Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Sang Penggerak dari Teluk Benoa

Mereka adalah anak-anak muda yang berbicara tentang lingkungan yang terancam rusak. I Gede Ari Astina alias Jerinx menjadi salah satu motor yang bersuara lantang menyuarakan bahaya hilangnya pantai dan budaya lokal akibat reklamasi Teluk Benoa, Bali. Dia menggerakkan mereka yang bertato di sekujur tubuh hingga yang suka musik cadas. Dari yang tiap hari bergulat dengan diktat di kampus hingga pemuda yang tumbuh di pelosok desa.

15 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anak Punk Penentang Reklamasi
Jerinx menggerakkan anak muda untuk bersuara keras menolak reklamasi Teluk Benoa, Bali. Mereka gigih, kreatif, dan sukarela.


OGOH-ogoh lelaki berkemeja putih dan bercelana hitam diarak di Lapangan Renon, Denpasar, Bali. Rambutnya gimbal dan dua tangannya digembok. Di pinggangnya terselip uang. Boneka kala ini menjadi maskot parade budaya menolak reklamasi Teluk Benoa, Bali, yang diikuti ratusan anak muda pada Jumat pekan keempat November lalu. Mereka tergabung dalam relawan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali). Ogoh-ogoh menjadi simbol sifat jahat yang harus disingkirkan.

Dari Lapangan Renon, mereka berjalan menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sembari berjalan, mereka bernyanyi. "Bangun Bali, tolak reklamasi! Sayang Bali, tolak reklamasi!" Di antara ratusan orang ini, ada I Gede Ari Astina alias Jerinx, penggebuk drum band punk asal Bali, Superman Is Dead (SID). Pria kelahiran Kuta, 10 Februari 1977, ini mengenakan kaus putih tanpa lengan. Seperti yang lain, lulusan Sastra Inggris Universitas Pendidikan Nasional Denpasar ini bersemangat memanggul ogoh-ogoh.

Setengah perjalanan menuju kantor DPRD Bali yang berjarak sekitar 1 kilometer, rombongan relawan berhenti dan melakukan orasi. Kemudian mereka meneruskan perjalanan ke halaman gedung DPRD. Lalu mereka bergerak ke depan kantor gubernur. Di sini, Jerinx berorasi selama setengah jam. Ia mengajak relawan terus bersemangat menolak reklamasi Teluk Benoa. Sebab, reklamasi akan merusak lingkungan dan budaya Bali. "Jangan menyerah. Tolak reklamasi Teluk Benoa," katanya.

Parade ini merupakan kegiatan pengerahan massa untuk kesekian kali dari ForBali. Teluk Benoa telah lama diincar investor. Bisnis wisata merupakan primadona Bali, dan Teluk Benoa jadi sasaran pengembangannya. PT Tirta Wahana Bali Internasional mendapatkan hak pengelolaan seluas 838 hektare. Kawasan Teluk Benoa meliputi kawasan mangrove seluas 1.373 hektare dan luas laut di dalam teluk 1.400 hektare. Desa adat Tanjung Benoa, Tengkulung, Bualu, Jimbaran, Kedongan, Kelan, Tuban, dan Serangan masuk kawasan ini.

Pada Juli tahun lalu, terbit Surat Keputusan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika yang memberi izin hak pengelolaan dan pengembangan perairan Teluk Benoa. Dalam surat itu tidak disebut reklamasi, tapi daratan pulau penyangga. Koordinator ForBali, Wayan Gendo Suardana, mengatakan pulau penyangga itu sama artinya membangun pulau baru. "Itu mereklamasi laut," ujarnya. Gendo adalah Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan. Dia aktivis mahasiswa pada 1990-an. Gendo bersahabat dengan Jerinx. Kepadanya, lelaki bertato itu banyak belajar dunia aktivis.

Surat gubernur itu disambut dengan reaksi dalam bentuk demonstrasi besar-besaran di lokasi Teluk Benoa. Aksi ini yang membuat Jerinx mendapat inspirasi menuliskan lagu berjudul Bali Tolak Reklamasi. Dia menggubah mars ForBali ini di lokasi demonstrasi agar mendapatkan jiwanya.

Pejabat daerah tersentak oleh aksi ini. Keesokan harinya, ForBali diundang Mangku Pastika untuk berdialog. Debat sengit dan adu argumentasi terjadi. Sang Gubernur akhirnya mencabut surat keputusan tentang Teluk Benoa yang pernah dibuat. Dia mengumumkan pencabutan itu persis pada peringatan Kemerdekaan 17 Agustus 2013. "Kami menerima saran, pendapat, dan kajian ilmiah dari tim hukum pemerintah Bali," kata Mangku Pastika.

Belum juga reda panasnya penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa, terbit Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Juli 2014. Peraturan ini berisi tentang tata ruang Denpasar, Bangli, Gianyar, dan Tabanan atau Sarbagita. Salah satu poin dalam peraturan ini adalah mengubah peruntukan perairan Teluk Benoa dari kawasan konservasi menjadi zona budi daya yang dapat direklamasi hingga maksimal 700 hektare. "Kami sudah melakukan konsultasi publik, baik dengan pihak yang menerima maupun yang menolak," ujar Sekretaris Kabinet ketika itu, Dipo Alam.

Komisaris PT Tirta Wahana Bali Internasional Leemarvin Lieano dalam diskusi publik "Reklamasi untuk Siapa?" di Wisma Perwakilan Pemerintah Provinsi Bali, Jalan Cikini Raya II, Jakarta Pusat, September lalu, menyebutkan revitalisasi Teluk Benoa akan menguntungkan banyak pihak. Sebab, revitalisasi dapat meningkatkan sektor pariwisata Bali dengan tetap menjaga lingkungan hidup dan budaya. "Kami tidak ingin pro dan kontra, dan kami membuka diri," kata Leemarvin.

Lahirnya payung hukum baru membuat ForBali makin gencar menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Mereka bekerja dengan membagi diri ke beberapa divisi. Wayan Gendo mengatakan ForBali sadar bahwa gerakannya tidak didukung uang berlimpah. Mereka berbekal idealisme orang-orang dari berbagai latar belakang.

Yang musikus dan seniman masuk divisi populer. Aktivis LSM berhimpun di divisi politik. "Ada juga divisi teknis dan divisi hukum," ucap Gendo. Di ForBali, antara lain, berhimpun Walhi, Frontier Bali (organisasi ekstra-kampus Front Demokrasi Perjuangan Rakyat Bali), Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Hindu Indonesia, SID, dan grup musik Nosstress.

Jerinx masuk divisi media sosial karena pengikut akun Twitter-nya banyak. Kini dia punya 337 ribu follower. Jerinx mengajak kawan-kawannya sesama musikus untuk bergabung. Di antaranya band Navicula, Devildice, Ganjil, dan Nymphea. Dalam gerakannya, mereka mengumpulkan donasi dengan membuat aneka barang suvenir. Twice Bar di Kuta dan toko baju Rumble di Ubud milik Jerinx menjadi tempat menjual suvenir untuk donasi ForBali.

Twice Bar menjadi tempat mangkal anak muda yang peduli pada Teluk Benoa. Gagasan ForBali dituangkan lewat cara-cara gaul ala anak muda. Misalnya lewat musik, seni lukis, mural, spanduk, poster, dan media sosial. Mereka juga membuat klip video, konser musik, dan sejenisnya. "Segala cara kreatif kami lakukan," tutur Jerinx.

ForBali juga membangun jaringan dengan sesama pihak yang menentang reklamasi Teluk Benoa di sejumlah kota. Ada relawan dari Jakarta dan Surabaya. Mereka punya kontak di Yogyakarta. Ketika manggung di banyak tempat, Jerinx hampir selalu menyanyikan lagu Bali Tolak Reklamasi.

Tak hanya di Pulau Dewata, aksi perlawanan juga dilakukan di Jakarta. Januari lalu, ForBali menggelar demonstrasi di depan Istana Negara. Mereka juga telah mengadu ke Ombudsman Republik Indonesia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Tidak mengenal putus asa, mereka berjanji akan terus melawan. Seperti kata Jerinx, "Kami akan terus berjuang sampai rencana reklamasi Teluk Benoa benar-benar batal."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus