Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jenderal Penyusup di Operasi Woyla

L.B. Moerdani menjadi komandan operasi pembebasan pesawat Garuda 206 DC-9 Woyla di Thailand. Muncul isu rekaan operasi intelijen.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Leonardus Benjamin Moerdani meminta secarik kertas dari Teddy Rusdy. Di kertas itu, ia menulis: "Dear Pak Yoga, from now on, the show is mine! – LBM". Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan itu kemudian meminta Teddy, Perwira Pembantu VII Staf Intel Hankam, menyampaikan pesannya kepada Jenderal Yoga Soegomo, Kepala Badan Koordinasi Intelijen, di pusat pengendalian krisis, 400 meter dari pesawat DC-10 Sumatera. Saat itu Selasa dinihari, 31 Maret, 33 tahun lalu.

DC-10 Sumatera adalah markas terbang Benny Moerdani dan 24 personel Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), yang dipimpin Letnan Kolonel Sintong Panjaitan. Mereka sedang bersiap merebut pesawat DC-9 Woyla yang pada 28 Maret dibajak di Bandar Udara Don Muang, Bangkok, 12 menit setelah lepas landas dari Palembang.

Para pembajak itu anggota Komando Jihad. Semuanya berjumlah lima orang: Abu Sofyan, Zulfikar Johan, Abdullah Mulyono, Wendy Muhammad Zein, dan, sebagai pemimpin, Mahrizal. Mereka bersenjata pistol, granat, dan mungkin dinamit.

Kolonel Teddy segera menyampaikan pesan Benny kepada Yoga, yang langsung membalasnya di kertas yang sama: "Ok, Ben, do it. Sukses. – Yoga". Begitu Benny membaca pesan itu, "Raut mukanya sumringah," ujar Teddy saat ditemui Tempo, pertengahan September lalu. "Let's do it," ia mengutip kata-kata Benny waktu itu.

Benny memerintahkan Sintong dan pasukannya bersiap. Terbagi dalam lima tim, tiga tim bertugas menyerbu ke dalam pesawat, dua lainnya siaga di luar. Tim pertama-dipimpin Kapten Untung Suroso-akan masuk dari pintu darurat depan. Tim kedua, yang dipimpin Letnan Dua Rusman A.T., menyerbu dari pintu darurat di atas sayap kiri pesawat. Calon Perwira Ahmad Kirang ditunjuk memimpin tim ketiga, yang masuk melalui pintu di ekor pesawat.

Tugas mengevakuasi 48 sandera diserahkan kepada tim Mayor Isnoor. Tim kelima, di bawah kendali Mayor Subagyo H.S., bersiaga menembak ban Woyla jika pesawat itu bergerak dari tempat parkir.

Sekitar pukul 02.00, tim bergerak ke belakang Woyla dengan naik sebuah VW Kombi. Tumpuk-tumpukan. "Pak Benny bersama tim serta seorang jenderal bintang dua Thailand berdesak-desakan di mobil itu," ujar Sintong dalam bukunya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando.

"Saya duduk di atas anak-anak. Injek-injekan," kata Benny dalam Benny: Tragedi Seorang Loyalis.

Sekitar 500 meter dari ekor pesawat, pasukan berjalan kaki menuju pesawat. Ketika itulah Benny menyusup ke barisan grup Ahmad Kirang. Ia terlihat lain sendiri-berjaket hitam, menenteng pistol mitraliur. "Ini di luar skenario," ucap Sintong dalam bukunya. Namun akhirnya ia membiarkan Benny tetap dalam pasukan.

Jam H-pukul 03.00 "waktu pasukan"-masih 20 menit lagi. Kapten Untung melapor kepada Sintong, yang berada di samping Rusman A.T., bahwa timnya siap menyerbu. Tim lain sama siapnya. Sintong memutuskan jam H dipercepat 15 menit. "Masuk! Masuk!" Sintong memberi perintah lewat radio handy-talky.

Tim Kapten Untung membuka pintu darurat depan sambil menahan tangga darurat-terbuat dari karet, mirip perosotan-agar tak langsung mengembang. Sebelum pintu terbuka penuh, tim menyerbu masuk dan bergegas menuju kokpit. Sayangnya, sebelum berhasil mengamankan kokpit, seorang pembajak, Abu Sofyan, menembak pilot Herman Rante.

Tim itu juga ditabrak seorang pembajak, Abdullah Mulyono, yang berlari ke kabin penumpang. Terjadi pergumulan. Abdullah terlempar ke bibir pintu, tergelincir di tangga darurat, dan langsung ditembak. Dia tewas seketika.

Grup Rusman A.T., yang menyerbu masuk dari pintu darurat, menembak pembajak lain, Wendy Muhammad Zein. Pembajak termuda ini bersiaga di dekat pintu darurat. Operasi ini nyaris banjir darah ketika Zulfikar, yang duduk di lorong sebelah kiri depan sayap pesawat, melemparkan granat. Beruntung ia tak mencabut pengamannya dengan baik. Saat hendak kabur lewat pintu darurat di atas sayap kiri, ia disambut tembakan dan langsung tewas.

Nahas menimpa Ahmad Kirang. Pemimpin grup tiga itu ditembak Mahrizal, yang juga tewas dalam baku tembak tersebut. Sintong mengungkapkan, Ahmad tertembak karena masuk terlalu cepat. Dalam waktu kurang dari lima menit, Woyla bisa direbut. Tapi ke mana Abu Sofyan, yang menembak pilot Herman Rante?

Setelah menembak Herman, ia mencoba membaur di antara para penumpang yang berdesak-desakan keluar dari pesawat. Tapi penumpang mengenalinya. Abu Sofyan tersungkur di apron pesawat saat mencoba kabur.

Setelah pesawat dikuasai, Benny sekali lagi mengejutkan Sintong. Bosnya itu tiba-tiba masuk ke pesawat. Sambil menenteng pistol, ditemani Kolonel Teddy, Benny ke kokpit dan memerintahkan Teddy memeriksa panel elektronik Woyla. "Untuk memeriksa ancaman bom yang diaktifkan melalui sirkuit pesawat," kata Teddy. Setelah dipastikan aman, Benny menyambar mik. "This is two zero six. Could I speak to Yoga, please?"

Yoga Soegomo, yang bersiaga di ruang crisis center di menara bandara, menerima panggilan Benny. "Operasi berhasil. Sudah selesai semua," Benny melapor. Namun kisah masih berlanjut.

Kisah pembebasan sandera Woyla segera melambungkan nama Kopassandha. Operasi ini disejajarkan dengan operasi serupa yang berjalan sukses yang digelar sejumlah negara maju, seperti Israel dan Jerman. Tapi ada pula suara miring. Hingga sekarang.

Sardjono Kartosoewirjo, anak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, ragu pembajakan itu murni dilakukan Komando Jihad. "Sepertinya itu skenario," ujarnya, akhir September lalu.

Ia menyebut Imran Muhammad Zein, pemimpin Komando Jihad, orang yang selalu berpakaian perlente dan bermerek. Ia curiga kakak Wendy itu "binaan" intelijen. "Ya, namanya intelijen. Segalanya bisa terjadi," katanya. Sardjono juga heran terhadap senjata pembajak yang mudah masuk ke pesawat.

Teddy Rusdy membantah kecurigaan Sardjono. Ia mengatakan gerakan Komando Jihad justru diketahui dari informasi Pembantu Letnan Satu Najamuddin, tentara yang disusupkan ke organisasi itu. Segala kegiatan, termasuk merampok senjata di kantor polisi Cicendo, Bandung, sudah diketahui. Bahkan, beberapa hari sebelum pembajakan Woyla, Najamuddin melaporkan ada rapat penting Komando Jihad. Sayangnya, sebelum mengetahui isi rapat, Najamuddin tewas dibunuh pada Sabtu dinihari, 28 Maret 1981. "Pada pagi harinya, kami mendapat laporan Woyla dibajak. Rupanya, rapat malam itu soal pembajakan," ujar Teddy.

Ihwal masuknya senjata ke pesawat, Teddy mengatakan saat itu pengawasan terhadap penumpang belum seketat sekarang. "Itu 30 tahun lalu. Belum ada metal detector," katanya.

Tudingan adanya rekayasa bahkan segera muncul setelah operasi Woyla selesai. Misalnya dalam rapat kerja Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal M. Jusuf dengan parlemen pada 14 April 1981. Menanggapi tuduhan itu, Jenderal Jusuf menoleh ke arah Benny Moerdani, yang duduk di sebelahnya. "Bukan dia yang bikin. Kalau dia yang bikin, saya pecat dia hari ini juga," ujar Jusuf. Benny cuma diam.


Pengintaian yang Tak Tuntas

BANDUNG, 4 Agustus 1980. Imran bin Muhammad Zein menggelar acara kaderisasi di Masjid Istiqamah di Kota Kembang. Acara itu berujung rusuh setelah jemaah menjadikannya ajang caci-maki terhadap ulama dan pemerintah. Sebanyak 44 pemuda ditangkap, tapi Imran lolos.

Sejak itu, Imran dikenal luas. Ia memiliki setidaknya 189 anggota, yang tersebar dari Jakarta, Bandung, sampai Surabaya.

Imran lahir di Bukittinggi, Sumatera Utara, pada 1950. Ia menghabiskan masa kecil di Kotamatsum, Medan. Muhammad Zein Stan Sinaro, ayah Imran yang berprofesi sebagai pedagang kain, ketika diwawancarai pada 1981 mengatakan dulu Imran seorang preman. Karena menikam lawannya, ia merantau ke Arab Saudi pada 1970. Di sana, dia bekerja di sebuah apotek di Jeddah.

Lulusan Sekolah Menengah Atas Priyatna, Medan, ini sering mengikuti ceramah di Universitas Medinah. Dari sini, Armon-sapaan masa kecil Imran-mendalami Islam dan bertemu dengan pemuda-pemuda dari Indonesia, termasuk Mahrizal.

April 1977, Imran pulang ke Tanah Air. Kini ia tampil beda. Dengan mengenakan jubah, pria yang anti-Golkar ini suka berkeliling kampung dan berkhotbah. Pada tahun yang sama, ia ke Jakarta, tinggal di Rawamangun. Di Ibu Kota, lelaki yang tiga kali menikah ini berkumpul lagi dengan kawan-kawan lamanya. Mereka sering berdiskusi di Masjid Istiqamah, Bandung. Pada Juni 1980, ia dibaiat menjadi imam oleh kelompoknya dengan panggilan "Imam Im".

Lalu, pada 4 Agustus 1980, pecah "Peristiwa Masjid Istiqamah". Pasca-peristiwa itu, Leonardus Benjamin Moerdani menyusupkan Pembantu Letnan Satu Najamuddin, anak buahnya di Satuan Tugas Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), ke kelompok Imran. Tugas Naja adalah menyelidiki gerak-gerik kelompok itu. "Mereka dicurigai ingin mendirikan Negara Islam Indonesia," kata Marsekal Muda Purnawirawan Teddy Rusdy, anggota staf Benny di Kopkamtib, saat ditemui Tempo, pertengahan bulan lalu.

Berkat laporan Naja, Benny mengetahui bahwa jemaah Imran terlibat sejumlah teror, termasuk penyerangan Kosekta Cicendo, Bandung, awal 1981. Terakhir, Naja melaporkan rapat penting kelompok Imran beberapa hari sebelum pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla, 28 Maret 1981. Tapi penyamaran Naja terbongkar dan ia dibunuh sehari sebelum pembajakan oleh kelompok yang menamakan diri Komando Jihad itu.

Imran ikut merancang pembajakan itu. Para pelaku pembajakan pun sangat dekat dengannya. Mahrizal, misalnya, adalah kawan lamanya di Arab Saudi. Wendy bahkan adik kandungnya. Sofyan dan Zulfikar adalah kawan sekampung Imran di Kotamatsum.

Wendy bergabung saat ikut Imran ke Jakarta. Ia lulus Sekolah Dasar Muhammadiyah, tapi tak tamat Sekolah Menengah Pertama Negeri X Medan. Lelaki kelahiran 1953 ini, menurut ayahnya, taat beribadah dan tak suka berkelahi.

Sofyan lahir pada 1942 dengan nama asli Sofyan Effendi. Pendidikan terakhirnya kelas III SMA Kenanga. Ia pergi ke Jakarta pada 1965. Adapun Zulfikar lahir pada 1953, bernama lengkap T. Djohan Meraxa. Pemain karate bersabuk biru ini sejak 1973 pindah ke Jakarta dan terakhir bekerja sebagai sekuriti Hotel Hilton. Zulfikar dan Icah-sapaan Mahrizal-tinggal bertetangga di kawasan Salemba, Jakarta.

Kelima pelaku tewas tertembak: tiga tewas di tempat, dua ketika dalam perawatan. Imran juga tertangkap, lalu dieksekusi mati pada akhir Maret 1983.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus