Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Stimulus Fiskal

23 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mohamad Ikhsan
Peneliti senior LPEM-FEUI

KRISIS global saat ini jauh lebih parah dari perkiraan semula dan suasana ketidakpastiannya sangat tinggi. Kepercayaan masyarakat dunia terhadap perekonomian menurun tajam. Akibatnya, gambaran ekonomi dunia terlihat makin suram dari hari ke hari walaupun semua bank sentral sudah menurunkan suku bunga sampai tingkat yang terendah.

Tingkat bunga yang sedemikian rendahnya itu justru menyebabkan ruang untuk melakukan kebijakan moneter menjadi terbatas, sehingga pilihan yang tersedia hanya pada kebijakan fiskal. Negara-negara yang tergabung dalam G-20 dalam komunike bersamanya baru ini-ini sepakat mendorong lebih cepat ekspansi kebijakan fiskal minimal 2 persen dari produk domestik bruto untuk memulihkan perekonomian dunia.

Walaupun secara teoretis kebijakan fiskal dapat berfungsi sebagai stimulus perekonomian, dalam pelaksanaannya sering kali terdapat hambatan. Hambatan ini dirasakan terutama di negara berkembang.

Pengalaman Masa Lalu
Pengalaman masa lalu memberikan beberapa pelajaran penting. Pertama, kebijakan fiskal seharusnya bersifat countercyclical. Artinya, ekspansi kebijakan fiskal dilakukan pada saat ekonomi lesu, sehingga kemunduran laju perekonomian dapat dihindari. Sebaliknya, ketika ekonomi sedang jaya, kebijakan fiskal lebih restriktif digunakan. Di samping untuk mengerem laju perekonomian yang berlebihan, juga untuk mengumpulkan cadangan fiskal yang bisa digunakan pada masa sulit. Biasanya, pola ini diterapkan oleh negara-negara industri.

Berbeda dengan negara sedang berkembang. Studi yang dilakukan Ethan dan Vegh (2008) menunjukkan, negara berkembang cenderung mengikuti pola procyclical. Pola ini biasanya akan mendorong perekonomian tumbuh sangat cepat pada masa kejayaan, tapi menurun tajam saat krisis. Pola itu pada umumnya terjadi karena kelemahan dan ketiadaan automatic stabilizer dan adanya kebijakan-kebijakan yang bias pada prosiklikal ini.

Kelemahan berkaitan dengan ketiadaan automatic stabilizer karena negara berkembang seperti Indonesia tidak memiliki sistem jaminan sosial yang formal. Alhasil, penurunan penerimaan pajak akibat melemahnya perekonomian tidak diikuti oleh kenaikan pengeluaran pemerintah dalam bentuk transfer program, sehingga tidak cukup menimbulkan smoothing effect dalam meredam fluktuasi ekonomi.

Prosiklisitas ini sebagian juga disebabkan oleh antara lain ketidakmampuan negara berkembang mengakses dana untuk membiayai defisit anggaran di masa sulit dan kendala ekonomi politik untuk membatasi pengeluaran pada masa jaya. Akibatnya, pemerintah tidak bisa membiayai defisit anggaran yang dibutuhkan pada masa sulit, dan hal itu memaksa mereka mengurangi pengeluaran ketika ekonomi melemah.

Implikasinya, stimulus fiskal diarahkan pada kegiatan yang reversable. Artinya, kegiatan ini bersifat temporer dan bisa dihentikan pada saat ekonomi membaik. Tambahan pengeluaran yang bersifat permanen hendaknya dihindari, karena akan menambah prosiklisitas dari anggaran.

Dimensi lain yang berkaitan dengan siklus bisnis ini juga melihat apakah pergerakan permintaan agregat sekarang berada di bawah kapasitas terpasang (penawaran agregat). Langkah ini menjadi penting agar stimulus fiskal tidak menambah dorongan inflasi, yang pada gilirannya justru akan memukul daya beli masyarakat dan perekonomian.

Pelajaran penting kedua, hasil studi empiris menunjukkan bahwa terlepas dari siklisitasnya, kebijakan fiskal cenderung memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahkan, dampaknya cenderung lebih besar dibandingkan di negara industri. Tapi, dampak di negara berkembang ini berlangsung dalam waktu yang lebih pendek dan cepat.

Penyebab hal itu berkaitan dengan struktur utang suatu negara. Di negara yang rasio utangnya tinggi, pemerintah terpaksa membayar lebih mahal utang untuk membiayai defisitnya. Spread ini cenderung meningkat pada masa krisis, seperti yang kini dialami Indonesia. Melebarnya spread ini mendorong kenaikan suku bunga dan mengurangi efek pengganda dari stimulus fiskal itu. Implikasinya, stimulus fiskal harus dilakukan dengan cepat (timely), walaupun tidak terburu-buru. Yang terakhir perlu diperhatikan adalah kepentingan jangka menengah dan panjang.

Pelajaran lain yang perlu dipertimbangkan adalah tambahan pengeluaran diupayakan untuk kegiatan yang menghasilkan dampak pengganda yang paling tinggi. Hasil studi empiris menunjukkan, pengeluaran pemerintah untuk belanja modal dan barang menghasilkan dampak pengganda yang besar, diikuti oleh program transfer seperti bantuan langsung tunai, dan terakhir pajak. Dalam pajak sendiri, pengurangan tingkat pajak pendapatan perusahaan tergolong yang paling besar dampaknya, diikuti pajak pendapatan perorangan dan pajak pertambahan nilai.

Walaupun menghasilkan dampak yang paling besar, belanja modal membutuhkan persiapan yang cukup panjang. Repotnya, dampak penggandanya akan menurun secara signifikan jika tidak dibelanjakan pada waktu yang tepat. Dalam kasus Indonesia, ketika sebagian pelaksanaannya dilakukan pemerintah daerah, kendala waktu bisa menjadi hambatan—seperti dalam beberapa tahun terakhir.

Faktor lain adalah siklus pemilu. Dalam keadaan pemerintahan yang tidak secara efektif didukung oleh parlemen, ekspansi anggaran kepada rakyat miskin—yang memiliki efek pengganda besar—dipandang sebagai bagian dari pembelian suara menjelang pemilu. Partai nonpemerintah pasti menolak alokasi untuk kegiatan ini. Alhasil, bantuan langsung tunai yang direncanakan akan diberikan minimal enam bulan dipotong menjadi hanya dua bulan selama 2009.

Pengalaman APBN 2009
Anggaran 2009 direncanakan mengalami defisit 2,5 persen dari produk domestik bruto, meningkat tajam dari realisasi tahun lalu yang hanya 0,1 persen. Peningkatan ini bersamaan dengan kebijakan reformasi perpajakan yang mengubah UU Pajak Penghasilan. Perubahan ini antara lain tarif pajak penghasilan perusahaan diturunkan dari 30 persen menjadi 28 persen pada 2009, dan dari 25 persen menjadi 23 persen untuk perusahaan publik; tarif pajak untuk usaha kecil dan menengah hanya 50 persen dari tarif pajak penghasilan; batas pendapatan tidak kena pajak untuk pajak perseorangan dinaikkan dari Rp 13,2 juta per tahun menjadi Rp 15,8 juta; lapisan pajak untuk pajak penghasilan perseorangan dinaikkan dari maksimum Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.

Simulasi dengan menggunakan data penerimaan pajak pada 2007 menunjukkan tax saving yang diberikan oleh pemerintah kepada wajib pajak tahun ini berjumlah Rp 32,6 triliun. Mengingat realisasi total penerimaan pajak pada 2007 lebih kurang 65 persen dari sasaran penerimaan pada 2009, maka tax saving yang diterima perusahaan dan wajib pajak perorangan jauh lebih besar dibandingkan simulasi di atas, sekitar Rp 45-50 triliun. Pengurangan pajak ini merupakan stimulus fiskal yang paling besar.

Banyak yang mengkritik bahwa stimulus fiskal ini tidak akan mampu mendorong perekonomian, karena hanya meningkatkan tabungan. Fenomena ini dikenal sebagai Ricardian Equivalent—karena pembayar pajak menyadari bahwa penurunan pajak sekarang akan diikuti dengan kenaikan pajak di masa mendatang. Tapi meminjam argumen Paul Krugman, dalam keadaan ada kendala pembiayaan, penerima manfaat dari stimulus pajak penghasilan ini terpaksa menghabiskan tax saving untuk belanja konsumsinya.

Lagi pula, karena pembayar pajak melihat perubahan kebijakan pajak ini bersifat permanen, mereka tidak perlu khawatir akan terjadi perubahan kebijakan dalam jangka menengah. Selain itu, dalam struktur demografi penduduk yang proporsi penduduk produktifnya masih meningkat, tidak ada alasan yang kuat untuk memperkirakan terjadi perubahan (kenaikan) tarif pajak di masa mendatang.

Pemerintah juga menambah insentif pajak penghasilan karyawan yang bersifat temporer. Pemerintah memberikan subsidi pajak karyawan berpenghasilan di bawah Rp 5 juta, sepanjang perusahaan tidak memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya. Langkah ini diharapkan dapat menambah penghasilan karyawan dan sekaligus meningkatkan daya belinya. Insentif pajak karyawan ini digunakan untuk menggantikan insentif pajak pertambahan nilai yang diperkirakan kurang efektif mendorong permintaan agregat.

Porsi tambahan pengeluaran jenis kedua digunakan untuk menambah belanja modal dalam bentuk tambahan pembangunan infrastruktur sebesar Rp 9,7 triliun. Tambahan lainnya adalah pengeluaran untuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang pada 2008 hanya mencakup 3.800 kecamatan, tahun ini untuk semua kecamatan (6.000-an). Pengalaman menunjukkan, sebagian besar dana hibah ini digunakan untuk membangun infrastruktur pedesaan. Jadi bisa diharapkan menghasilkan efek pengganda yang besar pula.

Secara agregat, jumlah stimulus ini memang kurang memadai. Tapi, pengalaman masa lalu menunjukkan, sering kali kendala teknis menyebabkan belanja ini selalu bersisa dan pengeluarannya bertumpuk di akhir tahun. Jadi, tantangannya adalah bagaimana memastikan tambahan stimulus yang terbatas ini bisa digunakan secara efektif dan tepat waktu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus