Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ya! Saya yakin ini tulisan adik saya,” kata Endi Miftahul Huda, kakak Jabir. Hanya butuh semenit bagi dia memastikan keaslian buku harian Jabir yang sebagian fotokopinya disodorkan Tempo. Dari coretan tangan, cara bertutur, hingga isi ceritanya, sang kakak yakin buku itu ditulis adiknya.
Tempo berkunjung ke rumah Huda di Desa Mojorejo, Kecamatan Kebonsari, Madiun, Jawa Timur, dua pekan lalu. Lelaki 31 tahun ini menunjukkan tumpukan buku yang sebagian besar berhuruf Arab pegon (tanpa tanda baca) dari lemari di kamar Jabir. Menurut Huda, buku-buku itu berisi jihad mulai dari dalil naqli (bersumber Al-Quran dan hadits) hingga dalil aqli (logika). ”Ini semua kenang-kenangan yang masih tersisa dari adik saya (Jabir),” kata pengusaha tempe ini.
Jabir lahir pada 1979 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara-. Memang-, selain tekun beribadah, dia juga rajin menulis sejak SD. Dia lebih- sering menulis keluhan di buku menge-nai kerasnya pendidikan di keluarganya. ”Dia tidak berani ngomong,” kata Huda.
Orang tua mereka memang mendidik anak-anak dengan disiplin keras, terutama dalam menjalankan perintah agama. Huda masih ingat ketika di kampungnya hanya ada satu rumah yang memiliki televisi. Se-bagai sulung, setiap sore dia mengajak adik-adiknya menonton acara televisi di rumah tetangga itu. Namun, begitu azan Magrib berkumandang, mereka harus segera pulang untuk salat -berjamaah dengan keluarga. Terlambat lima menit saja, jeweran sang ayah akan menyiksa telinga mereka sampai merah.
Saat ayah melampiaskan amarah-, terkadang Huda memprotes, semen-tara adik-adiknya hanya bisa me-nangis-. ”Jabir rajin menghitung berapa- kali kami mendapat hukuman dari Abi (ayah),” katanya. Tak hanya menghitung, dia juga merekam peristiwa-peristiwa dalam keluarga itu ke dalam buku, campur aduk dengan pelajaran sekolah.
Semua buku yang memuat tulisan tangan Jabir sejak SD berikut ijazahnya sudah lama dibakar. Keluarganya merasa tertekan karena aparat kepolisian sering datang ke rumah mencari dan meminta semua hal yang berkaitan dengan Jabir.
Menurut Huda, keluarganya tidak pernah meratapi kematian Jabir dalam penyerbuan yang dilakukan Detasemen Khusus 88 di Wonosobo, Jawa Tengah. Kesedihan hanya akan membebani arwah Jabir mencapai cita-citanya. ”Mungkin dia sudah menemukan bidadari-bidadari yang lama dicita-citakan,” kata Huda.
Agung Rulianto, Rohman Taufik (Madiun)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo