Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Empat Srikandi di Kubangan Korupsi

Perlindungan terhadap para pembocor kejahatan korupsi masih lemah. Peran polisi bisa dioptimalkan.

29 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NUANSA ”wah” sepintas terlihat pada rumah desa bercat putih dengan tembok depan berlapis keramik hijau muda mengkilap itu. Sebuah papan nama kecil bertuliskan ”Bidan” menempel di sisi pintu depan. Namun suasana menjadi terasa lain begitu memasuki ruang tamu.

Hanya ada satu set sofa dengan motif batik, dan meja. Selembar almanak 2007, berjudul ”Lembaga Bantuan Hukum Adil”, terpajang di dinding, menindih kalender lama. ”Semuanya habis untuk berjuang melawan kasus korupsi itu,” kata Mukhasonah kepada Tempo, yang menyambangi rumahnya di Desa Mayangan, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu siang pekan lalu.

Siang terik itu, perempuan 42 tahun tersebut baru tiba dari tempatnya bekerja. Seragam abu-abu pekat masih menempel di tubuh pegawai negeri sipil Kantor Departemen Agama Jombang itu. Ia bertugas di Madrasah Tsanawiyah Negeri Jogoroto sebagai kepala tata usaha. Di kota berjarak 79 kilometer ke arah barat daya dari Surabaya ini, ia tinggal bersama tiga keponakannya—salah satunya bidan.

Jabatannya jualah yang membawanya berkenalan dengan ruwet jaring hukum di ”Kota Santri” ini. Kegigihannya melawan korupsi membawa langkahnya hingga ke Ibu Kota. Ia melaporkan kasus korupsi di daerahnya ke Indonesia Corruption Watch hingga Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Tak terhitung berapa kali saya harus bolak-balik Jombang-Jakarta,” kata perempuan lajang itu.

Akibatnya, bisnis keluarga warisan orang tua jadi terbengkalai. ”Saya sudah bangkrut,” katanya. ”Seluruh ternak ayam habis, tidak kuat kulakan lagi.” Omzetnya pernah mencapai sekitar Rp 18 juta per bulan. Perabotan rumah seperti lemari dan guci dijual untuk menutup ”biaya perang” melawan korupsi. Mobil Suzuki Carry 1993 miliknya pun ikut dilego.

l l l

KISAH bermula dari tempatnya bekerja. Sebagai kepala tata usaha yang menghitung keluar-masuk uang, ia terusik ketika perbaikan lima ruang kelas di sekolah itu menelan biaya Rp 25 juta. Ia melapor ke polisi. Alih-alih dukungan didapat, atasannya di sekolah meradang, sedangkan rekan kerjanya menjauh.

Pada 21 Maret 2005, turun surat perintah tugas dari Kepala Kantor Departemen Agama Jombang, Munsief. Mukhasonah dipindahkan menjadi pegawai Kantor Urusan Agama Jogoroto. Merasa alasan pemindahannya tak jelas, perempuan berkerudung ini memperkarakannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya.

”Hasilnya, alhamdulillah.” Keputusan itu dibatalkan. Anehnya, turun lagi surat perintah tugas sejenis. Sebaliknya, kasus dugaan korupsi yang dilaporkannya malah tak jelas ujungnya, walau telah lewat berbilang bulan. Ketika itulah seorang teman yang lulus seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil Kantor Departemen Agama Jombang curhat. Sebagian gajinya ”disunat”.

Gaji yang seharusnya dibayarkan per Juni 2005, ketika 354 pegawai baru mulai bekerja, juga dimajukan perhitungannya hingga Januari. Ternyata, gaji hasil markup lima bulan itu, senilai sekitar Rp 1,3 miliar, mampir ke sejumlah tangan, termasuk petinggi Kantor Departemen Agama. Melihat kecurangan ini, Mukhasonah bergegas melapor ke Kepolisian Resor Jombang.

Mandek lagi. Ia malah menerima ancaman telepon tak jelas. Ia diminta menghentikan langkahnya. ”Tak ada orang yang diuntungkan,” katanya, menirukan ucapan si penelepon. Belakangan, Mukhasonah kerap mendapat kiriman tak lazim. Data sensitif, seperti berita acara pemeriksaan polisi, mendarat secara misterius di teras rumahnya, biasanya seusai salat subuh.

Berbekal data ini, ia melapor ke in-stansi lebih tinggi: Kepolisian Daerah, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, serta Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemeriksaan pun bergulir. Tohokan Mukhasonah akhirnya manjur. Kasus ini berlanjut hingga pengadilan. Sang bos, Munsief, divonis bersalah dan masuk bui bersama dua orang lainnya.

l l l

DI Surabaya ada Naniek Yuniati, pegawai bagian hukum Dinas Kelautan dan Perikanan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Sudah satu setengah tahun terakhir ini ia tak masuk kantor, meskipun tetap menerima gaji. Ia merasa dikucilkan: tak jelas meja dan kursinya.

Ini buntut pembagian selebaran fotokopi kepada rekan kerjanya, pada 8 Mei tahun lalu, yang isinya mengajak melawan praktek korupsi di instansi mereka. Menurut dia, beragam modus korupsi di kantor ini, dari sekadar mengakali absensi, menggelembungkan biaya pengadaan barang, memanipulasi surat perintah perjalanan yang besarnya Rp 250-500 ribu per hari, hingga mengadakan seminar di kantor tapi ditulis di hotel berbintang.

Korupsi yang tergolong gede, menurut dia, berupa potongan anggaran 10-15 persen setiap kali pencairan untuk kegiatan. ”Katanya untuk menyervis auditor dan anggota Dewan,” kata Naniek. Aksi tunggalnya itu mengakibatkan perempuan 44 tahun ini dimutasikan ke Kota Pasuruan, 75 kilometer ke arah tenggara dari Surabaya, pada dinas yang sama.

Seperti Mukhasonah, ibu dua anak ini tak tinggal diam. Ia membawa soal mutasi itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya. Indikasi korupsi yang ditemukannya juga dilaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Timur. Oleh pemimpin di kantornya, ia diminta mencabut gugatan dan pengaduan itu. Diiming-imingi akan ditempatkan di Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur, ia menurut. Ternyata janji ini palsu belaka.

Sampai Lebaran kemarin, karier perempuan yang tinggal di kawasan permukiman padat Kampung Kalibokor Kencana, dekat jalur rel kereta api, ini masih terkatung-katung. Kepadanya kembali dijanjikan penugasan baru oleh atasan. ”Tapi tak jelas di mana,” katanya kepada Tempo.

l l l

BERBEDA dengan Mukhasonah dan Naniek, yang terkesan gesit saat bercerita, Sri Roso Suprihatin, 48 tahun, berpembawaan kalem. Anggota staf perpustakaan golongan III-B pada Dinas Ketahanan Pangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur ini juga tak pernah ”bersentuhan” dengan polisi. Namun ”konfrontasi”-nya dengan praktek korupsi di instansinya tak kalah seru.

Ia menengarai praktek simsalabim uang surat perintah jalan (SPJ) dinas sejumlah oknum. Ibu dua anak ini mengaku kenal betul dengan praktek penggerogotan anggaran ini, ”Karena saya mulai bekerja sebagai PNS di bagian pengelolaan SPJ.”

Mula-mula ia mempertanyakan masalah ini kepada rekan kerjanya. Namun kritiknya dianggap angin lalu. Malah pernah terjadi, sejumlah rekannya bersorak ketika mendengar peristiwa keracunan pangan di sebuah daerah. ”Bencana itu dijadikan dalih untuk membuat SPJ,” katanya dengan nada sedih. Tak kuat akan sikap apatis di sekitarnya, ia minta dipindahkan dari bagian pengelolaan SPJ.

Keberanian Sri, katanya, selain karena faktor ajaran Pangestu yang diikutinya, juga karena dukungan suami. Sang suami, Suyatno, yang bekerja di sebuah pabrik, memintanya berjuang tanpa bersikap frontal. ”Yang penting, kamu tidak berbuat seperti itu,” katanya menirukan sang suami. Sekarang ibu dua anak itu rajin mengikuti berbagai seminar mengenai pemberantasan korupsi.

l l l

LAIN lagi pengalaman Hukmia Airlanggiwati, yang biasa disapa Mia. Pegawai di Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Jawa Timur ini kaya pengalaman: menolak menandatangani SPJ fiktif, berdebat dengan atasan, dan mengkritik proyek konsultan miliaran rupiah. Ia kenyang dicuekin alias tak diberi tugas.

Semuanya berawal dari masalah sepele. ”Saya hanya tidak mau makan uang yang bukan hak saya,” Mia bercerita kepada Tempo. Suatu ketika, pemerintah provinsi membuat program mengatasi efek kenaikan harga bahan bakar minyak. Tim itu meliputi gubernur dan sejumlah petinggi pemerintah provinsi. Mereka diberi honor jutaan rupiah.

Mia, 46 tahun, merasa ada yang tidak klop di sini. ”Mereka kan sudah menerima gaji dan tunjangan cukup?” katanya. Sikap kritisnya membuat ia terpental dari tim itu. Padahal, sebagai anggota tim, ia rela tak dibayar. Perempuan yang telah mengabdi hampir 20 tahun sebagai pegawai negeri sipil itu kini tinggal di sebuah rumah tipe 45 di kawasan Pucang Jajar, Surabaya.

Untuk pengabdian selama itu, rumah ini terbilang kecil. Apalagi suaminya juga bekerja. ”Tapi hati saya tenteram hidup begini,” katanya kepada Tempo. Sebatang pohon nangka sedang berbuah di halaman rumah yang juga tak seberapa luas itu.

l l l

MENURUT Harkristuti Harkrisnowo, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, perlindungan terhadap para pembocor (whistleblower) kejahatan korupsi memang masih lemah. Walau Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sudah setahun disahkan, ”Lembaganya masih dalam pembentukan, kira-kira selesai akhir tahun ini.”

Menurut dia, jika Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sudah berjalan, para saksi kunci seperti ini nantinya bisa meminta perlindungan. Namun, untuk praktisnya, peran polisi bisa dioptimalkan. Tekanan atau perbuatan tak menyenangkan terhadap para pembocor di lingkungan tempat kerja, terutama atasan, bisa langsung dilaporkan ke polisi. ”Kalau tidak diberi tahu, ya, polisi tidak bergerak,” katanya. ”Ini delik aduan.”

Ketua panitia seleksi calon anggota LPSK ini menambahkan, dalam prakteknya, lembaga itu juga menggandeng polisi. Untuk gangguan yang bersifat mengancam nyawa saksi, lembaga itu bisa memberikan identitas baru hingga bantuan finansial. ”Kalau kasus yang kecil, mungkin sebatas biaya transpor,” katanya.

Budi Riza, Rohman Taufik, Kukuh S. Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus