Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR peledakan kantor cabang Bank Central Asia (BCA) di Jalan Pecenongan, Jakarta Barat, pagi itu, Kamis, 4 Oktober 1984, mengusik ketenangan Benny Moerdani. Setelah menerima kunjungan Kepala Staf Angkatan Udara Bangladesh, dia langsung berkoordinasi dengan Panglima Kodam V/Jaya Mayor Jenderal Try Sutrisno. "Segera jemput saya," demikian perintah Benny seperti ditirukan Try, Jumat dua pekan lalu. Try melesat menggunakan jip yang ia kemudikan sendiri menjemput Benny. Keduanya lalu menuju lokasi kejadian.
Di BCA Pecenongan, puluhan orang telah berkerumun. Bom yang meledak pukul 09.15 itu membuat kantor dua lantai tersebut porak-poranda. Saat Benny datang, kaca, pecahan batu, dan kayu berserakan di mana-mana. Dari laporan beberapa karyawan, diketahui ada orang mencurigakan-yang diduga pelaku-terluka dan terjebak di kamar mandi. Bersama Try, Benny pun langsung menuju kamar mandi.
Lelaki tak dikenal itu ditemukan dalam kondisi bertelanjang dada. Beberapa bagian tubuhnya terluka parah. Sejumlah saksi mengatakan, sebelum ledakan, ia meninggalkan bungkusan yang dibalut kertas semen di salah satu sudut kantor. Saat bungkusan itu meledak, ia belum sempat lari jauh. Lelaki itu belakangan diketahui bernama Jayadi. Dari Jayadi, diketahui bahwa BCA dijadikan target lantaran bank milik Liem Sioe Liong itu dianggap sebagai simbol dominasi ekonomi Cina di Indonesia.
Selama berkeliling di lokasi, Benny tak banyak berbicara. Ia lebih banyak mengamati. Try-lah yang melakukan interogasi. Menurut Try, Benny selalu tahu membagi "porsi" tugas. Meski ada di lokasi, Benny tetap percaya kepada anak buahnya. "Dia mengedepankan prinsip delegasi kewenangan," ujar Try.
Berselang enam menit dari bom pertama, datang laporan ada bom lagi meledak di kantor cabang BCA di Jalan Gajah Mada, Jakarta Barat. Ledakan itu membuat tembok di sekitar tangga retak-retak. Panel listrik yang terletak dua meter dari titik ledakan jebol. Sedangkan kursi plastik cokelat di bawah tangga, tempat nasabah duduk, hancur sebagian. Tujuh orang mengalami luka berat dan tujuh orang luka ringan karena ledakan kedua itu.
Hari itu rupanya terjadi teror bom. Hampir dalam waktu bersamaan, tak jauh dari BCA Gajah Mada, bom ketiga meledak di kompleks pertokoan di Jembatan Metro, Glodok. Seorang pemilik toko, Go Chi Hin, 42 tahun, dan seorang anggota satuan pengamanan bernama Effendi ditemukan tewas. Effendi meninggal dengan dada remuk dan wajah hangus hitam. Satu satpam lain, Suparto, ditemukan pingsan tak jauh dari pusat ledakan. Segera setelah memeriksa BCA Pecenongan, Benny dan Try langsung meninjau lokasi ledakan di BCA Gajah Mada dan kompleks pertokoan Glodok. Setelah lebih dari dua jam berkeliling, Benny segera menggelar jumpa pers.
Sebenarnya konferensi pers hari itu semula akan dimaksudkan Benny untuk mengumumkan persiapan peringatan hari ulang tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang diperingati esok harinya. Namun konferensi yang sempat ditunda sekitar tiga jam itu akhirnya berubah menjadi penjelasan perihal teror bom tersebut. "Saya minta maaf atas keterlambatan ini, karena hal yang tentunya Saudara-Saudara sudah lebih tahu," ujar Jenderal Benny, membuka pembicaraan kepada wartawan.
Dalam keterangannya, Benny menyatakan sengaja melakukan peninjauan bersama Try ke lokasi ledakan untuk memastikan keadaan. "Saya cenderung mengatakan peristiwa ledakan itu merupakan teror," katanya. Benny menyampaikan komitmen tegas dari ABRI untuk menumpas segala bentuk aksi kekerasan di tengah masyarakat.
Tindakan cepat Jenderal Benny yang segera mengumumkan terjadinya peristiwa ledakan itu mendapat reaksi positif dari banyak pihak. Pada hari itu nyaris tak ada aktivitas masyarakat yang terganggu. Kecuali di pertokoan Metro, semua kantor dan toko di daerah sekitar ledakan tetap dibuka seperti biasa.
Deretan kasus peledakan kantor BCA itu akhirnya menyeret beberapa kelompok "ekstrem kanan" ke pengadilan. Lewat Jayadi, yang lebih dulu ditangkap, Benny akhirnya mendapati sejumlah nama lain. Dalam kurun tiga bulan, aparat keamanan telah menahan lebih dari sepuluh orang yang diduga terlibat. Mereka antara lain Chairul Yunus alias Melta Halim, Tasrif Tuasikal, Edi Ramli, dan Hasnul Arifin. Jayadi sendiri belakangan kemudian divonis 15 tahun penjara, sedangkan hukuman terdakwa lain bervariasi, yakni 5-8 tahun.
Tak hanya menyeret kelompok ekstrem kanan yang disebut-sebut ingin mendirikan negara Islam, teror bom ini juga "menyeret" sejumlah tokoh Petisi 50, yang getol menyuarakan penolakan atas berlakunya asas tunggal Pancasila. Aparat keamanan menuding Haji Muhammad Sanusi membiayai peledakan, Rachmat Basuki sebagai pelaku, serta A.M. Fatwa dan H.R. Dharsono sebagai dalang peledakan. Semuanya dijebloskan ke penjara.
Penangkapan para tokoh Islam ini memicu reaksi keras kelompok ekstrem kanan di beberapa daerah. Husein Ali Alhabsy, salah seorang mubalig di Jawa Tengah, menggunakan penangkapan para tokoh Islam untuk menyiapkan serangan lanjutan. Pada 20 Januari 1985, ia meledakkan Candi Borobudur, yang menyebabkan beberapa stupa rusak. Di pengadilan, Husein menolak tuduhan atas keterlibatannya dan menuding Mohammad Jawad, yang tidak tertangkap, sebagai dalang. Setelah diganjar penjara seumur hidup, pada 23 Maret 1999 Husein mendapatkan grasi dari pemerintah B.J. Habibie.
Pada 16 Maret 1985, kembali terjadi ledakan. Kali ini peledakan terjadi di bus Pemudi Ekspres, yang tengah berada sekitar 20 kilometer di sebelah barat Banyuwangi, Jawa Timur. Tujuh penumpang dilaporkan tewas akibat ledakan. Pelakunya Abdulkadir al-Habsy, yang menjadi kunci pembuka misteri ketiga ledakan itu. Abdulkadir sendiri kemudian dihukum penjara 20 tahun.
Sanusi menolak jika dituduh terlibat peledakan itu. Menurut dia, pelibatan namanya dalam pucuk jaringan peledakan kantor BCA Cabang Pecenongan, Gajah Mada, dan Jembatan Metro, Glodok, hanya perangkap intelijen yang dimainkan Benny Moerdani untuk memberangus kelompok oposisi yang aktif terlibat di Petisi 50. "Saya tidak bersalah sama sekali," ujar Sanusi dalam wawancara dengan majalah Tempo setahun setelah peledakan. Pada peristiwa pengeboman BCA, Sanusi dijerat dengan Undang-Undang Antisubversi dan dipenjara selama hampir 10 tahun. Ia dibebaskan pada Mei 1994 dan mendapatkan amnesti pada Agustus 1998 dari Presiden Habibie.
Pengakuan serupa disampaikan A.M. Fatwa. Menurut dia, rangkaian peristiwa bom yang terjadi beberapa bulan setelah kerusuhan di Tanjung Priok hanyalah rekaan militer. Fatwa yakin skenario itu disiapkan tentara untuk menunjukkan bahwa ia dan aktivis Petisi 50 lainnya tidak Pancasilais. "Ini permainan. Saya anggap yang mengendalikan operasi waktu itu, ya, Benny," katanya kepada Tempo.
Asisten Benny, Teddy Rusdy, membantah adanya upaya rekayasa itu. Menurut dia, segala tindakan yang dilakukan sudah sesuai dengan prosedur. Penumpasan tindak terorisme merupakan bagian dari upaya ABRI mengamankan negara. Adapun Try Sutrisno memastikan penumpasan serangkaian aksi bom murni untuk menghentikan gerakan kelompok ekstrem kanan. "Itu bukan provokasi, melainkan memang ada dan pelakunya sudah diadili."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo