Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ali Merangkul, Benny Menindak
Benny Moerdani mempunyai cara lain "mendekati" eks kelompok Islam yang berambisi mendirikan negara Islam. Baik Ali Moertopo maupun Benny memang melakukan penggalangan.
SARDJONO Kartosoewirjo masih ingat ketika sejumlah anggota keluarga eks Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dipanggil ke kantor Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) di Bandung. Kala itu mereka ditemui Kolonel Pitut Soeharto, Direktur Operasi Khusus di bawah Deputi III Bakin. Pertemuan itu berlangsung menjelang Pemilihan Umum 1977. "Sebagian dari kami dijanjikan diangkat sebagai wakil rakyat yang tersebar di kabupaten, provinsi, dan pusat," ujar putra bungsu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, tokoh DI/TII, itu saat ditemui Tempo di rumahnya di Malangbong, Garut, akhir September lalu.
Kepada anggota keluarga eks DII/TII itu, Pitut mengatakan mereka ditawari jabatan tersebut karena dianggap berjasa memenangkan Golkar pada pemilihan umum sebelumnya. Pertemuan dihadiri 13 orang, di antaranya Dewi Siti Kalsum, istri S.M. Kartosoewirjo; bersama anaknya-anaknya, Dodo Muhamad Darda, Tahmid Rahmad Basuki, dan Sardjono; serta tokoh Negara Islam Indonesia (NII) lainnya, yakni Danu Muhammad Hasan, Ateng Jaelani, Adah Jaelani, dan Aceng Kurnia.
Nama Pitut Soeharto banyak disebut sebagai arsitek utama operasi intelijen di tubuh NII sepeninggal Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Pitut disebut "ditarik" Ali Moertopo ke Operasi Khusus dan Bakin sejak 1969. Tugasnya "menetralkan" anggota NII. Pitut memakai taktik tabur uang dan memberikan bisnis kepada mereka yang dirangkulnya itu. "Pemilu 1971, kami dibagikan petromaks ke pesantren demi menyukseskan Golkar," ujar Sardjono.
Mendapat tawaran sebagai wakil rakyat, Sardjono menganggukkan kepala. Apalagi dia tahu dua pertiga anggota Dewan diusulkan dan diangkat presiden. Seusai pertemuan, mereka kembali diminta meneken "ikrar setia" kepada Republik Indonesia. "Ini sudah lebih dari tiga kali kami teken. Toh, isinya begitu-begitu saja," katanya.
Tapi, tak lama setelah pertemuan itu, Sardjono mengatakan ada undangan agar mereka datang ke komando daerah militer. Saat itu yang ada di Bandung hanya Danu Muhammad Hasan dan Dodo Muhammad Darda, kakak Sardjono. Namun, setelah dipanggil kodam, keduanya tidak pernah pulang ke rumah.
Kepanikan Sardjono makin bertambah ketika Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Laksamana Soedomo menyebutkan adanya gerakan reinkarnasi ideologi NII, yang disebut Komando Jihad. "Para pemimpin Komando Jihad memiliki hubungan dengan Ali Moertopo, meskipun menyangkal," ujar Soedomo dalam buku Ali Moertopo dan Dunia Intelijen Indonesia. Dalam penjelasannya, Soedomo juga menyatakan Komando Jihad tidak bisa dilepaskan dari gerakan DI/TII pimpinan Kartosoewirjo.
Sardjono heran terhadap tudingan itu. Apalagi dia mendapat informasi bahwa kelompok Imran, pemimpin Komando Jihad, memang provokatif dan mengecam pemerintah. Tapi, anehnya, dia sering lolos dalam penangkapan. Gaya berpakaiannya juga janggal karena selalu perlente dan mengenakan barang bermerek. "Barang-barang seperti itu dari mana kalau tidak ada yang membiayai?" ucapnya. Pelbagai kejanggalan itu meyakinkan Sardjono bahwa Imron adalah binaan intelijen. "Komando Jihad hanyalah bikinan untuk menyudutkan kami," katanya.
Keluarga eks DI/TII yang telah berhubungan baik dengan Ali Moertopo makin kebingungan setelah Ali diangkat sebagai Menteri Penerangan. Mereka tidak bisa lagi curhat. "Ali Moertopo sudah kami anggap Sukarno kecil. Pidatonya tak lama, tapi mampu mengobarkan semangat," ujar Sardjono.
Sardjono kemudian mafhum kalangan Islam sedang "dipukul" pemerintah Orde Baru. Caranya "dibangkitkan" lagi, tapi setelah muncul mereka kemudian ditindak. "Ibarat kacang, setelah tumbuh kecambah langsung dipotong. Istilahnya tyndalisasi," ucapnya. Tyndalisasi merupakan sterilisasi bertahap untuk membersihkan atau menghilangkan bagian tumbuhan. Menurut dia, tindakan itu terus berlangsung hingga 1986.
Menurut Sardjono, pendekatan terhadap kelompok Islam memang berubah. Dulu, saat Ali Moertopo aktif di Operasi Khusus Intelijen, cara dia adalah "merangkul". Tapi di zaman Benny Moerdani, yang saat itu menjadi Kepala Pusat Intelijen Strategis, digunakan metode "penindakan".
ALI Moertopo dan Benny Moerdani besar di lingkungan intelijen. Dalam buku Rahasia-rahasia Ali Moertopo disebutkan bahwa Ali dan Benny dipertemukan dalam Operasi Trikora, pembebasan Irian Barat dari Belanda, pada 1962. Saat itu Ali perwira yang ditugasi sebagai komandan kesatuan intelijen dengan tugas mengatur penyusupan untuk mendarat di Irian. Adapun Benny bergabung dengan Resimen Para Komando Angkatan Darat dan memimpin Operasi Naga menyerbu Merauke. Semua operasi Benny saat itu dalam pantauan Ali.
Dalam buku itu juga disebutkan Ali "menghabisi" suara partai Islam lewat Operasi Khusus dan koordinasi intelijen demi kepentingan Orde Baru. Ali, yang saat kecil oleh keluarganya dipanggil Mangkyo, menggunakan "orang dalam" untuk menjinakkan pengusung NII.
Keduanya memang sama-sama bertindak demi kepentingan Orde Baru-khususnya Soeharto. Namun cara penanganan terhadap kelompok Islam oleh Benny, yang pada masa itu menjabat Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan, menimbulkan pandangan bahwa Orde Baru anti-Islam. Hal itu makin menjadi-jadi setelah terjadinya peristiwa Tanjung Priok. Dalam peristiwa pada 12 September 1984 itu, tokoh ulama pengunjuk rasa, Amir Biki, tewas.
Menurut Teddy Rusdy, bekas Perwira Pembantu VII Staf Intel Hankam, tugas intelijen adalah bertindak berdasarkan reaksi atas suatu kejadian. Mantan asisten Benny ini mengakui di lembaga intelijen memang ada operasi penggalangan. "Ali dan Benny melakukan itu."
Ali, menurut Teddy, melihat adanya peluang menggalang generasi kedua kelompok DI/TII. Dia lantas mendekatkan diri dengan generasi bekas aktivis Darul Islam itu. Hanya, kata dia, "Pihak yang digalang ini mau, tidak mau, atau pura-pura." Sedangkan di pihak lain, Benny melihat gerakan tersebut perlu dipantau. "Gerakan yang terjadi sebelum dan sesudah itu harus dicermati," ucap Teddy. Namun, jika pemantauan Benny ternyata ada hubungan dengan orang yang digalang Ali, Teddy melanjutkan, itu persoalan lain. "Intelijen bertindak bukan mencari-cari."
Teddy tak setuju jika Benny dikatakan anti-Islam. Menurut dia, meski Benny beragama Katolik, keluarganya lebih mengutamakan persatuan dan kebersamaan. Apalagi bapaknya muslim dan kakeknya ulama besar di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Letnan Jenderal Marinir Purnawirawan Nono Sampono, bekas ajudan Benny, punya pandangan yang sama. Dia mengatakan Benny justru sangat dekat dengan kalangan Islam. Contohnya, ia sering berkunjung ke pesantren dan sangat dekat dengan Kiai As'ad Syamsul Arifin, pemimpin pesantren di Situbondo, Jawa Timur. Menurut Nono, Benny selalu menyempatkan diri mengunjungi Kiai As'ad paling tidak dua bulan sekali. "Kalau tidak sempat ke sana, saya yang harus mendatangkan kiai itu secara khusus ke Jakarta," tuturnya.
Benny, kata Nono, juga memperhatikan pembangunan masjid yang dibutuhkan umat Islam. "Dia membantu membangun masjid lebih banyak ketimbang membantu pembangunan gereja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo