Lonceng berdentang di Gereja Kristen Pasundan Immanuel, Karawang. Sejurus kemudian, dari dalam aula gereja terdengar alunan tembang berbahasa Sunda. Lagu pengiring pesta pernikahan? ”Bukan, ini lagu-lagu kebaktian,” kata Vikaris Andris Suhanda. Nyanyian peribadatan itu adalah kreasi perpaduan rohani dan seni umat Kristen jemaat Immanuel yang tersusun secara berkesinambungan selama satu abad dalam buku Kidung Kabungaan.
Masuknya ajaran Kristen di Karawang bersamaan dengan kehadiran bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-18. Untuk melayani umat, mereka mendirikan Gereja Kristen Pasundan (GKP) Immanuel pada 1899. Melihat penerimaan masyarakat Karawang ramah dan elok, para pendatang asing ini pun mulai menyerap nilai-nilai religi dengan kultur setempat. Hasilnya? ”Persebaran Injil berlangsung harmonis, indah bagai seni goyang Karawang,” ujar Andris. Dengan lain kata, kendati sebagian besar warga Karawang pemeluk muslim, mereka tak menolak kehadiran agama Kristen.
Semangat toleransi beragama di Karawang bukan cuma dinikmati umat Kristiani, tapi juga oleh agama-agama besar yang memasuki kawasan tersebut sejak berabad-abad lampau. Tersebutlah 4.000 tahun silam, pantai utara Jawa Barat, Jakarta, dan Banten, termasuk Karawang, adalah daerah perdagangan paling terbuka dan ramai di Pulau Jawa. Para pedagang bertaraf internasional mengalir ke sana dari daratan Asia, terutama India dan Kamboja.
Pada masa itu, penduduk setempat menganut ajaran leluhur animisme-dinamisme. Beberapa menhir (batu tegak) menjadi buktinya. Meski begitu, mereka menghormati para pedagang yang menganut agama ”asing” itu. Alhasil, Karawang pun menjadi persemaian awal yang subur bagi agama-agama baru tersebut. Daerah yang subur dengan Sungai Citarum yang lebar juga menjadi daya tarik bagi para pendatang itu untuk berdiam dan berdakwah di sana. ”Pedagang asing membawa agama Hindu dan Buddha ke Karawang,” kata arkeolog senior Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, R.P. Soejono.
Agama dan kultur baru inilah yang kemudian memperkaya kebudayaan Karawang. Puncaknya pada peradaban Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 hing-ga ke-7 Masehi, terutama pada masa Raja Purnawarman. Bukti-bukti mulai terkuak sejak para arkeolog menemukan dan menggali unur atau lembah duhur (tanah tinggi) di kawasan Cibuaya dan Batujaya.
Di sana mereka menemukan lebih dari 20 sisa bangunan candi dari bahan bata. ”Kompleks percandian tertua di Pulau Jawa dan menjadi kota suci masa silam,” kata arkeolog Universitas Indonesia, Hasan Djafar. Kompleks percandian Cibuaya lebih memperlihatkan ciri keagamaan bercorak Hindu, dengan ditemukannya tiga buah arca Wisnu terbuat dari bahan batu. ”Sedangkan kompleks percandian Batujaya memperlihatkan ciri keagamaan bersifat Buddhis,” kata Hasan.
Temuan tersebut sinkron dengan laporan pengelana Cina, Fa-Hsien, pada tahun 412-413 Masehi. Menurut Fa-Hsien—yang disebut-sebut sebagai sejarawan Tarumanagara—di Ya-va-di (Pulau Jawa) sedikit sekali terdapat penganut Buddha. Fa-Hsien juga menyebut adanya agama ”kotor”, yang dipersepsikan sebagai agama ”asli” dengan tradisi prasejarah sebelum masa Tarumanagara.
Uniknya, kemunculan Kerajaan Tarumanagara tidak menghilangkan tatanan kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat yang bercorak animisme-dinamisme. Bahkan latar kehidupan masyarakat asli itu telah melandasi kehidupan Tarumanagara pada masa proses akulturasi dan berkembangnya pengaruh kebudayaan India. ”Menakjubkan. Pada masa yang sama, di Tarumanagara hidup tiga agama sekaligus secara harmonis,” kata Hasan.
Sejarah mencatat, kejayaan Tarumanagara hanya bertahan sampai abad ke-7. Penyebabnya diduga keras akibat dikuasai Kerajaan Sriwijaya. ”Bumi Jawa (Tarumanagara) dinilai tidak berbakti pada Bumi Sriwijaya,” ujar Hasan mengutip Prasasti Ciampe, Bogor (tahun 894). Setelah itu, di Jawa Barat muncul dua kerajaan besar. Di sebelah barat Sungai Citarum tegak Kerajaan Sunda di Bogor, dan di sebelah timurnya Kerajaan Galuh di Ciamis.
Bagaimana dengan nasib kompleks percandian di Karawang? ”Rupanya masih terus dipakai.” Indikasinya, dari segi arsitektur pada kedua kompleks candi ada tanda-tanda perluasan, penambahan, dan perubahan. Namun, seiring dengan pesatnya endapan lumpur dan aluvial dari selatan Karawang melalui Sungai Citarum, tanah di sana pun cepat meninggi. Maka Candi yang terbuat dari bata itu terpendam.
Ketika TEMPO menyambangi Batujaya empat pekan silam, kaki Candi Jiwa dan Candi Blandongan berada pada posisi dua meter di bawah permukaan lahan persawahan, ”Manusia masa lampau sudah berupaya menyelamatkan tanah sucinya, namun alam pula yang memendam percandian.”
Karakteristik masyarakat yang terbuka juga membuat agama Islam diterima di Karawang—disimbolkan oleh kehadiran pesantren yang didirikan seorang ulama asal Campa, Syekh Hasanuddin, pada 1416 Masehi. Kemahirannya menghafal dan mengajarkan ilmu Al-Quran membuat Hasanuddin dijuluki ”Syekh Quro,” kata Oyo Saryo, juru kunci makam Syekh Quro di Kampung Pulo Bata, Lemah Abang, Karawang.
Salah seorang santri wanita Syekh Hasanuddin Quro adalah Nyi Mas Subang Larang. Dia putri Mangkubumi Singapura Nagari, Cirebon, bernama Ki Gedeng Jumajan Jati. Nyi Subang Larang lantas dikawinkan secara Islam dengan putra Mahkota kerajaan Galuh Purwa Nagari, Prabu Siliwangi, yang sebelumnya beragama Hindu. Nyi Subang Larang dan kedua anaknya, Rakean Walang Sungsang dan Nyi Mas Rarasantang, diyakini sebagai penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Arkeolog Hasan Djafar menilai, perkawinan merupakan salah satu penyebaran ajaran Islam yang cukup efektif. ”Islam diterima dengan jalan damai.” Penyebaran agama Islam dengan mempertahankan kepercayaan karuhun yang dikemas akidah membuat sebagian besar penduduk Karawang beralih keyakinannya kepada agama Islam. Itu sebabnya, tatkala pasukan Sultan Agung dari Mataram Islam hendak menyerbu VOC di Batavia pada 1828-1829, masyarakat Karawang bersedia menjadikan daerahnya sebagai basis pertahanan dan lumbung padi.
Meski penduduk Karawang telah beralih ke Islam, mereka tetap menerima perkembangan agama Buddha yang menjadi warisan leluhur warga setempat. Buktinya, di Tanjung Pura berdiri Wihara Sian Jin Ku Poh. Dibangun pada 1770 oleh tiga pendatang dari Cina daratan bermarga Tse, Kaw, dan Law, agama Buddha terus mekar pada masa itu bersamaan dengan tegaknya Wihara Bio Kwan Tee Koen di Karawang Pusat.
Tidak hanya itu. Agama yang tiba jauh lebih belakangan seperti Kristen dan Katolik pun mereka terima dengan tangan terbuka. Rahasianya? Agama-agama baru ini rupanya mahir menyesuaikan diri dengan kultur masyarakat Karawang yang memadukan semangat keterbukaan, toleransi, akulturasi, menjadi jati diri yang khas ala Karawang.
Tak mengherankan bila lagu-lagu tradisional Sunda sudah hadir dalam upacara kebaktian gereja-gereja Kristen Pasundan sejak seabad silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini