Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angelina Taher tak bisa menyembunyikan sukacitanya melihat anaknya, Aditya Stefano, menjadi lebih mandiri. Dengan bersemangat, perempuan 45 tahun ini menceritakan bagaimana anak semata wayangnya itu tak lagi mau diladeni dan memilih berangkat sekolah sendiri. ”Malu, Ma, segede ini masih harus diantar. Biar aku naik angkot saja,” tutur Angelina menirukan celoteh anaknya yang sudah berusia 15 tahun itu.
Padahal, setahun lalu, Adit nyaris belum bisa mengurus diri sendiri. Remaja ini hanya mau teriak jika ingin keperluannya dipenuhi, bahkan untuk urusan remeh-temeh seperti menyendok nasi. Inilah yang membuat Angelina khawatir dengan perilaku anaknya. Selain Adit sudah beranjak dewasa, juga karena lama-lama perilaku anaknya itu merepotkan. ”Salah saya overprotective; dia anak kami satu-satunya,” kata Angelina.
Berulang kali si ibu berusaha mengubah perilaku Adit, seperti dengan memberinya nasihat, tapi selalu gagal. Hingga suatu hari, Angelina membaca iklan outward bound untuk remaja yang dipasang Pelopor Adventure Campindo (PAC) di sebuah majalah. Adit pun didaftarkan untuk mengikuti program kegiatan petualangan di alam terbuka yang sering disebut outbound itu.
Kali ini Angelina berhasil. Perilaku Adit berubah 180 derajat sepulang dari kegiatan outbound di Bogor pada Juli 2006 selama empat hari. Tak ada lagi teriakan minta diladeni. Siswa kelas III SMP Bellarminus, Menteng, Jakarta Pusat, itu malah sudah bisa menata kamarnya sendiri. Bahkan sesekali dia membantu membersihkan apartemen tempat tinggal mereka di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Semangat belajarnya pun bertambah. ”Ia lulus ujian nasional dan ingin melanjutkan ke SMA Negeri 3. Itu kan sekolah unggulan,” kata sang ibu.
Yang menarik, Adit kini memiliki jiwa petualang dan kepemimpinan. Dia mampu memimpin rombongan temannya pesiar ke alam bebas. Adit mengatur tetek-bengek perjalanan itu, dari menghitung dana hingga mencari dan menawar ongkos sewa kendaraan.
Apa sih yang didapat Adit selama ikut outbound di Pring Ayu, Ciawi, Bogor? Menurut Heri Bagindo, instruktur dari Pelopor, intinya anak-anak diajak belajar tentang hidup dengan mengajarkan nilai-nilai seperti kemandirian, kerja sama, kesabaran, menyelesaikan masalah, menghargai orang lain, dan bersyukur. Caranya adalah dengan menjalani beragam aktivitas seperti mendirikan tenda, mengambil air, memasak makanan, mencari jejak, dan meluncur dengan tali dari ketinggian (flying fox).
Anak-anak juga diajak ke sawah, bertemu dan belajar dari petani. Tujuannya adalah menunjukkan bagaimana tanaman padi hingga menjadi nasi yang ada di piring mereka. ”Ini untuk pembentukan mental positif. Hal itu terbentuk jika sifat aslinya keluar. Dan sifat asli hanya muncul di alam bebas,” ujar Heri. Adit adalah salah satu buktinya.
Ya, pengalaman memang bisa menjadi guru terbaik. Program outbound sebenarnya bertolak dari metode pembelajaran dari pengalaman (experiental learning). Pendidik dari Jerman, Kurt Hahn, dikenal sebagai orang yang memperkenalkan model ini. Hahn percaya, masyarakat harus lebih banyak mendengarkan dan menghormati kaum muda. Bila anak-anak muda menjadi tidak baik, itu akibat ketidakpedulian orang-orang dewasa. Untuk itulah, pada 1941, Hahn mendirikan sekolah Atlantic College di Wales dengan metode outbound yang bertujuan membentuk mental yang baik pada anak-anak muda.
Kini, metode Hahn sudah diterapkan di banyak negara. Di Indonesia, cara ini mulai berkembang sejak 1990-an. Namun, masalahnya, kata Enda Mulyanto, salah seorang praktisi metode ini, justru yang populer di Indonesia hanya outbound-nya saja, bukan cara pembelajarannya. Paket ”petualangan” ini marak dijual bebas dan terpisah dari sistem pembelajarannya. ”Mirip jualan games; hanya sekadar fun yang menantang,” ujarnya.
Masih menurut Mulyanto, kesalahkaprahan ini terjadi akibat banyak perusahaan penyedia jasa outbound kurang memahami esensi metode experiental learning. ”Bahkan mereka kurang memikirkan segi keselamatan,” kata Direktur Pelopor Adventure Campindo ini.
Karena rasa prihatin itulah, sejumlah praktisi metode ini menggelar Festival Outbound Nasional 2007 di Tanah Tingal, Ciputat, Tangerang, pertengahan Juni lalu. Dalam pertemuan itu, para praktisi yang umumnya perusahaan penyedia jasa outbound sepakat mendirikan asosiasi experiental learning Indonesia. Tujuannya mengembangkan metode ini, tak sekadar dalam penyelenggaraan outbound, tapi juga dalam pola pembelajaran formal. ”Karena metode ini tak mesti diterapkan di alam terbuka layaknya outbound,” kata Iwan Riswandi, salah satu praktisi.
Menurut Mulyanto, kini sudah banyak sekolah yang meminta para praktisi outbound mengembangkan metode ini ke sekolah-sekolah formal. ”Mereka umumnya mengeluhkan soal rendahnya kecerdasan afeksi di kalangan muridnya,” katanya.
Selain itu, banyak juga anak-anak cerdas yang kurang memiliki motivasi belajar sehingga prestasi mereka naik-turun. ”Penyakit” seperti ini biasanya melanda anak-anak orang kaya. ”Mereka merasa nggak usah ngoyo belajar karena kelar sekolah pun sudah disediakan pabrik oleh orang tua,” ujar Mulyanto.
Yohanes Wiyono, guru bimbingan dan penyuluhan (BP) SMP Kanisius, Menteng, Jakarta Pusat, mengakui adanya masalah mental seperti yang disebutkan Iwan dan Mulyanto. Keadaan seperti itu, menurut Wiyono, sangat mengganggu proses belajar di sekolah. ”Setelah kami ajak retreat dengan melakukan outbound, hasilnya sangat menolong,” katanya.
Sejumlah sekolah sebenarnya sudah menerapkan metode ”pembelajaran dari pengalaman” ini. SMA Regina Pacis di Jakarta Barat, misalnya, sejak empat tahun lalu sudah menggunakan experiental learning untuk sejumlah mata pelajaran, seperti fisika, biologi, ekonomi, bahasa Indonesia, sejarah, hingga agama. ”Semua menuntut siswa aktif memahami fenomena yang mereka temui di lapangan,” ujar Mathius Sadmoko Murti, Kepala Sekolah SMA Regina Pacis.
Untuk pelajaran ekonomi, misalnya, siswa harus ke pasar. Mereka melakukan survei harga barang-barang kebutuhan pokok di sana sebelum mendirikan usaha baru. Memang, itu hanya perusahaan rekaan, tapi analisisnya serius dan harus dipresentasikan di depan kelas.
Metode experiental learning memang dapat memperkaya model belajar di kelas konvensional yang hanya mengedepankan pengetahuan kognitif saja. Menurut Sadmoko, cara ini memenuhi semua unsur pembelajaran, yaitu suara, gambar, dan gerak. Siswa harus terlibat secara personal dan penuh. Sedangkan guru dituntut lebih berkemampuan sekaligus kreatif. ”Guru harus mampu berfungsi sebagai fasilitator sekaligus motivator siswa,” kata Sadmoko.
Ujung-ujungnya adalah meningkatkan kompetensi siswa. Sejauh ini, Sadmoko masih meyakini metode ini efektif dalam mendongkrak kompetensi. ”Siswa tak sekadar paham persoalan dan menjadi inovatif, tapi juga lebih peka terhadap lingkungan. Inilah kompetensi yang sebenarnya.”
Widiarsi Agustina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo