Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Babak Pertama: 1-0 Buat Pengusaha

Pemerintah meloloskan permintaan para pengusaha agar menurunkan tarif pajak penghasilan. Bagaimana nasib wong cilik?

12 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

InI hasil perjuangan selama tiga tahun,” kata pengusaha Sofjan Wanandi tertawa besar. Bekas pemilik bank itu bukan sedang menceritakan pergulatan bisnis barunya. Bersama te-man-temannya dalam Asosiasi Peng-usaha Indonesia, Sofjan sedang bersuka cita menyambut draf terbaru RUU Pajak yang diumumkan pemerintah pada Selasa pekan lalu.

Tak seperti draf awal yang se-mpat diserahkan ke gedung parlemen pada Agustus tahun lalu, rancangan baru ini memenuhi sejumlah besar tuntutan- p-engusaha. Yang paling pen-ting: (1) pemerintah sepakat menurun-kan tarif- (ter-tinggi) dalam perhitungan p-ajak penghasilan dan (2) membatasi ke-we-nangan aparat pajak yang se-mula dinilai berlebihan. Kewenangan mem-blokir re-ke-ning bank, misalnya, tetap ada, namun kini diberi pagar: ha-rus ”memperhatikan” Undang-Undang P-erbankan.

Selain itu, aparat pajak yang nakal kini juga bisa terkena ancaman pidana, seperti halnya wajib pajak yang bandel. Dalam rancangan sebelumnya, kenakal-an aparat pajak diselesaikan secara internal melalui Menteri Keuangan. Hal lain yang tak ka-lah penting: aparat pajak tak bisa semaunya menentukan nilai pajak. Jika terjadi perbedaan perhitung-an nilai pajak (berdasarkan self-assessment), jumlah yang dibayar adalah jumlah yang disepakati da-lam ”pembahasan terakhir”.

Dari semua pasal itu, yang paling kon-troversial tentu saja soal penurunan ta-rif. Tarif (tertinggi) pajak penghasilan (PPh) pribadi yang semula 35 persen di-turunkan secara bertahap menjadi 33 persen, begitu RUU ini diundan-gkan, dan dipangkas lagi menjadi 30 per-sen pada 2010. Sementara itu, tarif PPh ba-dan juga dipotong dari 30 persen menjadi 28 persen, dan kemudian turun lagi hingga menjadi 25 persen.

Semula para pengusaha menuntut agar tarif langsung dipangkas 5 per-sen. Namun pemerintah keberatan. Kalau- tuntutan itu dipenuhi, ”Penerimaan ne-gara bisa guncang,” kata Menteri Ke-uangan Sri Mulyani Indrawati. Harus dicatat, dari Rp 352 triliun total penerimaan negara, hampir Rp 300 triliun (lebih dari 82 persen) merupakan kontribusi setoran pajak. Dari jumlah itu, bagian terbesar adalah pajak penghasilan—terutama yang dibayarkan oleh perusahaan dan orang-orang berduit.

Tuntutan lain yang ju-ga belum dipenuhi: soal pe-ng-ampunan pajak alias tax amnesty. Se-mula, pemerintah berjanji pasal ini akan disertakan sebagai pelengkap prog-ram reform-asi pajak. ”Ada puluhan m-i-liar dolar yang akan pulang kampung j-ika am-nesti p-ajak dilakukan,” ka-ta p-eng-usaha Sofjan, se-per-ti mem-berikan garansi. Namun per-kara peng-ampun-an ini ter-nya-ta terkait de-ngan soal pi-dana dan undang-undang lain. Ka-rena itu pemba-hasannya harus melibat-kan k-epolisian, Kejaksaan Agung, dan K-o-misi Pemberantasan Korupsi.

Gerilya para pengusaha dalam me-lobi aturan perpajakan telah di-mulai se-jak draft RUU digodok di bawah pimpinan Menteri Keuangan (kala itu) Jusuf A-nwar dan Direktur Jenderal Pajak (waktu itu) Hadi Purnomo. Beberapa peng-usaha senior yang mewakili Kadin seperti Theodore P. Rachmat, Chaerul Tanjung, Rachmat Gobel, James Castle, dan John Prasetyo masuk tim review yang dibentuk Departemen Keuangan. Sampai awal Agustus 2005, hasil tim ini dianggap cukup melega-kan, karena RUU telah menyetujui ”90 persen usul pengusaha”.

Namun, pada akhir Agustus, ketika- draf masuk ke parlemen, para peng-usa-ha merasa kecolongan. Usul tim review ternyata tak sampai ke Senayan. Rancangan pajak tersebut seperti ”disabot” di tengah jalan. Tiga bundel besar yang diserahkan ke DPR ternyata penuh pa-sal yang condong ke kewenangan dan keamanan aparat pajak seperti diinginkan Dirjen Hadi Purnomo.

Gerilya para pengusaha pun kemu-di-an- beralih sasaran. Mereka ganti mem-bidik Hadi yang dianggap sebagai biang draf yang tak bersahabat itu. Akhirnya Ha-di yang sudah lima tahun bercokol di Ditjen Pajak diganti Darmin Nasution. ”Penggantian ini memang untuk memuluskan penyusunan rancangan yang pro-Kadin,” kata anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI, Dra-djad Wibowo.

Setelah Hadi ”terguling”, semuanya- jadi lancar. Dalam tempo sebulan, Dar-min,- yang baru masuk kantor pajak pa-da akhir April lalu, langsung melakukan perombakan besar. Usul tentang penurunan tarif (tertinggi) pajak penghasilan pun akhirnya dapat digolkan.

Kemenangan para pengusaha ini memang belum bulat benar. Agar dapat di-undangkan, rancangan masih akan di-bahas di Senayan oleh wakil rakyat. Namun untuk sementara kedudukan sudah 1-0 bagi para pengusaha.

Reformasi pajak, terutama penurunan tarif, memang sedang mewabah di ma-na-mana di seluruh dunia. Bagi para ca-lon pemimpin, isu seksi ini sering dimanfaatkan untuk memikat calon pemi-lih: siapa, sih, yang sebenarnya rela menyetor-kan duit hasil keringatnya sendiri kepada negara? Tarif p-ajak yang terlalu tinggi di-anggap menjadi peng-halang yang bisa memadamkan n-afsu orang me-ngejar peng-hasilan seba-nyak-banyak-nya. Untuk apa bekerja le-bih ke-ras jika hasilnya habis dipotong untuk setoran pajak?

Namun penurunan tarif pajak b-ukan tanpa risiko. Sejarah mencatat, me-rosot-nya pos penerimaan nega-ra gampang sekali mengancam pos-pos belanja yang diangap menjadi sumber distorsi ekonomi, seperti subsi-di untuk orang miskin. Bagi warga negara yang kurang ber-untung, urusan tarif pajak ini sederhana saja: apa-kah pemangkasan itu tak mengganggu pembe-rian fasilitas ba-han bakar mu-rah, cuci darah gratis, opera-si bibir sum-bing dan katarak sonder bayar, serta pembebasan biaya pendidikan se-perti yang selama ini me-reka terima? Apakah penurunan ta-rif yang dinikmati orang-orang terkaya itu tak akan mengorbankan nasib mereka yang miskin dan kesrakat?

Untuk itu, penurunan tarif mesti di-kom-pensasi dengan me-luasnya basis wajib pajak. Pemangkasan ini harus bisa me-rangsang masyarakat bekerja lebih keras sehingga makin banyak ke-lompok orang yang membayar pajak peng-ha-sil-an dengan tarif tertinggi. Selain itu, harus ada jaminan bahwa- potensi pajak itu benar-benar masuk ke kas negara. Sistem perpajakan harus- di-buat le-bih sederhana, sehingga tak mem-berikan r-uang bagi aparat dan wajib pa-jak untuk ber-main mata. Biaya monito-ring dan pelaporan pajak juga mesti bisa dibuat semudah dan semurah mungkin.

Akhirnya, untuk negara yang menjadi jagoan korupsi kelas dunia seperti Indonesia, memang ada pertanyaan yang h-arus dijawab birokrasi pe-me-rintah: mana lebih baik, membiar-kan peng-usaha menilep pajak tapi kemu-dian mem-bangun pabrik sepatu se-hingga membuka la-pangan kerja atau me-nyuruh mereka menye-tor pajak yang hanya akan dikorupsi para pejabat?

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus