Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah panasnya situasi politik pada Juli lalu, Ainun Najib tiba-tiba membetot perhatian warga Indonesia di dalam dan luar negeri. Di Singapura, ia tampil mewakili 700 relawan Kawal Pemilu, yang tersebar dari Australia sampai Eropa. Lelaki 29 tahun itu dengan lantang menjelaskan keabsahan hasil penghitungan suara versi kawalpemilu.org.
Lahir di lingkungan Nahdlatul Ulama di Gresik, Jawa Timur, Ainun pindah ke Singapura pada 2003 untuk berkuliah di Nanyang Technological University. Bapak dua putra ini tak mengira kawalpemilu.org bakal diperhitungkan. "Semua ini skenario Ilahi," ujar Ainun ketika ditemui di Singapura, dua pekan lalu. Sewaktu wawancara, ia ditemani belasan relawan, termasuk Ruly Achdiat, Felix Halim, dan Elina Tjiptadi.
Apa sebetulnya yang membuat Anda tergerak membangun jejaring relawan?
Motivasi. Semua orang tiba-tiba sungguh-sungguh, serius, dan termotivasi. Saya enggak mulai dengan apa dan bagaimana, tapi kenapa. Waktu itu situasi Indonesia sedang panas. Ada orang yang mencoba mengacak-acak hasil pemilu. Itu bisa bikin chaos dan macam-macam.
Jadi waktu itu Anda ikut panas juga?
Yang membikin saya panas dan akhirnya termotivasi, itu karena melihat sebuah organisasi, yang katanya islami, mengklaim mewakili agama saya, di bulan suci agama saya, mengatakan hasil quick count salah. Mereka mengklaim punya data riil dan mereka menang. Itu bikin darah saya mendidih karena saya tahu persis itu bohong. Jadi saya melihat itu sebagai jihad untuk mencegah nama baik agama saya agar tidak tercoreng oleh kedustaan.
Anda kok membawa-bawa agama terus?
Dalam Islam, sependek yang saya ketahui, ada hadis yang berkata bahwa orang beriman mungkin berdosa dengan mencuri, membunuh, dan berzina. Tapi orang beriman tidak mungkin berbohong. Jadi, kalau sampai ada orang mengaku Islam tapi bohongnya bisa membuat rakyat Indonesia pecah, bisa membuat konflik, masya Allah.…
Apakah Anda pernah seaktif ini pada pemilu sebelumnya?
Wah, enggak. Istimewa ini.Â
Mengapa Anda memilih beraksi di luar negeri?
Sebenarnya kami ini pragmatis. Kalau memang ada kesempatan di Indonesia yang masuk akal, dengan kehidupan yang oke, ya, kami pulang. Itu bukan masalah besar. Cuma hambatan teknis yang menjadikan saya dan banyak teman lain masih tinggal di luar negeri. Makanya saya selalu bilang kami ini terdampar.
Pemerintah baru melakukan berbagai pembenahan, termasuk di bidang teknologi informasi (IT). Apa saran Anda?
Kalau memang benar mau membenahi, benahilah. Enggak ada politik, enggak ada permainan, enggak ada macam-macam.
Ada saran khusus terkait dengan e-government?
Pembenahan IT bukan cuma teknis, melainkan dimulai dari kebijakan. Soal teknis itu nomor dua. Kalau arsitektur IT-nya belum dibenahi, menurut kami, proyek-proyek IT hanya politik. Kalau seperti itu, kami enggak ikut-ikutan.
Konkretnya, usul Anda seperti apa?
Kami mengusulkan ada chief information officer yang membawahkan semua aturan dan kebijakan berkaitan dengan teknologi informasi di semua departemen, badan, lembaga, atau institusi negara. Kita enggak punya orang seperti itu sehingga banyak lingkaran yang tidak terkoneksi. Kalau seperti itu terus, tidak akan pernah beres.
Siapa yang layak menjadi chief information officer?
Jika presiden terlalu tinggi, tunjuk satu orang dan buat institusi. Dari situ, data disatukan, misalnya data wajib pajak akan terkoneksi dengan Badan Pertanahan, Samsat, dan lain-lain. Maka setiap wajib pajak bisa diketahui kepemilikan tanah, aset, utangnya apa saja, pajaknya sudah bayar atau belum, itu terbaca semua.
Apakah usul itu sudah disampaikan kepada pemerintah?
Kami bertemu dengan Tim Transisi dan menjelaskan konsep ini. Tapi, yang membuat kami kecewa, konsultan IT mereka mengarahkan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Menkominfo enggak punya legalitas seperti itu.
Lalu apa yang akan dilakukan dengan kawalpemilu.org?
Kami dikontak seorang programmer di Belanda. Dia membuat kawalC1.org yang menggunakan handwriting recognition untuk membaca dan memasukkan data C1. Tapi, karena tulisan orang Indonesia sangat khas, komputer banyak salah baca. Nah, data tulisan tangan yang ada di Kawal Pemilu kami berikan dan digunakan untuk mempelajari tulisan tangan orang Indonesia. Sekarang tingkat akurasinya sampai 80 persen. Kalau kami jadi membuat Kawal Pilkada, rencananya akan pakai teknologi ini.Â
Setelah sukses mengawal pemilu, Anda berpikir membuat perusahaan?
(Ainun meminta Elina Tjiptadi mewakili menjawab.)
Yang menyatukan kami itu semangat kerelawanan. Kalau ini jadi NGO atau perusahaan, semangat kerelawanan bisa hilang. Kami enggak lagi disatukan oleh semangat yang sama. Tapi kami sepakat grup di Facebook tidak dibubarkan. Misalnya nanti ada situasi yang memerlukan crowdsourcing lagi, kami perlu relawan lagi, kami bisa menggunakan 700 orang itu lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo