Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soeharto (8 Juni 1921–27 Januari 2008)
Dalam Dua Wajah
Kejatuhan, bahkan kematian, tak meredupkan Soeharto dari ruang-ruang pemberitaan. Separuh usia kemerdekaan Indonesia—32 tahun—ada di tangannya. Tidak ada hari tanpa siaran tentang Soeharto pada masa itu. Kejatuhannya menjadi berita dunia. Semua pewarta berupaya mengintip senja kala hidupnya. Kematiannya adalah salah satu momen paling menyedot perhatian publik.
Soeharto tak mungkin dilepaskan dari babad tanah Indonesia. Dia presiden dengan rekor kekuasaan terpanjang. Dia dipuja dan dihujat, dibenci dan dikagumi. Pendukungnya menemukan sosok pemimpin yang digdaya dalam dirinya—dia muncul pada akhir pemerintahan Soekarno yang galau. Mereka menyebutnya ”Bapak Pembangunan”. Dia dianggap berhasil membawa Indonesia yang miskin menjadi negara yang mampu berswasembada pangan.
Tak kurang-kurang pula kalangan yang memandangnya sebagai mimpi buruk tak berkesudahan. Dia mengirim ribuan orang ke Pulau Buru tanpa pengadilan. Demi pembangunan ekonomi, dia tak segan memberangus demokrasi dan hak asasi manusia. Kelompok Islam politik boleh jadi mengenangnya secara mendua. Pada masa awal pemerintahan, Soeharto dinilai antipati terhadap Islam. Pada akhir kekuasaannya, dia merangkul kembali Islam. Antara lain mengizinkan pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia dan Bank Muamalat.
Demonstrasi mahasiswa 1998 akhirnya meruntuhkan bintang Orde Baru itu. Ekonomi Indonesia juga ikut rontok macam rumah kartu. Berpulang pada awal 2008, Soeharto mewariskan perdebatan tak kunjung selesai tentang siapa dia sebenarnya: pahlawan atau pelanggar hak asasi, tokoh pembangun atau koruptor.
”Saya tidak punya uang satu sen pun.”
— Soeharto
Tonggak Karier:
Ali Sadikin (7 Juli 1927-20 Mei 2008)
Tanda Mata Jakarta
Di kota raya bernama Jakarta, Ali Sadikin sesungguhnya tak pernah benar-benar mati. Dia mencintai kota itu sampai ke relung hatinya, dan Jakarta membalasnya dengan sepadan. Warga Ibu Kota mengenang namanya dengan hormat, mengibaratkan dia sebagai ”tanda mata”. Ibu Kota.
Bang Ali panggilannya. Tangannya bisa sekeras besi, suaranya gemuruh seperti guntur tengah hari. Tapi rakyat Jakarta dengan suka hati menyebutnya pemimpin yang adil, tegas, bersuri teladan.
Dia memoles kampung Jakarta menjadi metropolitan yang cemerlang. Namanya tertanam subur di Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ria Monas, kota satelit Pluit, dan masih banyak lagi.
Pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat, ini meniupkan roh yang melestarikan budaya Jakarta melalui Pekan Raya Jakarta tiap 22 Juni. Pelestarian budaya Betawi di kawasan Condet merupakan gagasannya yang orisinal. Bang Ali turut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum. Lalu membiarkan lembaga itu mengkritik kebijakannya.
Tegas dan berani, Ali melegalkan judi, kendati ditentang para ulama. ”Saya cuma tak mau munafik. Jakarta perlu banyak duit untuk membangun, sementara pemda tak cukup punya duit,” katanya kepada Tempo tiga tahun lalu. Judi mengalirkan uang pajak yang menggeliatkan ekonomi Jakarta.
Setelah tak lagi menjadi Gubernur Jakarta, Ali Sadikin aktif di Petisi 50, kelompok yang aktif mengkritik pemerintahan Soeharto. Pilihan itu mematikan hak perdatanya. Anak-anaknya pun kesulitan memperoleh kredit dari bank untuk berusaha.
”Kalau ulama mengharamkan judi, mereka harus punya helikopter, karena jalan di Jakarta dibangun dari judi.”
— Ali Sadikin
Tonggak Karier
Jusuf Ronodipuro (30 September 1919-27 Januari 2008)
Kemerdekaan Indonesia tidak akan tersiar ke luar negeri tanpa kenekatan Jusuf Ronodipuro. Saat itu dia menjadi penyiar radio Hoso Kyoku, milik Jepang. Naskah Proklamasi hasil penggandaan diselundupkan ke kantornya, lalu sore itu, dalam segmen berita internasional, tersiarlah berita Proklamasi ke seluruh dunia. Akibatnya, Jusuf disiksa tentara Jepang. Hoso Kyoku belakangan menjadi Radio Republik Indonesia. Pada 1950, atas inisiatifnya, ia merekam kembali pembacaan naskah Proklamasi. Jusuf kemudian lebih banyak berkecimpung di dunia diplomasi. Ia pernah menjabat Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan. Pada 1972, Jusuf dipercaya menjadi Duta Besar Indonesia untuk Argentina, Cile, dan Uruguay.
”Sekali di udara tetap di udara.”
— Jusuf Ronodipuro
Tonggak Karier
S.K. Trimurti (11 Mei 1912-20 Mei 2008)
Dia punya banyak predikat: jurnalis, pendidik, dan pejuang. Mula-mula dikenal sebagai wartawan, Trimurti juga aktif menjadi guru di Semarang, Solo, Banyumas, dan Bandung. Ia pernah memimpin sejumlah koran di zaman Belanda. Soerastri Karma Trimurti kemudian terjun ke politik karena pengaruh Soekarno. Kritik dan aktivitas politiknya menentang penjajahan membuat dia harus mendekam di bui selama tujuh tahun. Setelah Indonesia merdeka, mantan istri Sayuti Melik—pengetik naskah Proklamasi—ini menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Dia lalu diangkat menjadi Menteri Perburuhan. Tri, panggilan akrabnya, pernah diutus pemerintah untuk melakukan studi banding dan manajemen perburuhan di Yugoslavia dan beberapa negara sosialis pada 1962.
”Jangan jadi orang pendendam.”
— S.K. Trimurti
Tonggak Karier
Iswadi Idris (18 Maret 1948-11 Juli 2008)
Di masa jayanya, dialah gelandang serang sekaligus kapten yang disegani kawan dan lawan. Iswadi Idris adalah pemimpin yang mampu membaca permainan dan punya naluri istimewa mencetak gol. Dalam sejarah sepak bola Indonesia, Iswadi merupakan pemain pertama yang dikontrak klub asing. Dia sempat bermain untuk klub Western Suburb, Australia, pada 1974. Namun dia punya sisi temperamental. Beberapa kali dia memukul pemain lawan di lapangan hijau. Dia biasa muntah sebelum bertanding dan menghilangkan stres dengan membaca cerita Kho Ping Hoo sambil berbaring dan mengangkat kakinya ke tembok. Iswadi wafat setelah menderita stroke.
Tonggak Karier
Rachman Halim (30 Juli 1947-27 Juli 2008)
Di bawah kendali Rachman Halim alias Tjoa To Hing, PT Gudang Garam Tbk. meraih masa keemasan. Dia anak sulung Surya Wonowidjojo—pendiri pabrik rokok Tjap Gudang Garam. Rachman berhasil menjadikan Gudang Garam penguasa 50 persen pasar rokok di Indonesia pada 1990-an. Dua pesaingnya, Sampoerna dan Djarum, dapat dilampaui. Dan Gudang Garam mencatatkan sahamnya di lantai bursa.
Majalah The Economist pernah menobatkan perusahaan yang berbasis di Kediri, Jawa Timur, itu sebagai kilang rokok terbesar di Asia Tenggara. Pada Juni 2000, pria yang cuma lulus sekolah menengah atas ini menyerahkan jabatannya kepada profesional dari luar, Djajusman Surjowijono. Rachman memilih duduk sebagai presiden komisaris.
”Perusahaan ini tidak berarti apa-apa. Kami hidup dari keringat mereka.”
— Rachman Halim
Tonggak Karier
Sjahrir (24 Februari 1945-28 Juli 2008)
Ekonom ternama sekaligus mantan aktivis adalah predikat yang melekat pada diri Sjahrir. Ada lagi embel-embel lain: jagoan pesta dan tukang makan. Sohibnya, Hariman Siregar—yang pernah sama-sama mendekam di bui karena peristiwa Malari 1974—menuturkan, sampai menjelang akhir hayatnya di Singapura, pria bertubuh tambun ini masih berkeras mencari durian. Buah eksotik itu tak dapat ditemukan dan akhirnya mereka mengudap es krim.
Sebagai ekonom, Sjahrir terhitung figur unik. Dia menulis disertasi yang menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menyediakan kebutuhan pokok rakyat. Tapi, pada saat yang sama, dia dikenal sebagai pembela konsep pasar bebas yang tangkas. Hal lain yang perlu diingat dari Sjahrir adalah aktivitasnya yang beragam. Dia pemain pasar modal, mendirikan partai politik, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
”Monopoli cengkeh oleh BPPC menghina otak kita.”
— Sjahrir
Tonggak Karier
Ismail Saleh (7 September 1926-21 Oktober 2008)
Tumor otak merenggut nyawa Ismail Saleh. Di masa Soeharto, dia bagian dari penegak hukum yang dikenal sebagai Trio Punakawan. Ismail adalah Gareng, Mudjono menjadi Semar, dan Ali Said sebagai Petruk. Sempat diragukan kemampuannya sebagai jaksa, Ismail menggebrak dengan menangkap sejumlah tersangka korupsi. Di antaranya Jos Soetomo, pengusaha kayu yang ketika itu dikenal sebagai orang terkaya di Kalimantan Timur. Majalah Tempo pernah memuji sepak terjangnya dengan menampilkan karikatur Ismail di sampul depan. Dia mengenakan baju silat, lengkap dengan destar pengikat kepala, dan memasang kuda-kuda.
”Saya akan tangkap koruptor tanpa pandang bulu.”
— Ismail Saleh
Tonggak Karier
Ali Alatas (4 November 1932-11 Desember 2008)
Dia diplomat ulung, dia mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Dua kali menjadi Menteri Luar Negeri (1987-1999), Ali Alatas berjasa mendorong normalisasi hubungan dengan Cina. Dia pernah didapuk sebagai Ketua Gerakan Nonblok. Di kawasan Asia Tenggara, Alex—begitu sapaannya—dikenang sebagai juru damai. Dengan inisiatif menyelenggarakan Jakarta Informal Meeting, ia merancang rujuk bagi pihak-pihak yang berseteru di Kamboja. Ali berperan mendamaikan Manila dengan pemberontak Moro di Mindanao. Serangan jantung merenggut jiwa pria yang terakhir menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden ini.
”Opsi melakukan referendum di Timor Timur agak prematur.”
—Ali Alatas
Tonggak Karier
Iskandar Alisjahbana (20 Oktober 1931-16 Desember 2008)
Para aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung era 1970-an mengenangnya sebagai rektor yang egaliter. Iskandar giat mendorong mahasiswa untuk bersikap independen dan berani. Maka ITB pun menjadi kampus yang mudah bergolak di masa Soeharto. Iskandar juga sosok ilmuwan yang paripurna. Dia perintis sistem telekomunikasi satelit yang dikenal sebagai satelit Palapa. Belakangan dia mengembangkan percobaan untuk menghasilkan listrik dari tenaga arus laut. Di kampus, Iskandar tekun memadukan teknologi dan bisnis. Dia membentuk inkubasi bisnis untuk mendorong usaha kecil. Dia dikebumikan di pemakaman keluarga di daerah Tugu, Bogor, Jawa Barat.
”Jika pakai satelit, bisa kita manfaatkan dari telepon sampai televisi.”
— Iskandar Alisjahbana
Tonggak Karier
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo