Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matahari menyengat ubun-ubun. Dua perempuan muslim berpakaian aneka warna meletakkan sesajen ancak tradisi Hindu di Candi Jiwa bercorak Buddha, Batujaya, Karawang. Ada kelapa muda dengan cungkup telah terbuka, botol kemasan berisi air jernih, serta tiga batang rokok plus kemenyan yang mengepulkan asap. "Sebagai tanda terima kasih kepada Dewi Sri, karena panen lancar," kata salah seorang pemberi ancak, Maemunah, 40 tahun.
Dalam ajaran Islam, sebenarnya tak diperbolehkan penganutnya memadukan unsur kepercayaan satu agama dengan agama lain, karena hukumnya musyrik. "Dan itu masih berlangsung di Karawang," kata Wakil Bupati Karawang, Shalahuddin Muftie. Tapi dia yakin, apa yang dilakukan warganya itu, "Semata hanya sebagai tradisi, terpisah dari ajaran agama."
Ketua I Majelis Ulama Indonesia Karawang, K.H. Muhammad Abbas, mengakui akulturasi tersebut cukup kuat. "Bahkan terjadi pada agama-agama lain," ujarnya. Karena itu, pihak majelis ulama setempat akan lebih intensif memberikan pengertian kepada umat "Pelurusannya butuh proses panjang," kata Abbas. Perbuatan musyrik, kata dia, pada mulanya dimulai oleh proses alami toleransi agama sejak zaman Hindu-Buddha pada abad ke-5 Masehi. "Saking kuatnya toleransi, ada beberapa unsur yang berakulturasi."
Kini, semua agama besar itu hidup berdampingan di Karawang. Cuma, seni penyebaran agama yang menyesuaikan dengan kultur Karawang tersebut kerap terusik oleh sikap segelintir penyebar aliran agama tertentu yang lebih menggunakan jalur cepat dan "keras". Karena itu, tatkala dipicu sentimen keagamaan, sewaktu-waktu bisa meledak, seperti kerusuhan di Rengasdengklok pada awal 1997.
Untuk mencairkan suasana sekaligus memperkuat toleransi, para tokoh agama membentuk Forum Umat Karawang dua tahun lalu. Hasilnya cukup menggembirakan. "Masing-masing berlomba menanam kebaikan di bumi Karawang," kata Abbas. Malahan, kini para pemuka agama sedang mendekati pemerintah, wakil rakyat, kalangan industri, dan masyarakat, agar memberikan dukungan dana untuk pembangunan pura yang representatif.
Suhu agama Buddha dari Wihara Sian Jin Kupo, Kwan Tek Yung, mengakui harmonisnya hidup beragama di Karawang. "Melalui Forum Umat kami saling silaturahmi, sehingga toleransi semakin erat," kata Kwan Tek Yung. Bahkan, dalam acara Muludan (merayakan MauludRed.), pihaknya mengundang sejumlah tokoh agama. "Mereka mendoakan agar pada bulan baik ini, seluruh umat lebih sejahtera," ujarnya.
Hal senada diutarakan vikaris Gereja Kristen Pasundan Immanuel, Andris Suhanda. Dia mengakui tak mengalami kesulitan berarti dalam menyebarkan ajaran Injil di Karawang. Bahkan, kalau terjadi kegentingan atau acara Natal dan tahun baru, "Kaum muslim membantu pengamanan dan lahan parkir," ujarnya.
Kepada umatnya dia selalu mengimbau agar jangan menggelar kebaktian di rumah, bila tidak direspons baik oleh warga sekitar. "Jangan memaksa, nanti menjadi masalah," ujarnya. Namun belakangan ini dia sempat gundah. Rupanya, ada sekelompok aliran agama yang menyebarkan ajarannya tanpa mengindahkan kultur Karawang. "Lebih baik, tanamlah pohon yang buahnya bisa dinikmati," ujar Andris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo