Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Onno W. Purbo,
Pakar Teknologi Informasi
Semangat mengawal cita dan idealisme tampaknya masih menjadi bagian tak terpisahkan dari jiwa sebagian anak muda Indonesia. Yang menakjubkan, mereka berkiprah tanpa sedikit pun berharap balas jasa, termasuk insentif finansial. Dampaknya pun kian terasa masif ketika mereka bergotong-royong alias melakukan crowdsourcing.
Kiprah para pemuda itu lebih mencuat ketika mereka memakai teknologi informasi atau Internet sebagai wahana. Prosesnya pun menjadi transparan, efisien, akurat, dan sangat murah.
Pada Pemilihan Umum 2014, banyak situs muncul untuk mengawal keabsahan hasil pemilihan. Sebut saja c1yanganeh.tumblr.com; kawal-suara.appspot.com; kawalpilpres.appspot.com; realcount.herokuapp.com; j.mp/hitungpilpres2014; rekapda1.herokuapp.com; caturan.com; bowoharja.biz; dan cross-check.herokuapp.com
Yang paling fenomenal tentu saja kawalpemilu.org yang dimotori Ainun Najib. Hanya empat hari setelah penyelenggaraan Pemilu Presiden 2014, pada 13 Juli, sistem crowdsourcing situs kawalpemilu.org dibuka untuk relawan.
Kita masih ingat, pada 11 Juli 2014, Ruli Manurung membuat tulisan mengenai crowdsourcing untuk data entry formulir C1 yang diunggah ke Google Docs dan Facebook. Tulisan dosen ilmu komputer Universitas Indonesia itu tampaknya telah menjadi salah satu pemicu aksi Ainun Najib dan kawan-kawan.
Proses digitalisasi formulir dari sekitar 470 ribu tempat pemungutan suara di seluruh Indonesia pun dimulai. Dalam hitungan jam, 500 orang mendaftar sebagai relawan. Berkat jasa mereka, 17 ribu formulir C1 bisa diproses dalam beberapa jam. Wajar saja jika dalam lima hari kawalpemilu.org bisa menyelesaikan entry data formulir C1 di atas 95 persen.
Dibantu 700 relawan, Ainun Najib dan kawan-kawan sukses mewujudkan transparansi pemilu. Situs kawalpemilu.org lalu mencatat hampir tiga juta page view sejak keberadaannya diangkat media pada 14 Juli 2014. Itu prestasi luar biasa. Hebatnya, semua itu dilakukan hanya dengan modal US$ 54 atau sekitar Rp 640 ribu. Biaya itu hanya untuk membeli domain dan hosting server.
Aksi gotong-royong para pemuda itu dimungkinkan karena Komisi Pemilihan Umum menerapkan ide open data. Komisi Pemilihan memberikan akses yang sepenuhnya terbuka terhadap hasil scan formulir C1, rekap DA1, dan rekap DB1 di situs scanc1.kpu.go.id. Dengan mengotomatisasi pengunduhan data C1 dan pengenalan citra, proses pemasukan data ke kawalpemilu.org pun menjadi sangat cepat.
Sebetulnya relawan teknologi informasi telah berkiprah sejak Pemilu 2004. Waktu itu ada 17 ribu operator IT yang bekerja, dari mahasiswa sampai guru sekolah menengah kejuruan. Oleh anggota KPU, Chusnul Mar'iyah, mereka disebut pasukan "jin" Basuki Suhardiman.
Khalid Mustafa, guru SMK asal Makassar yang baru berumur 27 tahun, merupakan satu dari 17 ribu operator IT yang bekerja "rodi" untuk menyukseskan Pemilu 2004. Pada Minggu, 11 April 2004, Khalid berkeliling ke semua kecamatan di bawah tanggung jawab dia.
Semangat Khalid terbaca di mailing list [email protected]. Pada Sabtu, 10 April 2004, pukul 18:36, dia menulis:
"Abaikan saja segala sorotan dan suara-suara sumbang yang menyoroti kerja kita semua…. Ini adalah momen pendidikan yang amat langka bagi kita semua."
Di luar hiruk-pikuk pemilu, pengawalan pembangunan justru menuntut ketahanan dan stamina yang jauh lebih tinggi. Maklum, jangka waktunya lebih panjang, bisa sampai bertahun-tahun. Beruntung, ada banyak pula pejuang atau relawan berbasis IT yang mengawal pembangunan di Indonesia.
Di bidang pendidikan, misalnya, kita mengenal Ainun Chomsun, yang dibantu ratusan relawan menggerakkan @akademiberbagi. Mereka memberikan seminar gratis mingguan di banyak kota. Ada juga Dadang @raihanteknologi, yang menyelenggarakan GalowIT sampai dua kali per bulan, dengan peserta 500-1.500 orang.
Contoh lain Andri Johandri, yang turun ke berbagai SMK memberikan workshop cara membuat TV gratis di Internet via streamingrakyat.org. Rekan-rekan @relawantik dan @internetsehat juga aktif berjuang membangun budaya melek IT dan kebebasan berekspresi di Internet. Ada pula @desamembangun, yang berjuang mewujudkan 70.000+ Desa Melek IT (DeDeMIT).
Transparansi dan kejujuran anak-anak muda itu tentu saja menjadi momok bagi yang ingin menang pemilu dengan cara licik dan mereka yang ingin menggerogoti proses pembangunan. Akibatnya, anak-anak muda tak jarang menjadi target fitnah, hujatan, cacian, dan bahkan serangan. Padahal para "pejuang" belia itu telah mengorbankan banyak waktu, tenaga, dan pikiran. Dan, untuk semua pengorbanannya itu, mereka tak menuntut balasan apa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo