Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bul kukus ngalun ka manggung
Nyambuang ka awang-awang
Mugi dugi ka sanghiang
Amit ampun nya paralun(Mengepullah asap pedupaan, naik perlahan
Menyebar ke angkasa raya
Semoga sampai ke sang dewa
Mohon ampun dan maafkanlah)
Asap setanggi masih mengepul dari pedupaan di ruang rias grup kesenian jaipongan Batujaya. Seorang sinden melantunkan Kembang Gadung—inilah tembang pembukaan sebelum keriaan itu digelar, sekaligus menjadi ritual penghormatan kepada Sanghyang dan roh leluhur. Lagu ini selalu dinyanyikan sebelum pertunjukan jaipongan dimulai.
"Kalau lagu bubuka (pembuka) Kembang Gadung tidak dinyanyikan, entah kenapa, ada saja yang kesurupan," kata Ujang Bei, pemimpin grup Primadona Jaipong Karawang, kepada TEMPO. Itu sebabnya, meski sinden (penyanyi wanita), nayaga (pemain musik), dan bajidor (tamu lelaki yang ikut menari sambil menyawer uang untuk sinden) beragama Islam, Kembang Gadung, yang pekat oleh "atmosfer" Hindu dan Sunda Wiwitan, menjadi lagu wajib seniman jaipongan. "Kami muslim, tapi tetap menghormati tradisi karuhun," ujar Bei.
Lagu Kembang Gadung boleh dikatakan salah satu cermin dari puncak pergumulan toleransi dan perpaduan antar-religi di Karawang yang berlangsung lebih dari 20 abad. Masih ada sejumlah contoh lain. Di Karawang—wilayah yang dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat—masih banyak petani menyuguhkan sesajen ancak (aneka makanan) di pematang sawah, unur, atau lemah duhur (tanah tinggi). Bagi petani, ancak disuguhkan untuk dewi padi, Dewi Sri.
Hal serupa terjadi pada saat ziarah kubur yang kerap diselipi ritual sesajen, atau upacara Hajat Bumi menjelang musim menanam padi, serta nadran (pesta laut) di awal musim melaut. Dan pengaruh ini bukan tidak diserap oleh penganut Islam. Berjarak 50 kilometer sebelah timur Jakarta, Karawang juga menyajikan rupa-rupa "menu" yang intinya toleransi beragama.
Umpamanya, ada umat Buddha yang menyelenggarakan muludan (maulid Nabi Muhammad SAW), warga keturunan Cina beragama Kristen yang masih memuja roh para leluhur, serta gereja yang mendendangkan kidung Sunda. Semua ini dijalankan sebagai tradisi turun-temurun.
Keunikan kultur Karawang itulah yang membuat sejumlah peneliti berlomba menguak tabir yang menyelimutinya. Langkah awal dilakukan peneliti asing yang mengupas sisi-sisi budaya, sejarah, dan arkeologi, seperti N.J. Krom, H. Kern, dan Jean Boisselier. Lantas dilanjutkan ahli filologi-arkeologi dari Indonesia, seperti R.M.Ng. Poerbatjaraka, R.M. Sutjipto Wirjosuparto, R.P. Soejono, Hasan Djafar, Ayatrohaedi, Edi Sedyawati, Edi S. Ekadjati, dan R. Cecep Eka Permana.
Pertanyaan besar muncul sejak 1950-an tatkala untuk pertama kalinya ditemukan tiga buah arca Wisnu, I, II, dan III, di sejumlah lemah duhur alias tanah tinggi yang terbuat dari bahan bata—setelah digali, ternyata itu kompleks percandian—di Kecamatan Cibuaya. Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia melanjutkan penelitian terhadap situs Cibuaya pada 1984. Saat itu mereka mendapat kabar dari penduduk yang melihat ada kesamaan struktur lemah duhur Cibuaya dengan unur di Kecamatan Batujaya. "Batujaya ternyata lebih heboh. Lemah duhur-nya amat banyak," kata arkeolog Universitas Indonesia, Hasan Djafar.
Dari hasil penelitian yang dilakukan sejak 1985 sampai saat ini, situs Batujaya, yang sebarannya meliputi Kecamatan Batujaya dan Pakisjaya, memiliki tidak kurang dari 24 candi. Dari 24 candi yang telah disurvei, baru 11 candi yang diteliti dan digali secara intensif.
Penemuan candi yang luasnya mencapai ratusan hektare di Provinsi Jawa Barat tersebut sekaligus menggugurkan pendapat bahwa kompleks percandian hanya berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain situs Cibuaya dan Batujaya, di Jawa Barat ditemukan candi di situs Binangun (Pamarican), Pananjung (Ciamis), Batu Kalde (Pangandaran).
Bahkan bisa jadi, "Cibuaya dan Batujaya merupakan kompleks percandian tertua di Pulau Jawa," kata Hasan Djafar. Alasannya, candi-candi itu berhubungan dengan Kerajaan Tarumanagara, yang berkuasa pada abad ke-5-7 Masehi. Meski begitu, ada pula penemuan arkeologis masa awal Kerajaan Galuh, abad ke-8-9 Masehi. Dengan demikian, pada masa lampau, Karawang pernah dijadikan pusat keagamaan (religious-center), "Sekaligus kota suci bagi penganut Hindu, Buddha, dan animisme-dinamisme," Hasan melanjutkan (lihat Tanamlah Pohon yang Bisa Dituai).
Dari hasil penggalian dan pengkajian, para arkeolog kemudian menemukan hal yang unik. Ternyata kompleks percandian Cibuaya lebih memperlihatkan ciri keagamaan bercorak Hindu, yang dibuktikan dengan hadirnya arca Wisnu. Sedangkan kompleks percandian Batujaya memperlihatkan ciri keagamaan yang bersifat Buddhis, seperti ditemukannya votive tablet bergambar relief Buddha, fragmen prasasti terakota berisi mantram agama Buddha dengan huruf Pallawa berbahasa Sanskerta.
Di Cibuaya dan Batujaya juga ditemukan menhir, "Sebagai agama prasejarah bersifat animisme-dinamisme," kata Hasan. Dari situ dia melontarkan kesimpulan, betapa masyarakat Karawang tidak hanya memiliki semangat toleransi, tapi juga mampu menyerap budaya luar, sehingga mengakar menjadi jati diri dan kultur khas Karawang. Singkat kata, "Pada masa yang bersamaan dengan Kerajaan Tarumanagara, di Karawang hidup tiga agama yang berdampingan secara harmonis," kata Hasan.
Sikap terbuka masyarakat dalam menerima kedatangan agama-agama baru di Karawang juga berlangsung pada masa-masa sesudahnya. Petilasan Syekh Hasanuddin Quro di Desa Pulo Kalapa, Lemah Abang, menunjukkan penerimaan yang baik dari warga Karawang terhadap agama Islam. Syekh Hasanuddin Quro dikenal sebagai pendiri pesantren tertua di Karawang dan Jawa Barat, pada 1416.
Suasana damai juga dirasakan umat Buddha yang mendirikan Wihara Sian Jin Kupo pada 1770 dan Wihara Bio Kwan Tee Koen pada akhir abad ke-19. Begitu pula umat Nasrani yang pada 1899 mendirikan Gereja Kristen Pasundan Jemaat Immanuel.
Karena kebiasaan masyarakatnya yang masih menjalankan ajaran karuhun, amat wajar kalau umat Islam Karawang lebih memilih Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaannya. "NU kan ahlussunnah wal jamaah, masih membolehkan kami memakai pedupaan," kata Catari, seorang warga Desa Pulo Kalapa.
Menyadari daerahnya memiliki sejumlah rumah ibadah tertua serta menjadi embrio penyebaran agama-agama besar, Pemerintah Kabupaten Karawang berupaya memberikan perhatian besar terhadap aspek harmoni beragama di wilayah tersebut. Memang pada 1997 sempat terjadi kerusuhan sosial bermotif sentimen keagamaan. Bahkan saat ini pun mulai masuk aliran keagamaan yang mereka nilai "keras" dalam penyebaran ajarannya.
Namun hal itu dengan cepat diredam oleh semua tokoh agama dengan membentuk wadah Forum Umat Karawang. "Percikan kecil permasalahan agama segera dikomunikasikan," kata Ketua Forum Umat Karawang, K.H. Muhammad Abbas. Bupati Karawang Achmad Dadang, yang dalam beberapa kesempatan juga turun tangan secara langsung, selalu menekankan agar warganya mencontoh suri teladan para tokoh penyebar agama di Karawang, seperti Syekh Hasanuddin Quro. "Masyarakat Karawang adalah masyarakat yang agamis," ujar Achmad Dadang.
Sedangkan untuk merawat dan melestarikan bekas bangunan pusat peribadatan yang amat bersejarah itu, "Kami mengarahkan pengembangan pariwisata yang berbau agama," kata Wakil Bupati Karawang Shalahuddin Muftie. Pemerintah Karawang menjamin tidak akan mengganggu situs-situs dan pertanian, yang sebagian besar berada di bagian utara, kendati hal ini berarti amat mungkin pemerintah daerah itu harus bertarung dengan berbagai kepentingan industri—yang memang berkembang di wilayah tersebut. Jadi, bagaimana perlindungan warisan sejarah itu akan dilakukan?
Khusus untuk kawasan percandian, "Tanahnya steril, sudah dibebaskan, dan kami lindungi." Malah Wakil Gubernur Jawa Barat Bidang Pemerintahan, Mochammat Husein Jachjasaputra, telah menyerahkan sertifikat untuk situs Batujaya seluas 1.495 meter persegi. Di tanah tersebut kini sudah berdiri gedung penyelamatan benda cagar budaya situs Batujaya.
Celakanya, ketika para arkeolog sedang mengungkap misteri peradaban masa lampau di kedalaman satu sampai tiga meter di perut bumi Karawang, saat ini diam-diam PT Pertamina melakukan uji seismik untuk mendapatkan minyak. Setidaknya 200 ribu titik dari 15 kecamatan dan 305 desa sedang disurvei.
Dari uji seismik, Pertamina dalam waktu dekat akan melakukan pengeboran di Kecamatan Pakisjaya. "Ternyata titik yang terbaik untuk pengeboran sekitar dua kilometer dari kompleks percandian Batujaya," kata Manajer Hubungan Masyarakat Pertamina Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Barat, Sri Kustini, kepada TEMPO pekan lalu. Seperti halnya Batujaya, Pakisjaya memiliki percandian. Sebelumnya, sejak 1960-an, Pertamina mengeksploitasi minyak mentah Rengasdengklok di Desa Tambak Sumur, Kecamatan Tirtajaya, Karawang.
Khawatir pengeboran mengganggu situs Batujaya, Pertamina berjanji akan berbicara dengan para arkeolog sebelum melakukan pengeboran. "Kami akan mengundang mereka dalam waktu dekat," kata Sri. Dari sana nanti akan terlihat koordinatnya. Kalau lokasi kandungan minyak jauh dari situs candi, pihaknya melakukan pengeboran langsung di lokasi (directional drilling).
Namun, bila kandungan minyak tepat berada di sekitar situs candi, lokasi pengeboran digeser ke tempat yang aman dengan teknik horizontal miring (horizontal drilling). Bagaimanapun, kata Sri, pengeboran tidak dapat dihentikan, mengingat minyak masih menjadi andalan devisa negara. Meski begitu, dia menyadari situs harus dipertahankan.
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Jabotabek, R. Cecep Eka Permana, menyambut baik langkah Pertamina tersebut. Mengingat di Batujaya dan Pakisjaya terdapat kepentingan yang berbeda tapi saling membutuhkan, dia berharap segera dilakukan pengkajian yang komprehensif. "Ini bukan sekadar jarak yang tidak jauh, tapi dampak kawasan industri terhadap nasib situs," kata Cecep.
Seperti sebuah dunia kecil yang terus bertahan pada warisan masa silamnya, Karawang yang pernah "meleburkan" lima agama dalam sebuah persemaian itu mampu menyerap sikap harmoni beragama yang diajarkan para leluhurnya dalam rupa-rupa detail kehidupan. Di Karawang, nyanyian Sunda ditembangkan di dalam gereja, lagu beratmosfer Hindu dinyanyikan sinden muslim, dan umat Buddha sibuk menyiapkan perayaan maulid: sebuah oasis di tengah kawasan pantai utara yang riuh oleh industri dan perniagaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo