Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN orang yang berteriak-teriak tak ia hiraukan. Mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Leonardus Benjamin Moerdani berjalan tenang dipapah ajudannya menuju mobil sedan Mercedes di halaman kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat.
"Benny datang dalam kondisi fisik yang payah. Sudah tak bisa ngomong," kata Albert Hasibuan, mantan anggota Komisi Penyelidik dan Pemeriksa Pelanggaran HAM Tanjung Priok, kepada Tempo pada pertengahan September lalu.
Kamis siang, 4 Mei 2000, itu Benny datang memenuhi panggilan pemeriksaan soal dugaan pelanggaran HAM di Tanjung Priok. Pensiunan jenderal bintang empat itu diperiksa bersama mantan Panglima Komando Daerah Administrasi Militer V/Jaya Jenderal Purnawirawan Try Sutrisno dan mantan Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Mayor Jenderal Purnawirawan Sudjoko. Mereka didampingi Kepala Badan Pembinaan Hukum Mayor Jenderal TNI Timur Manurung.
Menurut Albert, sebagai orang yang diduga bertanggung jawab atas peristiwa berdarah pada 12 September 1984 itu, Benny tak berbicara sedikit pun dalam pemeriksaan. Selama sekitar satu jam sejak pukul 14.30, tim pemeriksa hanya mendengarkan keterangan tertulis. "Ajudan yang membacakan selembar kertas pernyataan Benny."
Dalam pernyataan tersebut, Benny menyatakan tak mengetahui terjadinya bentrokan massa dengan aparat militer pada malam itu. Dia menyatakan baru mengetahui dua jam kemudian setelah dikabari Try Sutrisno.
Peristiwa berdarah dengan korban puluhan jiwa di Jakarta Utara itulah antara lain yang menyeret Benny ke pusaran konflik kelompok politik Islam dengan pemerintah Presiden Soeharto. Saat itu rezim Soeharto memang terkesan menekan kelompok yang mulai membesar, terutama pasca-kemenangan Partai Persatuan Pembangunan di Jakarta pada Pemilihan Umum 1982. Agama Katolik yang dianut pria kelahiran Cepu itu semakin tak menguntungkan posisinya dalam kasus ini.
Letupan di Priok bermula dari dua aparat bintara pembina desa komando rayon militer setempat yang dituduh memasuki Musala Assa'adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara, tanpa membuka alas kaki pada 8 September. Keduanya lalu mencopot pamflet undangan pengajian remaja di Jalan Sindang Raya dan menyiram dinding musala dengan air comberan. Amuk massa pun terjadi. Sepeda motor aparat itu juga dibakar.
Kekerasan itu membuat empat warga, termasuk Ketua Musala Assa'adah Ahmad Sahi, dicokok petugas Komando Distrik Militer 0502 Jakarta Utara. Permintaan Ketua Posko 66 Amir Biki agar keempatnya dibebaskan tak bersambut. Esok malamnya, 12 September, Amir bersama massa secara bersamaan merangsek ke kantor Kepolisian Resor dan Kodim Jakarta Utara. "Kalau mereka tidak dibebaskan, kita harus memprotesnya," kata jebolan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
Bentrokan pun terjadi. Korban berjatuhan di depan kantor polisi. Amir bersama dua rekannya yang menjadi perwakilan juga ditembak di halaman markas Kodim. Keluarga korban mengklaim korban tewas dan terluka mencapai ratusan orang.
BENI Biki, adik almarhum Amir, menuding Benny Moerdani di balik kekerasan berdarah itu. "Sejak Benny menjabat Panglima ABRI pada 1983, tekanan terhadap kelompok Islam semakin keras," ujarnya pada pertengahan September lalu.
Mantan anak buah Benny menampik keras tuduhan itu. Ia menuturkan kasus Priok merupakan tanggung jawab Panglima Kodam Jaya. Semestinya Try Sutrisno-lah yang turun tangan. Tapi, dalam kasus ini, Soeharto memerintahkan Benny menanganinya agar Ibu Kota tenang. "Repot karena Pak Benny seorang kristiani," katanya. Menurut dia, sebagian pentolan massa adalah binaan intelijen Kodam Jaya. "Karena itu, mereka berani turun ke jalan," ucapnya.
Letnan Jenderal Marinir Purnawirawan Nono Sampono, ajudan Benny pada 1983-1988, membenarkan adanya agen-agen intelijen yang disusupkan di kelompok Islam. Ia tak mengerti mengapa Benny harus memegang tanggung jawab Try. Nono hanya menggarisbawahi mantan bosnya itu memang cenderung mengambil alih tanggung jawab jika mengetahui ada masalah. "Kasus Priok bukan by design, melainkan accident. Gampang sekali disulut, orang lapar," katanya.
Try memastikan tak ada perintah penembakan. "Ada rakyat spontan emosi. Akhirnya mau bakar Kodim, Polres, sampai ada korban," ucap Try, pertengahan September lalu. Dalam kasus ini, kata dia, tak ada pelanggaran HAM karena tak terpenuhi unsur ada perintah atasan serta kejadian meluas dan sistematis.
Beni Biki juga menolak jika kakaknya dianggap intel. Menurut dia, justru sang kakak sering disatroni intel ketika tengah menggelar diskusi di rumahnya di Jalan Simpang Lima Semper, Koja. Pernah juga rekan Amir datang menjual granat tangan dan kemudian dilaporkan Amir. Tapi, menurut Beni, orang itu dibebaskan polisi dua hari setelah dilaporkan oleh Amir.
Nono mengaku mendengar kabar dari Kodam Jaya tentang adanya gerakan pada Rabu sore melalui radio monitor. Sesampai di kantor polres, Benny menginterogasi belasan prajurit Artileri Pertahanan Udara. "Coba kamu ceritakan apa yang terjadi. Bagaimana kamu bisa nembak orang?" ujarnya menirukan Benny. Setelah mendapat penjelasan, Benny menilai tindakan prajurit sesuai dengan prosedur.
Mereka, kata Nono, juga menggunakan senjata semi-otomatis buatan PT Pindad, bukan M16, sehingga tak ada tembakan berondongan seperti disebutkan. "Walau saya bilang tepat, kamu jangan sombong, karena yang kamu tembak ini saudaramu sendiri," kata Nono menirukan Benny lagi.
Benny saat itu lantas ke terminal kontainer barang di Tanah Merah. Sambil mengetuk-ngetuk kontainer, dia berkata, "Inilah sebab-musabab masalah itu." Menurut Benny, warga beringas karena pemerintah main gusur demi membangun dermaga pelabuhan kontainer.
Lewat Nono, Benny meminta Menteri Agama Munawir Sjadzali mengumpulkan tokoh agama di Jakarta. Pada Kamis malam, 13 September, hadir sejumlah tokoh dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Dalam rapat muncul kekhawatiran terjadi gejolak kalau jumlah korban diumumkan apa adanya. "Ini jumlah korban sesungguhnya 28. Saya kembalikan kepada Bapak-bapak apakah angka ini saya sebutkan," ujar Benny. Rapat sepakat jumlah korban dikorting lima, sesuai dengan Pancasila. Tapi, dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat, Benny menyampaikan angka sebenarnya. Belakangan, total korban tewas disebut 33 orang.
Buya Syafii Maarif, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, mengatakan tak tahu pasti cerita rekayasa jumlah korban. "Itu sudah lama sekali," ucapnya kepada Devy Ernis dari Tempo, Senin pekan lalu. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Muhammad Nur Khoiron, mengakui adanya cerita itu. "Ada di berkas," ujar Khoiron, yang juga aktivis NU.
Toh, Benny Moerdani dan Try Sutrisno lolos dari jerat hukum. Pengadilan HAM Berat Priok memvonis 10 tahun penjara mantan Komandan Kodim 0502 Mayor Jenderal Purnawirawan Rudolf Adolf Butar Butar pada 30 April 2004. Tiga bulan kemudian, komandan lapangan Sutrisno Mascung divonis tiga tahun. Pada saat kejadian, dia berpangkat kapten. Sedangkan 11 bekas anak buahnya masing-masing dihukum dua tahun penjara dan membayar uang kompensasi Rp 1.000.015.
Namun mereka tak langsung dipenjara karena hakim tak memerintahkan eksekusi langsung. Pada pertengahan 2005, mereka dibebaskan oleh pengadilan tinggi. Lalu, pada Mei 2006, Mahkamah Agung menolak pengajuan kasasi Sutrisno dkk karena dianggap bukan perkara pelanggaran HAM berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo