DISIRAM sinar matahari pagi, gedung Partai Kebangkitan Bangsa tampak asri. Pelatarannya cukup luas, di sisi kanannya berdiri sebuah musala yang bersih. Terhampar di sampingnya Jalan Kalibata Timur, Jakarta Selatan, tepat di balik pagar belakang Taman Makam Pahlawan Kalibata. Gedung yang baru diresmikan beberapa bulan lalu ini masih lengang. Hanya Mahfud Md., Wakil Ketua Umum PKB, yang telah sibuk di ruang kerjanya. Diusik oleh pertanyaan TEMPO yang menemuinya pagi-pagi, dahinya berkerut memikirkan berbagai skenario koalisi menjelang Pemilihan Umum 2004.
Seperti menyusun batu bata untuk membangun gedung PKB, koalisi partai tidak bisa dirancang dalam sehari. Itu sebabnya beberapa bulan terakhir Mahfud secara maraton menghadiri sederet pertemuan yang digalang oleh partai-partai berbasis massa umat Islam. Lewat serangkaian perbincangan serius, menurut bekas Menteri Pertahanan ini, dirajutlah sebuah komitmen. "Intinya, kami sepakat mengakhiri pemerintahan Megawati Soekarnoputri secara konstitusional," tuturnya Rabu dua pekan silam.
Menurut Mahfud, sejumlah pertemuan itu digagas oleh kalangan yang berbeda-beda. Ada yang digerakkan oleh sekelompok politikus muda. Ada juga pertemuan yang diprakarsai oleh Habil Marati dari Partai Persatuan Pembangunan. Bahkan kalangan eksponen Ikatan Keluarga Pelajar Islam Indonesia (PII), juga turun gunung, membentangkan benang koalisi.
Pertemuan terakhir dijalin di Hotel Hilton, Jakarta, pada 18 November lalu. Hadir dalam perbincangan tersebut antara lain Yunus Yosfiah (Sekjen PPP), Hidayat Nurwahid (Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera), dan Mahfud Md. Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais, juga sempat bergabung, tapi hanya sebentar. Kali ini penggagasnya adalah kalangan PII. Karena Z.A. Maulani (Ketua Umum Ikatan Keluarga PII) sakit, rembukan ini dipimpin oleh Ryaas Rasyid, salah seorang pengurus organisasi itu yang juga Presiden Partai Demokrasi Persatuan. "Saya memang tak bisa datang karena gula darah saya naik," ujar bekas Kepala Bakin itu kepada TEMPO.
Agendanya? Sambil membuka catatannya pada telepon gengam, Mahfud berusaha mengingat-ingat. Katanya, saat itu dibicarakan siapa calon presiden yang pantas menggantikan Megawati. Kesepakatan semacam ini cukup mendesak karena pemilu legislatif bakal digelar pada April 2004. Sepekan kemudian, dibuka pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan berlaga pada pemilihan yang dilakukan dalam dua putaran. Maka mencuatlah gagasan untuk melakukan penilaian obyektif terhadap sejumlah calon penantang Megawati.
Dipimpin oleh Ryaas Rasyid, peserta pertemuan itu menilai para calon dari semua sisi. Ada delapan elemen yang diukur, meliputi kepemimpinan, kemampuan manajemen, wawasan, hubungan internasional, inovasi, keberanian memberantas korupsi, dan popularitas. Hasilnya, menurut Mahfud, Abdurrahman Wahid dan Amien Rais memperoleh skor tertinggi, disusul (dengan angka yang terpaut jauh) Susilo Bambang Yudhoyono.
Adanya simulasi penilaian itu diakui juga oleh Ryaas Rasyid. Tapi seingat dia, Amien Rais memperoleh skor tertinggi, baru kemudian Abdurrahman Wahid. Nama lain yang ikut dinilai dalam pertemuan itu antara lain Hamzah Haz, Wiranto, dan Yusril Ihza Mahendra.
Pertemuan serupa dengan penggagas berbeda-beda juga pernah digelar di berbagai tempat, antara lain di Hotel Bumi Karsa, rumah seorang politikus di Pancoran, dan Hotel Maharani, Jakarta Selatan. Pesertanya hampir sama. Kalangan PKB, PAN, PPP, dan PKS selalu ada yang mewakili. Begitu pula tema pembicaraannya selalu seputar mengatur strategi buat menandingi kubu Megawati.
Dalam pertemuan di Hotel Maharani yang digelar tiga hari sebelum pertemuan Hilton, misalnya, dibicarakan peran organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Di situ seorang peserta mencetuskan gagasan agar dua organisasi ini mengusung satu calon presiden. "Bila itu terjadi, persoalannya menjadi beres. Kita memiliki calon presiden dengan dukungan yang kuat," ujar Mahfud menirukan ucapan si pengusul.
Persoalannya, NU dan Muhammadiyah bukan organisasi politik. Keputusan tetap berada di partai yang berbasis massa Islam seperti PKB, PAN, PPP, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Bulan Bintang. Lagi pula, seandainya perolehan suara mereka digabung, mungkinkah bisa menandingi suara partai-partai nasionalis?
Dalam pertemuan sebelumnya di Pancoran yang diadakan sebelum Ramadan, menurut Lukman Hakiem (Sekretaris Dewan Pengurus Pusat PPP), hal itu telah disinggung. Sepanjang sejarah pemilu, kekuatan kubu Islam tidak mencapai 50 persen lebih. Dalam Pemilu 1955, misalnya, hanya terkumpul sekitar 43 persen suara dari partai Islam yang ada saat itu, seperti Masyumi, NU, PSII, dan Perti. Angka yang didapat dalam Pemilu 1999 lebih kecil, sekitar Rp 39,5 persen, jika suara PKB, PPP, PAN, PBB, PNU dan sebagainya ditotal.
Hanya, perolehan suara masih mungkin bertambah karena pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2004 digelar secara langsung. Orang-orang yang dalam pemilu legislatif memilih Golkar, misalnya, bisa terpanggil menyokong calon dari "kelompok Islam". Di Gedung MPR, para politikus dari Partai Beringin pernah melakukannya saat mengusung Abdurrahman Wahid menjadi presiden, menghadapi Megawati pada 1999. Akhirnya Gus Dur menang dengan skor 56 persen suara.
Buat memperbesar suara bisa pula dengan cara menggubah bahan perajutnya. Ini dilontarkan oleh Al-Muzamil, Wakil Ketua PKS, yang pernah hadir dalam pertemuan di Hotel Maharani. Benang yang dirajutnya bisa berupa keinginan buat mewujudkan pemerintahan yang bersih, bukan berupa ideologi keislaman. "Saya kira Megawati dianggap gagal menghadang bahaya korupsi yang luar biasa," kata Muzamil. Dengan begitu, semua partai yang ingin menegakkan reformasi bisa digandeng.
Gagasan semacam itu telah pula diusung oleh 13 partai besar, antara lain Partai Bintang Reformasi, Partai Pelopor, PKS, PAN, dan PKB, Partai PDK, dan PNI Marhaenisme. Mula-mula mereka menuntut pengembalian kantor PPP, Golkar, dan PDIP kepada negara, karena partai yang lain kini tidak mendapat fasilitas serupa. Belakangan mereka mulai berancang-ancang membangun koalisi lewat pembentukan sekretariat bersama. "Perbincangan mengenai hal itu memang terjadi, tapi belum final," ujar Hakam Naja, Wakil Sekretaris PAN.
Koalisi pelangi semacam itu cukup terbuka karena sejauh ini rembukan antara partai-partai berbasis massa Islam masih terbentur kerikil. Mereka belum sepakat siapa calon presiden yang diajukan bersama. PAN jelas menjagokan Amien Rais. PKB pun tetap mengusung Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pencalonan Abdurrahman, menurut Mahfud, telah disepakati dalam musyawarah kerja PKB pada Mei lalu.
Sikap PPP? Kendati PPP belum menyodorkan Hamzah Haz sebagai calon presiden, bukan berarti partai ini buru-buru menyetujui calon partai lain. Bahkan sebagai Ketua Umum PPP, Hamzah Haz, menampik adanya kesepakatan untuk menghadang Megawati lewat serangkaian pertemuan. "Saya kira belum ada kesepakatan mengenai hal itu," tuturnya.
Menggantungnya sikap Hamzah, menurut sumber TEMPO, disebabkan oleh posisinya. Dia tidak mungkin mengibarkan diri sebagai calon presiden, menantang Megawati, karena masih berkantor di Istana Wakil Presiden. Apakah Hamzah sudah menjalin komitmen politik dengan Megawati untuk terus memerintah sampai 2009 nanti? Tidak juga. "Pak Hamzah sudah berbicara dengan Ibu Megawati. Sikapnya, kita tunggu hasil pemilu," tutur Lukman Hakiem, yang sehari-hari menjadi staf khusus Wakil Presiden.
Menunggu hasil pemilu. Itu pula gagasan yang berkembang dalam sejumlah pertemuan. Menurut Habil Marati, seorang pemrakarsa koalisi, kecenderungannya calon presiden bersama akan ditentukan sesudah pemilu legislatif. Saat itu perolehan suara partai sudah jelas. Hanya, kata Mahfud, ada juga yang ingin semua calon yang ada maju dalam pemilihan presiden putaran pertama. Nah, yang lolos masuk putaran kedua, inilah yang didukung.
Masih longgarnya ikatan koalisi membuat para tokoh partai leluasa bermanuver ke sana-kemari. Amien Rais berkali-kali mengungkapkan kesiapan untuk menggandeng figur TNI. Artinya, ia bisa maju dengan pasangannya sendiri, tanpa terikat komitmen dengan PKB, PPP, dan PKS. Ketua Umum PKB, Alwi Shihab, pun diam-diam telah bertemu dengan Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati, beberapa waktu lalu.
Segala kemungkinan bisa terjadi hingga April 2004 nanti. Yang pasti, Mahfud sendiri belum menghentikan langkah untuk merancang koalisi di antara partai berbasis Islam. "Sekarang saja sudah ada teman yang menelepon, mengajak diadakan pertemuan lagi," ujarnya mengakhiri perbincangan sambil membuka pesan pendek di telepon genggamnya. Dahinya masih berkerut, dijejali seabrek skenario politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini