Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kaban Versus Polisi

9 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertikaian Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban dengan polisi berlanjut. Kaban mengatakan bahwa operasi pemberantasan pembalakan liar oleh polisi banyak yang menyimpang. Dia menuding polisi juga menyita kayu milik perusahaan legal. ”Mereka diintimidasi dan ujung-ujungnya negosiasi,” katanya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Menurut Kaban, praktek itu menunjukkan tidak adanya penghormatan terhadap rambu yang ada. Bahkan kewenangannya sebagai Menteri Kehutanan disikat habis. ”Bayangkan, izin-izin perkayuan sekarang dari kepolisian. Ini apa-apaan?” Ia mencontohkan operasi penyitaan kayu di Riau yang tak punya tujuan jelas. ”Sudah saya laporkan ke Presiden dan Wakil Presiden.”

Kaban pernah meminta Kapolri Jenderal Sutanto agar mengevaluasi Kapolda Riau Brigadir Jenderal Sutjiptadi dan Kapolda Sumatera Utara Inspektur Jenderal Nurudin Usman. Alasannya, kepolisian dua daerah itu terlalu jauh mengintervensi perkara pembalakan liar. ”Mereka tak menyentuh pelakunya, hanya mempersoalkan administrasi,” kata Kaban setelah menemui pengunjuk rasa di gedung Departemen Kehutanan, Selasa pekan lalu.

Operasi pembalakan liar ini memang perintah Sutanto. Ia menugasi Kepala Bareskrim, Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, ke Riau pada Januari lalu. Sejak itu truk pengangkut kayu ilegal ditangkapi. Sejumlah truk pengangkut kayu ilegal yang diduga akan memasok untuk PT Indah Kiat Pulp & Paper ditangkapi. Sutjiptadi tak gentar oleh gertakan Kaban. ”Saya akan jalan terus meski jabatan jadi taruhannya,” katanya. ”Karena sudah sesuai dengan koridor hukum.”

Pendaftar KPK 624 Orang

MASA pendaftaran calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dibuka sejak 14 Juni tahun ini, ditutup pada Selasa pekan lalu. Pada hari terakhir itu, pendaftar calon pimpinan KPK membludak, hingga saat penutupan pukul 17.00, tercatat 624 orang. Dari jumlah ini, 190 orang mendaftar via pos dan 434 lainnya datang ke panitia seleksi di Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

Mereka yang mendaftar pada detik-detik terakhir misalnya Marwan Effendy (Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur), Saut Situmorang (juru bicara Departemen Dalam Negeri), Rusdy Taher (mantan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta), Yahya Ombara (mantan anggota tim sukses SBY), dan Ahmad Taufik (jurnalis Tempo).

Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi, jumlah ini cukup banyak dibanding seleksi pada 2004, yang mencapai 513 pendaftar. ”KPK kali ini dapat menangkap ’ikan-ikan’ besar,” ujarnya. Siapa saja yang lolos seleksi tahap awal, kata Taufiq, akan diumumkan pada 12 Juli pekan ini.

Sidang Praperadilan Abu Dujana

Penembakan polisi terhadap tersangka kasus terorisme Abu Dujana sengaja dilakukan untuk mempermudah penangkapan. ”Penangkapan secara normal tidak dapat diterapkan terhadap pelaku terorisme,” kata kuasa hukum kepolisian, Rudy Heriyanto. Alasan ini dilontarkan Rudy dalam sidang lanjutan gugatan praperadilan yang diajukan istri Abu Dujana, Sri Mardiyati, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu.

Sidang sudah digelar sehari sebelumnya. Sri mempermasalahkan penembakan polisi terhadap suaminya yang dinilai tidak patut karena dilakukan di depan anak-anak mereka, ketika Abu Dujana sudah menyerah. Menurut anak Abu Dujana, Sidiq Abdullah, 8 tahun, ayahnya disuruh turun dari motor, dipaksa jongkok, lalu ditembak dari belakang. ”Ini jelas pelanggaran karena tersangka sudah menyerah, tidak melawan dan tak bersenjata,” ujar Azlaini Agus dari F-PAN DPR.

Tapi, menurut Rudy, polisi sudah melakukan tugas dengan benar dan sesuai pula dengan ketentuan dalam pasal 17 KUHP. Abu Dujana alias Ainul Bachri alias Yusron Mahmudi adalah tersangka yang dianggap berbahaya, sehingga polisi perlu melumpuhkannya, 9 Juni lalu. Selain itu, pimpinan sayap militer Jamaah Islamiyah ini dikhawatirkan akan melawan.

Pengacara istri Dujana, Ahmad Michdan dari Tim Pembela Muslim, menilai alasan polisi tidak kuat. Penangkapan yang dilakukan juga tidak sah karena surat penangkapan terlambat diberikan. Selain itu, nama dalam surat penangkapan dan surat penahanan tersangka berbeda. ”Di surat yang satu tertulis Ainul Bachri, sedangkan di surat lain Abu Dujana,’’ katanya.

Hakim Agung Pilihan DPR

Komisi Hukum DPR mengumumkan enam nama hakim agung yang lolos uji kelayakan, Jumat pekan lalu. Mereka dipilih melalui proses pemilihan yang demokratis: setiap anggota komisi memilih 6 orang calon dari 12 nama yang lulus uji kelayakan. Achmad Ali, guru besar dari Universitas Hasanuddin, Makassar, yang juga staf ahli di Kejaksaan Agung, tak terpilih.

Calon yang mendapat suara terbanyak ini kemudian terpilih menjadi hakim agung. Mereka adalah Hatta Ali, memperoleh 41 suara, Komariah Sapardjaja (30 suara), Mokhtar Zamzami (25 suara), Zafaruddin Utama (24 suara), Muhammad Saleh (19 suara), dan Abdul Gani Abdulah (17 suara). Hatta, Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung, mengaku terkejut dengan kemenangannya ini.

Proses pemilihan yang terbuka untuk umum itu berlangsung sekitar satu jam, dihadiri 42 dari 46 anggota komisi. Ketua Komisi Hukum Trimedya Panjaitan mengatakan, hasil pemilihan ini sah. ”Hasilnya akan diserahkan ke Rapat Paripurna DPR pada Selasa (pekan ini),” katanya kepada wartawan di gedung Dewan. Pada akhirnya, Dewan akan merekomendasikan mereka kepada Presiden untuk disahkan.

Dana Redam Papua Merdeka

Pemerintah menyediakan dana percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat senilai Rp 17 triliun tahun ini. Susilo Bambang Yudhoyono telah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5/2007 tentang pembangunan Papua dan Irian Jaya Barat, sekaligus membentuk tim yang diketuai Menteri Koordinator Perekonomian Boediono.

”Diperkirakan untuk tahun berikutnya dananya akan lebih besar,” kata Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta. Dana sebesar itu dianggarkan untuk meredam gejolah politik dan sosial di provinsi paling timur ini. Masalah Papua menghangat setelah pada Selasa lalu bendera Bintang Kejora muncul dalam tarian adat pada acara pembukaan Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua, yang diselenggarakan Dewan Adat Papua di Jayapura.

Pengibaran bendera gerakan Papua Merdeka itu bersamaan dengan kedatangan Ketua Sub-Komisi Asia-Pasifik di Kongres Amerika Serikat, Eny Faleomavaega, di Jakarta. Akibatnya, anggota kongres yang pro-Papua Merdeka itu dilarang terbang ke Jayapura. ”Kita tak mengizinkannya ke Papua,” kata Sekretaris Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Letnan Jenderal TNI Agustadi Sasongko. ”Apalagi kunjungannya tak ada hubungannya dengan Organisasi Papua Merdeka.”

Faleomavaega kemudian bertemu Yudhoyono dan meminta pemerintah Indonesia lebih memperhatikan Papua. ”Jika tidak, Anda harus memberikan teritori untuk merdeka,” katanya seusai bertemu Presiden, Kamis pekan lalu.

Perjanjian RI-Singapura Terancam Batal

Perundingan perjanjian kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Singapura saat ini menemui jalan buntu. Hal itu diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan lalu.

Jalan buntu terjadi karena permintaan Indonesia soal penyusunan draf aturan pelaksanaan mengenai frekuensi latihan, jenis, dan jumlah kapal tak direspons Singapura. Dia menegaskan bahwa Indonesia tak akan meneken perjanjian itu sebelum aturan pelaksanaannya jelas.

Penyebab lain adalah adanya perbedaan pendapat tentang ekstradisi di antara elite politik Singapura. Mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew, yang masih menjadi tokoh berpengaruh di Singapura, tidak setuju terhadap kesepakatan ekstradisi berlaku surut selama 15 tahun.

Juru bicara Kedutaan Singapura untuk Indonesia, Rajpal Sing, mengatakan bahwa pemerintahnya untuk saat ini belum mengeluarkan tanggapan resmi. ”Nanti pasti akan ada tanggapannya, tolong ditunggu dulu,” katanya.

Tapi Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat tak berkeberatan apabila Singapura membatalkan perjanjian ekstradisi dan perjanjian pertahanan dengan Indonesia. ”Kalau salah satu merasa dirugikan, ya, buat apa?” kata Ketua Komisi Pertahanan DPR Theo L. Sambuaga.

Presiden Bertemu DPR

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan pemimpin DPR dalam rapat konsultasi di Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta, Selasa malam pekan lalu. Saking banyaknya anggota Dewan yang menanggapi, rapat berlangsung enam jam lebih, hingga Rabu dini hari.

Dalam pertemuan yang berlangsung tertutup itu, kabarnya Yudhoyono mengakui telah menerima telepon dari Presiden Amerika Serikat George W. Bush seminggu sebelum pengambilan keputusan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Iran. Menurut Yuddy Chrisnandi dari Fraksi Partai Golkar, Bush menyinggung soal nuklir Iran.

Presiden, yang datang dengan kekuatan penuh kabinetnya, termasuk tiga menteri koordinator, lalu menggelar konferensi pers. Ia menyatakan bahwa dirinya menghormati proses interpelasi soal Iran. Presiden juga mempersilakan Dewan mengirim undangan jika rapat Badan Musyawarah DPR memang meminta dirinya hadir.

Setelah pertemuan itu, DPR memperlihatkan tanda-tanda melunak. Mereka tak lagi mempersoalkan kehadiran Presiden dalam sidang interpelasi resolusi terhadap Iran pada 10 Juli nanti. ”Kami bukan mempersoalkan siapa yang hadir, melainkan bagaimana sikap pemerintah terhadap Resolusi 1747,” kata Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Saifuddin.

Cina Minta Bekas Kedutaannya

Pemerintah Cina meminta agar Indonesia mengembalikan aset berupa lahan 10 ribu meter persegi, yang merupakan bekas kedutaannya di Jalan Gajah Mada, Glodok, Jakarta Barat. ”Mereka ingin agar lahan bekas kedutaannya dulu diurus agar bisa mereka pakai lagi,” ujar Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Departemen Luar Negeri, Primo Alui Joelianto.

Tapi pemerintah Indonesia menolak klaim Tiongkok atas bekas aset mereka yang berada di Indonesia. ”Itu kekayaan kita, kita menolak klaim mereka,” kata Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Hassan menambahkan bahwa Cina sudah lama meminta aset mereka. ”Itu masalah yang diangkat sewaktu kita melakukan normalisasi hubungan,” ujarnya.

Lahan di kawasan mahal itu ditinggalkan Cina setelah terjadi pemutusan hubungan diplomatik pada 1967. Menteri Hassan mengatakan belum ada pembicaraan bilateral untuk pengembalian sejumlah aset, selain gedung bekas kedutaan besar yang diklaim sebagai milik Cina itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus