Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASANGAN suami-istri Muslam-Tin Sri Rahayu kini tak bisa tidur lelap. Akibat ulah Abdul Hadi, putra mereka, hingga pekan lalu polisi rajin menyam-bangi rumah warga Tawangsari, Sukoharjo, Jawa Tengah, itu.
Abdul Hadi, yang punya nama alias Bahrudin Sholih, menghadapi tuduh-an tak ringan. Polisi memasukkan nama-nya dalam daftar teroris di bawah jaring-an Noor Din M. Top—yang hingga kini buron.
Abdul Hadi memang telah berkalang tanah ketika polisi menyerbu sebuah rumah di Dusun Binangun, Wringinanom, Kretek, Wonosobo, akhir April lalu. Selain Abdul Hadi, tewas juga Gempur Budi Angkoro, yang akrab di-sapa Jabir. Dua lagi, Mustaghfirin dan Solahuddin, ditangkap hidup.
Itu sebabnya polisi meminta keterang-an Muslam. Pemeriksaan yang dilakukan pekan lalu dipimpin Kepala Deta-semen 88 Polda Jawa Tengah, Ajun Komisaris Polisi Daryono, bersama dua anak buahnya, Ajun Komisaris Abdillah dan Brigadir Satu Dwi Margono.
Seorang perwira polisi mengakui, pemeriksaan itu berkaitan dengan sepak terjang Abdul Hadi. ”Dia salah seorang kepercayaan Noor Din,” katanya-. Polisi menduga, Muslam mengetahui keberadaan buron istimewa itu melalui anaknya.
Namun, menurut Muhammad Kur-ni-awan, kuasa hukum keluarga Abdul Hadi, kliennya tak tahu apa-apa. ”Abdul- Hadi sudah meninggalkan rumah sejak 2003,” katanya. Muslam dan Tin, kata Kurniawan, baru melihat anaknya lagi setelah jadi mayat.
Keluarga Jabir di Madiun, Jawa Timur, juga sama dengan Muslam. Harapan polisi kini bertumpu pada Mustaghfirin- dan Solahuddin. ”Yang pasti, Noor Din berada di habitatnya,” kata seorang perwira di Mabes Polri. ”Jika keluar, dia mudah tertangkap.”
Nama Noor Din mencuat setelah bom Bali I, Oktober 2002, bersama Azahari Husein. Dua sekawan ini memiliki keahlian berbeda. Noor Din jago me-rekrut pengikut, Azahari pintar merancang bom.
Karena mereka tak juga tertangkap-, tahun lalu Mabes Polri sempat menawarkan hadiah Rp 500 juta-Rp 1 miliar bagi warga yang bisa menunjukkan keberadaan kedua orang itu.
Dari tersangka yang telah ditangkap, polisi hanya mengetahui Noor Din dan Azahari berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur, akhir 2003 - Juli 2004. Selama pelarian, Noor Din tak hanya piawai menebar teror, tapi juga jago memikat wanita.
Dia menyunting wanita pujaannya, Munfiatun, di Pasuruan, Jawa Timur, pada 2004. Setelah itu, dia pindah ke Jawa Barat dan Banten pada Agustus 2004.
Suami-istri ini kemudian hidup terpisah. Munfiatun balik ke kampungnya-, hingga ditangkap polisi pada 2005. -Pengadilan Negeri Bangil, Pasuruan, menghukum Munfiatun empat tahun penjara dengan tuduhan menyembunyi-kan Noor Din.
Beberapa kali polisi nyaris menangkap pasangan Noor Din-Azahari. Aparat pernah menggerebek rumah kontrakan mereka di Jalan Kembang, Bandung, Jawa Barat, September 2003. Namun, di lokasi, polisi hanya menemukan empat bom yang siap ledak. Mereka juga hampir ditangkap di Cengkareng dan Jakarta Barat, pada 2004.
Ketika polisi menguber mereka, pe-ngeboman justru jalan terus. Hingga kemudian muncul bom Bali II, Oktober 2005. Dari berbagai pengeboman, polisi mengantongi satu simpul pengait: detonatornya sama.
Dari jejak inilah polisi yakin pelaku-nya sama. ”Azhari yang merancang deto-nator,” kata seorang perwira menengah polisi. Setelah bom Bali II, Noor Din dan Azahari, yang biasanya jalan berdua, memisahkan diri.
Dugaan ini terbukti ketika polisi menggerebek persembunyian tersangka teroris di Kota Batu, Jawa Timur, 9 November 2005. Di situ hanya ditemukan jenazah Azahari.
Kini polisi memburu Noor Din. Beberapa pengikutnya telah ditangkap, termasuk tersangka Solahuddin dan Mustaghfirin di Wonosobo itu. Setelah itu, Detasemen Khusus 88 Mabes Polri menangkap lima pengikut Noor Din di Tolitoli, 5 Mei lalu.
Tanpa perlawanan, Apriyanto alias Irwan, Arman alias Haris, dan Abdul- Muis ditangkap di sebuah rumah kontrakan di Jalan Sona, Nalu, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Asrudin dan Nano dibekuk di penginapan Bumi Harap-an. Dari mereka, polisi menyita dua butir amunisi dan buku-buku jihad. Saksi Yanto Ahmad, yang bermukim di Jalan Sona, mengatakan baru sepekan terakhir melihat tersangka berkeliar-an di dekat rumahnya. ”Mereka berjualan- roti,” katanya. Yanto juga pernah berbincang dengan mereka. ”Apriyanto mengaku pernah berdomisili di Poso dan Palu,” katanya.
Selang dua hari setelah penangkapan itu, giliran aparat dari Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah menggaruk lima tersangka pengikut Noor Din, juga di Tolitoli. Dua di antaranya diduga membantu Noor Din bersembunyi di Semarang.
Menurut Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Brigadir Jende-ral Polisi Oegroseno, tersangka baru tiga bulan berada di Tolitoli, dan kini sudah dikirim ke Mabes Polri. Berikutnya, penangkapan dilakukan di Semarang, Jawa Tengah.
Tiga orang yang diduga terlibat te-rorisme, yakni Agung Pramono, Slamet Purnomo, dan Budiono, ditangkap dua pekan lalu. ”Mereka diduga memfasilitasi pertemuan anggota jaringan Noor Din,” kata seorang polisi di Semarang.
Kepada polisi, Mustaghfirin menga-takan mereka merencanakan pe-nge-bom-an berikutnya. ”Mengarah ke KTT D-8 yang berlangsung di Bali, atau pe-rayaan Waisak di Candi Bo-ro-bu-dur,” kata Kepala Polri, Jende-ral Su-tan-to, dalam rapat dengar pen-da-pat de-ngan Komisi Hukum DPR di ge-dung DPR, pertengahan Mei lalu. Bo-leh jadi rencana pengeboman itu ga-gal setelah penggerebekan di Wonosobo. Na-mun, polisi tak menjamin aksi teroris-me telah berakhir. Masalahnya, Azahari mewariskan manual perakitan bom da-lam bentuk tulisan kepada pengikutnya, bahkan petunjuk tertulis cara beraksi bom bunuh diri.
Beberapa pengikut Noor Din, kata polisi, juga sudah mampu merakit bom. Seorang tersangka, Muhammad Cholili, yang ditangkap tahun lalu, membenar-kan keterangan polisi itu. Kepada penyi-dik, Cholili bilang pernah mengikuti kursus singkat merakit bom dari Azahari dan Noor Din.
Kursus itu, katanya, berpindah-pindah, misalnya di Semarang, Surabaya, Solo, dan Malang. Menurut dugaan polisi, ada dua tersangka lagi yang mampu merakit bom, yang nyaris menyerupai ”karya” Azahari. Dan dua orang ini masih bebas berkeliaran.
Nurlis E. Meuko, Sohirin (Semarang), Darlis Muhammad (Palu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo