Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pergumulan Menjinakkan Tubuh

Laksmi Shitaresmi, perupa Yogya, menampilkan karya-karyanya di Bentara Budaya, Jakarta. Lukisan tentang dunia tubuhnya.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Telanjang bukan selalu erotis. Sering tubuh mencerminkan ungkapan sebuah kerisauan. Imaji kekerasan justru bisa datang dari buah dada, bukan dari pisau atau bedil. Karya-karya Gusti Ayu Kadek Murni dari Bali, misalnya. Kanvasnya kadang sepenggal ilustrasi sederhana tentang rahim dan janin. Namun lukisannya mengirim suasana kesakitan.

Dari Yogya, muncul sebuah nama, Laksmi Shitaresmi. Perupa nominasi Philip Morris 1997 dan 1999 ini menarik perhatian. Potret dirinya pada 1999-an sering berupa sesosok wanita kurus telanjang. Parasnya tirus, sorotan mata- nya muram, anatominya acap kotor dengan susu menggelayut. Misalnya sebuah karyanya yang berjudul Pengecoh. Pelukis dari keluarga Muhammadiyah itu menampilkan seorang wanita dengan kerudung melambai, bertatap mata kosong, menyeramkan. Kulitnya setengah hijau berputing hitam besar. Tangan kanan memegang keris. Cukup sugestif.

Masa lalunya yang pahit, diakui Laks-mi, 30 tahun, merupakan sumber imaji-imaji suramnya. Dia diusir sejak di SMP oleh keluarganya, bertahan di jalanan, dan membiayai sendiri kuliahnya di departemen seni rupa Institut Seni Indonesia. Dia ingat, tatkala teman-temannya angkatan tahun 1992, seperti Pande Ktut Taman, I Made Sumadiyasa, dan S. Teddy, telah aktif berpameran saat mahasiswa, ia justru bekerja sebagai buruh?dan sama sekali tak bergaul di komunitas kesenian.

"Pada waktu itu saya menjadi buruh keramik. Tiap hari tugasnya mengecat vas atau guci. Rata-rata teman saya tak lulus SD," katanya. Ia pernah mencoba berwiraswasta. Ia membeli peralatan dapur dari kayu seperti enthong (sendok nasi ) atau irus (sendok sayur) di Pasar Ngasem, Yogya, seharga 25 rupiah. Lalu barang-barang itu dihiasinya secara dekoratif. "Setiap hari Saya ke Stasiun Tugu, keluar-masuk dari gerbong kereta satu ke gerbong kereta lain, menawarkan barang itu ke penumpang," ujarnya mengenang.

Berkali-kali ia jatuh sakit, terkapar di kos atau rumah sakit, tanpa keluarganya datang membesuk. Menurut pengakuannya, dalam periode itu ia sangat tersiksa, tertekan keadaan. Ia sering membayangkan tubuhnya terperas, susut sampai ke titik ekstrem. Contohnya Di Balik Jendela Kamarku, karyanya tahun 2000. Seorang wanita, rambutnya gugur, rona wajahnya kering keriput seolah kelenjar keringatnya mati, menatap dari balik jendela bergorden kembang. Di belakangnya padang tandus dengan kaktus. "Saya selalu membayangkan diri saya semakin tua dan tua." Pada masa itu, rumah menjadi sesuatu yang tak nyaman. Sedikit-banyak melukis baginya menjadi proses terapi.

Namun kini pameran di Bentara Budaya menampilkan visualisasi yang berbeda. Tetap wanita bugil, tetap tanpa erotisme. Tapi hawa kepekatan yang misterius itu hilang. Laksmi menampilkan format besar?potret dirinya?yang secara anatomis molek, cenderung imagis. Teknik menggambarnya tidak serumit dulu. Bercak-bercak warna-warna tua yang intens yang dulu harus dikerjakan selama sebulan berganti menjadi sapuan yang cerah, necis. Gambarnya halus dan memiliki perhatian pada pernik. "Saya tenteram setelah berkeluarga dan memiliki anak," katanya.

Seluruh ide visualisasinya bertolak dari kegiatan ibu rumah tangga dan ia menemukan bahwa kehidupan sebagai istri demikian kaya. Ia tak mengangkat tema semacam kekerasan domestik atau patriarki, melainkan keselarasan keluarga. Sehari-hari yang dilakukannya adalah bangun tidur pada waktu subuh, memasak, mengantarkan anak ke sekolah, dan meninabobokannya. Ia menyajikan pelbagai posisi dirinya memeluk anak. Yang tampil kuat adalah permainan tanda di tubuh. Pada visualisasi tubuhnya kini banyak menancap (tanpa darah mengucur) pelbagai benda yang ia temukan tatkala pagi, siang, malam mengurus anak dan suaminya. Dari tubuh cenderung perih karyanya bergeser ke tubuh sebagai medium asosiasi.

Menikmati Beban Hidup, misalnya, menampilkan tubuhnya telanjang duduk meringkuk. Di bagian punggung kanan tertancap timbangan 5 kilogram. "Itu timbangan terberat di pasar tradisional," katanya. Pada karyanya yang lain, sebuah weker melilit di perutnya yang hamil, atau muka penuh dengan gantungan bola mata palsu.

Yang sangat berhasil dan segar justru saat ia geram terhadap politik?sementara susu anaknya semakin mahal. Presiden 2003 adalah sosok berkepala kambing dengan badan gempal, bertangan sebelas, mengenakan kain jarik dan ikat pinggang khas milik Keraton Yogya. Setiap tangannya menggenggam kayon, payung, sampai neraca simbol-simbol ekonomi. "Biasanya dewa itu bertangan sepuluh, tapi saya tambah satu," katanya. Demikianlah pemimpin yang adil dalam imajinasinya. Karya yang cenderung surealis, mengingatkan bahwa surealisme bisa berangkat bukan dari gagasan antah berantah, melainkan dari dunia sehari-hari seorang ibu.

Pada tahun 2000, Laksmi pernah menggambar Tempat Dudukku. Seorang wanita telanjang dengan posisi kaki yang terbuka menampilkan bagian paling vital. Tatapannya nanar, atmosfernya cenderung getir. Apakah setelah menjadi ibu, Laksmi akan berani menyajikan karya seperti ini? "Saya takut," katanya jujur. Ia tidak ingin menampilkan pergolakan privat yang mengganggu ketenteraman batinnya.

Ia mengakui, dirinya belum optimal dan tuntas mengeksplorasi era "traumatis"-nya, yang mungkin bila dikejarnya akan menghasilkan visualisasi yang dahsyat. Tapi ia juga tak ingin gagasan yang mengalir dari dunia rumah tangganya dibuang. Akibatnya, bila tiba-tiba deras muncul imajinasi yang menakutkan dari sisa-sisa masa jalanan itu, ia kini cenderung meredam. Ia menunggu kestabilan psikologisnya. Pergulatannya sekarang adalah pergumulan menjinakkan munculnya "tubuh lamanya" yang berbau horor, dan menyesuaikannya dengan "tu-buh baru"-nya, tubuh yang telah mengasuh anak. "Tidak perlu dilepaskan sekarang, tapi itu saya pendam terus, suatu waktu akan keluar," katanya. Sebuah ketegangan antara keliaran dan kearifan seorang ibu rumah tangga.

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus