Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lagu Air Mata Aceh diputar berkali-kali di televisi setelah tsunami menggulung Aceh pada 26 Desember 2004. Penembangnya adalah Sherina. Dulu ia dikenal sebagai penyanyi cilik, tapi kini telah tumbuh menjadi remaja. Banyak orang suka lagu itu, tak terkecuali Gempur Budi Angkoro alias Jabir.
Suatu saat, bosnya, Dr Azahari Husin, yang disebut polisi sebagai otak pel-bagai pengeboman di Tanah Air, menegur- Jabir. Dia mengingatkan, menyukai lagu seperti itu tetap tidak boleh. Di kalang-an mereka, mendengar nya-nyian yang didendangkan oleh perempuan memang haram hukumnya. ”Kami pun merasa- malu karena kala itu kami memang suka lagu itu,” tulis Jabir dalam buku hariannya.
Cerita soal Sherina ditulis Jabir dua hari setelah kematian Azahari. Pria berkewarganegaraan Malaysia itu tewas saat Detasemen Khusus Antiteror Polri menyergap tempat persembunyiannya di Batu, Jawa Timur, tahun lalu.
Menurut Jabir, Azahari memang telah siap bunuh diri jika sewaktu-waktu disergap polisi. Alasannya untuk melindungi orang-orang dan keluarga yang telah menampung Azahari selama pelarian. Dia juga ingin menutup akses polisi dalam mengorek informasi tentang anggota kelompoknya.
”Sejak Ramadan (2005) lalu, beliau telah menulis wasiat dan nasihat untuk keluarga beliau dalam satu buku khusus. Dia ingin, dengan tulisannya, istri dan dua putra-putri beliau bisa mengerti jalan perjuangannya,” demikian Jabir menulis dalam catatannya.
Hidup sebagai buron, Azahari tak bisa melupakan istri dan dua anaknya. Ia selalu membawa beberapa lembar foto mereka. ”Namun ia sering mengatakan, jangan sampai rasa rindu dan ingat keluarga itu menyebabkan kita lalai dan tak konsentrasi terhadap program jihad-,” Jabir mengenang.
Azahari dikenal sebagai ahli bom. Racikannya khas. Ia biasa mengga-bung-kan bahan peledak dengan bahan- -biasa seperti sabun untuk membuat bom berkekuatan dahsyat. Bom yang meledak- di Legian, Bali, 12 Oktober 2002, adalah salah satu buatannya.
Menurut Nasir Abas, penulis buku Membongkar Jemaah Islamiyah, dari Azahari-lah Jabir belajar ilmu bom. Berdasarkan keterangan polisi, racikan pertama yang dibuat Jabir adalah bom mobil yang meledak di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta, 9 September 2004.
Saat Azahari tewas, Jabir telah satu setengah tahun bergaul dengannya. Bersama Noor Din Mohammad Top, mere-ka hidup berpindah dari satu kota ke kota lain. Ketiganya biasa tidur dalam satu kamar, beralas tikar tanpa kasur. ”Ketika ruang tidur yang kami pakai- -bertiga penuh, beliau (Azahari) de-ngan ke-rendahan hati salat di luar kamar- dengan- hanya berlantaikan tanah liat dan beberapa lembar koran sebagai alasnya,” demikian Jabir menulis.
Dalam catatan berjudul ”Asy Syahid Biidznillah, Dr. Azhari Husain”, Jabir secara tersirat mengungkapkan bahwa kelompoknya bisa bergerak ke mana saja, meski polisi terus mengejar mereka. Ia mengisahkan pengalamannya me-nempuh perjalanan laut bersama Azahari, yang sedang berpuasa sunah setelah Lebaran 2004. ”Beliau mabuk laut dan muntah-muntah, tetapi bertekad untuk terus siam (puasa),” katanya.
Bisa jadi, saat itu ia sedang pergi ke luar Pulau Jawa melalui laut. Namun, seorang petinggi polisi yang terlibat dalam pengejaran teroris tak yakin soal itu. ”Bisa juga mereka hanya menyeberang ke Pulau Seribu atau Madura, jadi belum tentu ke luar Jawa,” katanya.
Azahari pernah menjadi mahasiswa teknik mesin di Universitas Adelaide, Australia, pada 1979-1984. Ia mendapat gelar PhD di Universitas Reading, Inggris, pada 1990. Gelar profesor ia -terima dari Universitas Teknologi, Malaysia, 1991.
Pria berkacamata itu masuk Indonesia pada 1996. Empat tahun kemudian, Azahari pergi ke Afganistan untuk belajar merakit bahan peledak. Di negeri bergejolak itulah ia sempat bertemu Usamah bin Ladin, pemimpin Al-Qaidah.
Menurut Jabir, kenangan bertemu Usamah itu tak pernah bisa dilupakan Azahari. Apalagi, dalam sebuah pertemuan, Usamah meminta Azahari duduk di sampingnya bersama para petinggi Al-Qaidah. ”Jika satelit musuh memfoto majelis tersebut, mungkin mereka bertanya-tanya: siapa nih yang duduk di samping Syeh Usamah?” Jabir menulis.
Dari semua catatannya, Jabir terkesan sangat mengagumi ahli pembuat bom itu. Ia juga menulis bahwa Azahari selalu menyatakan keinginannya untuk mati syahid. ”Aku sering dan telah me-ngirimkan beberapa ihwan untuk syahid, lalu aku kapan?” kata Azahari se-perti dikutip Jabir.
Kamis, 9 November tahun lalu, ia akhir-nya tewas di Malang. Lima bulan kemudian, Jabir mengalami nasib sama.
Budi Setyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo