat dengan radio komunikasi saat berburu lumba-lumba. Valentine juga meminta John agar memperbanyak menangkap lumba-lumba betina.
John Sumampau tak menampik adanya komunikasi itu. Ia mengaku sering berkonsultasi dan berkomunikasi dengan Valen-tine sejak dulu. Bagi John, Valentine adalah jawara dalam melatih lumba-lumba. “Dia banyak membantu kami,” ucap John saat ditemui, Kamis, 4 April lalu. Valentine tak membalas e-mail permintaan wawancara Tempo hingga Sabtu, 6 April lalu.
John tak membantah memberikan upah kepada nelayan yang menyerahkan lumba-lumba ke Batang Dolphin Center. Menurut dia, lumba-lumba sering terjerat di pukat nelayan. Nelayan menyerahkan lumba-lumba itu ke Batang Dolphin Center, lalu meminta imbalan. “Kami tak menutup mata, memang ada uang yang diberikan ke mereka,” ujarnya.
Lumba-lumba yang terjerat seharusnya diserahkan ke balai konservasi sumber daya alam terdekat, bukan ke lembaga swasta. John mengakui pihaknya pun tak langsung melapor ke BKSDA saat menerima lumba-lumba. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63 Tahun 2013 mewajibkan lembaga konservasi melaporkan setiap penerimaan hewan dilindungi. “BKSDA tak punya fasilitas perawatan lumba-lumba, jadi kami rawat dulu,” kata John.
MUSTAFA SILALAHI, EDI FAISOL (BATANG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo