Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anies Baswedan
Reshuffle telah diumumkan. Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaludin yang selama ini terkesan kukuh itu ternyata tumbang. Abdul Rahman Saleh, yang bersih dan lurus, diganti. Begitu juga beberapa menteri lain. Tapi komposisi personalia kabinet relatif stabil. Tidak ada yang luar biasa.
Selama beberapa minggu terakhir, gelisah tentang reshuffle tepercik konstan di media masa. Percikan isu itu lalu membesar saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Jumat, 20 April 2007, menjawab dan menjanjikan reshuffle akan diumumkan awal Mei.
Selama dua minggu elite politik bergumul dengan satu isu: reshuffle. Media massa leluasa membagi spekulasi tentang personalia kabinet yang akan di-reshuffle. Kini spekulasi tentang reshuffle sudah selesai. Stabilitas baru di tingkat elite mulai terjadi. Melihat itu semua, tulisan ini mencoba melihat sisi lain dari ritual baru politik di Indonesia: reshuffle kabinet.
Salah satu keunggulan sistem presidensial dibandingkan dengan sistem parlementer adalah kepastian masa jabatan. Presiden ditentukan periodenya secara tetap dan mendapat mandat dari rakyat lewat pemilihan langsung. Jadi, secara teoretis, presiden tidak bisa dijatuhkan oleh DPR karena faktor politik. Mosi tidak percaya bukan torpedo yang bisa menghantam presiden.
Tujuan utama sistem ini adalah muncul pemerintahan stabil, decisive, serta kabinetnya tidak perlu jatuh-bangun hanya karena pergeseran ekuilibrium kekuatan politik. Dalam sistem presidensial ini, seorang presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan anggota kabinetnya. Hak prerogatif ini sebagai kelanjutan dari kepastian mandatnya sebagai presiden untuk menjabat dengan durasi masa jabatan yang sudah pasti, yaitu 5 tahun.
Dengan konsep seperti itu, posisi politik presiden yang terkuat itu ada pada saat presiden baru saja memenangi pemilu dan dipilih oleh mayoritas rakyat. Di awal masa jabatan itu, euforia kemenangan masih berada di pihak presiden. Presiden mendominasi arena politik. Dalam keadaan seperti itu, seorang presiden relatif leluasa dalam menentukan komposisi dan personalia kabinetnya, meski tentu dia akan selalu mempertimbangkan faktor politik.
Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengalami itu. Presiden SBY sangat populer dan kuat di awal periodenya. Tapi yang menarik adalah Presiden SBY yang dalam kondisi baru terpilih dan sedang kuat-kuatnya itu justru menjanjikan akan melakukan evaluasi kinerja menterinya di akhir tahun pertama masa jabatannya. Janji ini dikomunikasikan secara terbuka.
Yang sesungguhnya terjadi saat itu adalah Presiden SBY sedang menyedekahkan political capital-nya untuk suatu saat dimanfaatkan oleh para elite politik. Efeknya jelas: elite politik, media, dan publik menanti jatuh temponya janji tersebut.
Benar saja. Begitu masa satu tahun terlewati, ditagihlah SBY untuk memenuhi janjinya yang diungkapkan secara sukarela. Elite politik berkerumun dan kasak-kusuk di mana-mana untuk menagih janji reshuffle. Dalam suasana seperti itu, ada yang berusaha mengamankan posisi menteri dan ada yang berusaha menggeser serta merebut posisi menteri.
Kasak-kusuk itu lalu sirna ketika Presiden SBY--akhirnya--menjawab dan mengumumkan reshuffle di ujung tahun 2005, tepatnya pada 5 Desember 2005, dari Istana Kepresidenan di Yogyakarta. Formasi baru kabinet terbentuk, sebuah formasi yang mencerminkan ekuilibrium kekuatan politik di akhir 2005.
Setahun kemudian, di pengujung tahun 2006, kasak-kusuk tentang reshuffle menyeruak lagi. Elite politik, media massa, dan publik seakan energized untuk melihat komposisi baru Kabinet Indonesia Bersatu. Isu itu makin lama makin kuat dan akhirnya, 7 Mei 2007, Presiden melunasi janjinya dengan mengumumkan reshuffle terbatas. Lagi-lagi sebuah formasi baru yang mencerminkan ekuilibrium politik di pertengahan 2007.
Di sinilah uniknya praktek sistem presidensial di Indonesia. Saat Presiden sedang punya political capital yang sangat besar, Presiden justru mendermakan political capital-nya dan membuka peluang dibukanya bursa pergantian menteri di tengah-tengah masa jabatan. Ini merepotkan Presiden sendiri karena harus berurusan dengan partai-partai politik yang ingin mendapatkan posisi di kabinet. Padahal posisi politik Presiden di tengah-tengah masa jabatan itu lebih lemah dibanding saat Presiden baru saja memenangi pemilihan presiden.
Meski Presiden tidak pernah menjanjikan reshuffle secara rutin dan berkala, begitu di akhir tahun 2005 Presiden memenuhi tuntutan reshuffle, jadilah hal itu sebagai political ritual yang akan selalu membuntuti Presiden. Di sinilah letak permasalahannya. Perebutan posisi menteri yang seharusnya hanya terjadi di awal periode itu akhirnya berjalan sepanjang masa jabatan. Jika penentuan posisi menteri itu hanya terjadi di awal periode, para menteri bisa lebih berfokus pada pelaksanaan program, agenda, dan janji Presiden selama kampanye. Tanpa kepastian itu, para menteri terpaksa berfokus pada pengamanan posnya.
Jadi, asal-muasal hiruk-pikuk reshuffle ini sebenarnya dari Presiden sendiri. Rencana mengevaluasi dan mengganti menteri yang disampaikan secara terbuka itulah yang sebenarnya menggelindingkan ketidakpastian. Mengapa? Karena pos menteri itu adalah posisi politik (political appointee). Menteri yang kinerjanya bagus sekalipun bisa tumbang bila (1) secara politis dia jadi beban bagi kabinet dan presiden atau (2) dia tidak memiliki basis politis yang kukuh untuk menopang dirinya agar tidak terjungkal bila posisinya itu akan direbut kekuatan politik lain. Sebaliknya, menteri yang kinerjanya biasa-biasa saja--bahkan dianggap bermasalah di mata publik--bisa aman posisinya bila dia memiliki kekuatan politik-ekonomi yang kukuh.
Karena sifatnya yang politis itulah evaluasi kinerja menteri itu bukanlah semata-mata evaluasi kinerja dirinya dan kementeriannya. Yang sesungguhnya terjadi adalah sinkronisasi konfigurasi komposisi politik kabinet dengan konfigurasi kekuatan politik di luar kabinet. Melalui reshuffle berkala, Presiden dapat melakukan sinkronisasi. Artinya, Presiden secara strategis dan taktis memastikan bahwa komposisi kabinetnya selalu mencerminkan ekuilibrium politik yang senyatanya ada di elite politik di Indonesia. Implikasinya, walau secara resmi mengadopsi sistem presidensial, realitasnya kabinet bisa ”jatuh-bangun”.
Proses reshuffle itu sendiri juga menarik dicermati. Proses evaluasi, monitoring, dan koreksi dari Presiden terhadap para menteri seharusnya dilakukan secara tertutup, anggun, dan tanpa pengumuman kepada publik. Proses evaluasi ini menyangkut masalah internal kabinet, urusan dapur Presiden. Dari laporan hasil pemeriksaan kesehatan para menteri sampai pemanggilan menteri, semua itu bukanlah pentas yang perlu dibawa ke arena publik. Itu cukup menjadi urusan dapur Presiden.
Meskipun langkah itu mengesankan adanya nuansa transparansi, transparansi di aspek ini justru bisa memudarkan kewibawaan pemerintah. Lebih jauh lagi, hiruk pikuk reshuffle ini mengarahkan publik untuk lebih menyoroti para menteri, sementara kinerja Presiden dan Wakil Presiden luput dari perhatian. Situasi seperti ini tentu bisa menguntungkan bagi Presiden dan Wakil Presiden dalam hal membangun citranya di saat para menteri sedang berperan sebagai bumper politik.
Satu hal yang pasti, hiruk-pikuk reshuffle ini memposisikan Presiden sebagai lembaga superpower. Presiden yang melemparkan gagasan reshuffle dan Presiden pula yang menghentikan perdebatannya. Seluruh kekuasaan mengenai reshuffle sepenuhnya ada di tangan Presiden. Dalam situasi hiruk-pikuk macam ini, Presiden jadi penentu segalanya. Kalangan elite politik dan media massa nyata-nyata ”menari” dengan mengikuti ”irama genderang” yang ditabuh Presiden.
Lalu apakah pergantian menteri itu salah? Tentu saja tidak. Presiden punya hak penuh untuk mengganti para menterinya. Begitu juga dengan evaluasi kinerja yang memang mutlak dilakukan terhadap setiap menteri. Yang menjadi masalah di sini adalah timing dan metodenya. Evaluasi kinerja dan pergantian menteri itu dilakukan secara serempak dan melalui pengumuman terbuka. Langkah inilah yang membuat berbagai pos menteri jadi sasaran bidik. Baik-buruknya kinerja menteri jadi terabaikan. Faktor politik jadi makin tampak menonjol.
Seharusnya, Presiden menilai kinerja menteri secara individual dan bila dirasa menteri perlu diganti, Presiden hanya berfokus mengganti menteri yang bersangkutan. Dengan cara ini, perhatian Presiden itu tidak tersita pada usaha mengakomodasi kepentingan elite politik, tapi lebih terfokus pada usaha merealisasi janji semasa kampanye.
Reshuffle memang bisa mengakomodasi ekuilibrium baru politik di tingkat elite. Dan ekuilibrium baru di tingkat elite bisa memudahkan Presiden dan pemerintah untuk menunaikan agenda dan janji yang digelar selama kampanye. Keterkaitan keseimbangan elite dan kesejahteraan rakyat inilah yang perlu diingat oleh Presiden. Tujuan akhir dari keseimbangan elite politik dalam demokrasi adalah bergulir derasnya manfaat bagi rakyat banyak, bukan sekadar untuk melanggengkan kekuasaan itu sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo