Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Juragan Panci, Doktor Prancis

Bermacam-macam latar belakang menteri baru: ada yang pernah jadi juragan panci, ada pula kontraktor minyak. Berikut ini profil mereka.

14 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jusman Syafii Djamal 53 tahun Menteri Perhubungan

ULANG tahun ke-14 gadis manis itu benar-benar istimewa. Minggu dua pekan lalu selepas magrib, ketika semua kawan sudah berkumpul di Mal Parijs van Java, Bandung, telepon ayahnya, Jusman Syafii Djamal, berdering. ”Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi menelepon,” kata Jusman. Ia diminta datang ke kediaman Presiden di Cikeas malam itu juga. Presiden memintanya menjadi salah satu menteri baru. Makan malam bersama keluarga pun dibatalkan.

Jusman tidak berlatar belakang pendidikan perhubungan atau berkarier di sektor itu. Tapi Presiden kepincut kepadanya ketika ia sebagai anggota Tim Nasional Evaluasi Kecelakaan dan Keselamatan Transportasi mempresentasikan hasil evaluasi tim itu di Istana Negara, Februari lalu. Menurut Presiden, seperti dituturkan Jusman kepada Tempo, ia dinilai mampu menyajikan data, memahami masalah, dan menemukan solusi di dunia perhubungan.

Jusman, lulusan Teknik Mesin Jurusan Penerbangan Institut Teknologi Bandung, mencuat ketika menjabat Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PT DI) pada tahun 2000. Ia sukses mengalihkan Rp 2,1 triliun utang perusahaan menjadi penyertaan modal pemerintah. Setelah itu, PT DI dibuatnya untung untuk pertama kali dalam sejarah: Rp 11 miliar masuk kas perusahaan ini. Di pihak lain, ia pernah dikritik karena membiarkan PT Dirgantara menerima pesanan panci dan membuat antena parabola ketika perusahaan itu sedang nyungsep.

Keberhasilan Jusman tak berlanjut karena rendahnya dukungan dana pemerintah. PT DI tak sanggup bersaing dengan perusahaan besar lain dan citranya di pasar dunia merosot. Akibatnya, semasa Jusman menjabat, perusahaan itu hanya menerima empat pesanan—semuanya tipe CN-235 dari Pakistan.

Bekas anak buah Jusman yang kini Direktur Operasi dan Produksi PT DI, Budi Wuraskito, menilai mantan bosnya berhasil memimpin pabrik pesawat terbang itu. Jusman, katanya, tipe pemimpin yang jujur, pekerja keras, berdisiplin, dan kompromistis. ”Sikapnya yang kompromistis membuatnya tak bisa tegas,” ujar Budi.

Lukman Edi 37 tahun Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal

DI Riau, nama Lukman Edi selalu dikaitkan dengan dua nama lain: H M. Rusli Zainal, kini Gubernur Provinsi Riau, dan Indra Muchlis Adnan, sekarang Bupati Indragiri Hilir. Yang pertama adalah sepupu Lukman, sedangkan yang kedua kakaknya. Ketiganya dikenal kerap ”bahu-membahu”, ”Mengerjakan pembangunan proyek pemerintah yang dananya diperoleh dari anggaran daerah Provinsi Riau dan Kabupaten Indragiri Hilir,” kata Wan Thayib, pengusaha setempat.

Selepas menimba ilmu teknik sipil di Universitas Brawijaya pada 1996, Lukman kembali ke Riau dan berbisnis melalui PT Inti Dinamika. Ia pernah menjadi supplier perusahaan minyak PT Caltex Pacific Indonesia di Riau.

Pada 1998, ayah tiga anak ini masuk kancah politik lewat Partai Kebangkitan Bangsa. Dan ketika terjadi perebutan kursi Ketua Umum PKB antara Muhaimin Iskandar dan Choirul Anam pada 2005, Lukman memihak Muhaimin. Sebagai imbalan, ia diberi jabatan sekretaris jenderal. Muhaimin juga dengan senang menyebut namanya ketika Presiden meminta nama calon menteri yang diusulkan partai kaum nahdliyin itu.

Senin pekan lalu, pada usia 37 tahun, Lukman Edi diangkat sebagai Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal dan menjadi menteri termuda di republik ini. Tapi ada pula yang menanggapinya sinis dengan mengatakan Lukman dipilih bukan karena kemampuan, melainkan karena posisinya di PKB. Kata Wakil Gubernur Riau Wan Abubakar, Lukman dipilih ”karena perahunya, bukan karena kemampuannya”.

Andi Mattalata 55 tahun Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

DENGAN mata berkaca-kaca, Hamid Awaludin menyebut Andi Mattalata bapak asuhnya. Sebaliknya, Andi menyebut Hamid adiknya. Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu memang berutang budi kepada Andi, yang sejak Senin pekan lalu menggantikannya sebagai menteri.

Keduanya berasal dari satu daerah: Sulawesi Selatan. Andi pernah menjadi dosen Hamid di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Belakangan, Hamid pun mengikuti jejak Andi menjadi dosen hukum.

Peristiwa lain yang mengikat keduanya terjadi pada 1984. Ketika itu, Hamid mendapat beasiswa belajar hukum di Washington University, Amerika Serikat. Sebelum berangkat, Hamid datang ke rumah Andi di kawasan Utan Kayu, Jakarta Timur, untuk mondok selama kursus bahasa Inggris di Lembaga Indonesia Amerika di Jalan Pramuka. Saat itu Andi sedang mengejar gelar master hukum di Universitas Indonesia dan aktif di Golongan Karya. ”Kami tak menyangka akan berganti jabatan seperti sekarang,” kata Andi saat melepas Hamid, Senin pekan lalu.

Tapi, kepada wartawan, Andi berjanji tidak akan melindungi ”adiknya” itu bila terbukti bersalah dalam kasus pencairan uang Tommy Soeharto. ”Amat baik bila departemen ini memberi contoh penegakan hukum,” katanya. Ia juga mengatakan siap melakukan klarifikasi internal atas kasus itu bila diminta polisi atau kejaksaan. ”Kita tentu menghormati Hamid, tapi negara harus memproses kasus ini,” katanya.

Muhammad Nuh 48 tahun Menteri Komunikasi dan Informatika

SABTU sore dua pekan lalu, perempuan itu kebingungan. Sebuah nomor asing berkali-kali menghubungi telepon seluler suaminya, Muhammad Nuh, mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Ketika itu, sang suami sedang mandi. Pada panggilan keenam, Laily Rachmawati, perempuan 43 tahun itu, nekat mengangkat telepon.

Di ujung telepon, anggota staf Presiden mengatakan ingin berbicara dengan Nuh. Karena Nuh sedang bersiram, anggota staf itu berkata akan kembali menelepon. ”Ah, jangan-jangan orang mau menipu,” kata Nuh kepada istrinya. Apalagi nomor si penelepon bukan milik anggota staf Presiden yang biasa menjalin kontak dengan pria kelahiran Gununganyar, Surabaya, itu.

Nuh lalu menelepon koleganya yang menjadi anggota staf Presiden. ”Betul, Pak, sampean mendapat panggilan untuk pergi ke Cikeas,” kata sang sejawat. Tak sampai satu jam, bapak satu anak ini langsung bertolak dari rumahnya di kawasan Rungkut, Surabaya, ke bandar udara untuk terbang ke Jakarta.

Muhammad Nuh diangkat menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika. Pria kelahiran 17 Juni 1959 itu dianggap cocok menempati pos yang berhubungan erat dengan teknologi informasi. Nuh memang mumpuni di bidangnya. Peraih gelar master dan doktor di Universite Science et Technique du Languedoc Montpellier, Prancis, itu adalah guru besar ilmu sistem kontrol digital dengan spesialisasi sistem rekayasa biomedika Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Selain di kampus, Nuh aktif di berbagai organisasi. Ia misalnya pernah menjadi Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Jawa Timur.

Hendarman Supandji 60 tahun Jaksa Agung

KETIKA diangkat menjadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Hendarman Supandji mengaku tak punya obsesi. ”Saya bukan siapa-siapa di kejaksaan. Punya jabatan ini saja sudah luar biasa,” katanya kepada Tempo, pertengahan 2005. Apalagi, Januari 2007, ia bakal pensiun.

Di kejaksaan, pria kelahiran Klaten ini memang dianggap ”sepi”. Ia tidak pernah menjadi kepala kejaksaan negeri, seperti umumnya pejabat lain di Kejaksaan Agung. Kariernya banyak dihabiskan sebagai anggota staf. Jabatan ”kewilayahan” hanya sekali mampir, yakni Kepala Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, pada 2002. Itu pun sebentar karena kemudian ia ditarik menjadi Sekretaris Jaksa Agung Muda Pengawasan.

Nasibnya berubah ketika Abdul Rahman Saleh diangkat menjadi Jaksa Agung pada 2004. ”Hendarman satu-satunya orang yang saya kenal di Kejaksaan Agung,” kata Arman, panggilan Abdul Rahman Saleh, saat menyampaikan pidato perpisahan, pekan lalu. Keduanya pernah sama-sama kuliah notariat di Universitas Indonesia pada 1980-an. Arman kaget ketika tahu Hendarman duduk di ”posisi tak penting”. ”Kenapa Anda tidak menangani perkara saja?” kata Arman. Pilihan yang tak salah mengingat Hendarman sejauh ini dikenal tak suka ”main api” dalam menangani perkara. Pada 1970-an, ia pernah mendapat anugerah ”pegawai yang rajin dan jujur” dari Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur.

Garis nasib anak seorang tentara ini makin berubah setelah Presiden Yudhoyono juga menunjuknya menjadi Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam posisinya sebagai ketua tim, Presiden Yudhoyono memperpanjang usia pensiun Hendarman.

I G.G. Maha Adi, Arif Kuswardono (Jakarta), Jupernalis Samosir (Riau), Rini Srihartini (Bandung), Sunudyantoro (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus