Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

<font color=#336600>Sang Pendobrak </font>dari Tebuireng

Sang pendobrak kejumudan beragama dan benteng terakhir penjaga hak-hak kaum minoritas yang tertindas itu telah berpulang. Wahyu Muryadi, redaktur eksekutif majalah ini, yang pernah mendampingi Gus Dur sebagai Kepala Biro Protokol Istana, bercerita tentang Presiden RI keempat yang ia kenal dari dekat itu.

4 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENATAP wajahnya, saya membayangkan ia hanya tertidur sebentar, seperti kebiasaannya bila berada di dalam mobil yang membawanya berkeliling pesantren atau ke pelosok desa tak beraspal. Tapi hari ini lain. Ribuan orang melantunkan salawat, menangis sesenggukan, bertahan berjam-jam sedari subuh, bertarung melawan panas menyengat langit Tebuireng.

Saya tak hendak membangunkanmu, Gus, seperti sebelum hari ini. Tapi saksikan, Gus, dengarkan tahlil dan tahmid mereka, saat tubuhmu disongsong beramai-ramai, lalu diletakkan di dekat mihrab Masjid Ulil Albab, di kompleks pesantren yang didirikan kakekmu, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, di Jombang, Jawa Timur, Kamis siang pekan lalu.

Seperti kala membantumu di Istana dulu, sekarang pun akan kuceritakan siapa saja yang hadir. Di dalam masjid, menunggu beratus kiai sepuh, yang akan memimpin salat jenazah. Doa keselamatan melantun di udara seperti dengung lebah. Gelombang jemaah yang hendak menyalatimu susah dihentikan. Mereka berdiri memadati ruangan dalam masjid sampai pekarangan. Pengurus masjid kewalahan meminta mereka tak berebut dan main serobot.

Jenazahmu bagai magnet, Gus. Ribuan mata dan perhatian pelayat tertuju kepadamu. Ada Kiai Mustofa Bisri, Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, pemuka beragam lintas agama dan kepercayaan, diplomat asing, dan tentu saja istrimu, Sinta Nuriyah, beserta keempat putri, menantu, dan sejumlah cucumu serta keluarga besar Wahid Hasyim hadir di situ. Mereka semua memberikan penghormatan terakhir dalam sebuah upacara kenegaraan yang dipimpin Presiden Yudhoyono. Hadir pula Wakil Presiden Boediono dan sejumlah menteri. Majelis taklim dan pelbagai organisasi masyarakat berduyun-duyun menyaksikan pemakamanmu, Gus.

Keamanan pun dibikin berlapis-lapis. Selain beratus tentara dari semua angkatan dan polisi, banser dilibatkan. Petugas berderet menjaga gerbang utama pesantren dari serbuan massa yang berhamburan seperti beras tumpah. Teringat pesanmu ketika berhadapan dengan ribuan orang yang ingin sekadar mencium tanganmu, ”Biarkanlah mereka bicara apa saja, biarkan mendekat, saya ingin mendengar keluhan mereka, jangan terlalu berlebihan mengamankan.”

l l l

Kiai Haji Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, Rabu pekan lalu, pukul 18.45, telah pergi dalam usia 69 tahun, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, setelah didera komplikasi ginjal, diabetes, jantung, dan stroke untuk ketiga kalinya. ”Penyumbatan pembuluh darahnya kali ini yang terberat,” kata Profesor Yusuf Misbach, ketua tim dokter beranggotakan tujuh orang dari berbagai spesialis. ”Beliau sempat membaik setelah operasi gigi,” kata dokter Yusuf.

Menjelang lohor, Gus Dur kritis. Presiden Yudhoyono membesuk setelah diberi tahu tim dokter dan menjanjikan ”penanganan medis secara maksimal”. Hanya beberapa menit setelah Presiden pamit, tiba-tiba, Dhohir Farisi, suami putri keduanya, Yenny Wahid, berteriak histeris….

Lalu pecahlah isak tangis di lantai lima rumah sakit itu. Sinta Nuriyah, istrinya, dan ketiga putrinya, Yenny, Anita, dan Inayah, yang tak sempat menjaganya di akhir embusan napas, tak kuasa menahan emosi. Sementara itu, Lisa, putrinya yang tinggal di Yogyakarta, terlambat mendarat dan langsung menuju rumah duka di Ciganjur.

Di Ciganjur, malam itu juga, mantan presiden Megawati dan suaminya, Taufiq Kiemas, yang kini Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, hadir melayat. Presiden Yudhoyono, yang menginstruksikan hari berkabung selama tujuh hari, juga datang ke sana. Sejak saya datang tengah malam hingga jenazah hendak diberangkatkan ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, menuju Jombang, dengan Hercules VIP, gelombang peziarah tiada henti. Salat jenazah pun tak terputus. Di seluruh penjuru Nusantara, dari Sabang, Denpasar, sampai Jayapura, digelar doa bersama lintas agama.

Dalam soal kebebasan berkeyakinan, Gus Dur berada di garda terdepan. Sikap ini konsisten dia jalani, sejak sepulang belajar sastra Arab di Universitas Al-Azhar, Mesir, dan Irak. Di Mesir, oleh Direktur Asrama Mahasiswa Al-Azhar Syekh Abdul Mun’im Faudah, dia dijuluki ”putra asrama mahasiswa yang tumbuh cerdas”. Ia menjadi budayawan serta kolumnis yang produktif, terutama dengan ide ”pribumisasi Islam” yang menepis ide Arabisasi.

Ia siap pasang badan untuk pelbagai tindak anarkistis yang dilakukan gerakan Islam ketika menuntut pembubaran gerakan dan jemaah Ahmadiyah di Indonesia. Seperti nama kecilnya, Abdurrahman ad-Dakhil, atau ”sang pendobrak”, dia pun mendobrak cara penghayatan Islam yang salah. ”Islam bukan ideologi alternatif, tapi harus dilihat sebagai hanya salah satu elemen ideologi yang melengkapi bagian keindonesiaan yang telah terbentuk,” begitu kata Gus Dur.

Hubungannya yang baik dengan jaringan pro-keberagaman yang damai di Israel, sejak 1994, membuatnya berisiko tinggi, dituding antek Yahudi. Ia bersahabat dengan Shimon Peres, Ketua Yayasan Shimon Peres dan kini Presiden Israel, serta sejumlah organisasi di Tel Aviv yang peduli perdamaian.

Risiko tak populer juga ia terima manakala bersahabat dengan pemuka Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, ataupun unsur organisasi kejawen. Gus Dur berani menetapkan Imlek sebagai libur nasional, mengakui agama Konghucu, serta menghidupkan tradisi dan atraksi barongsai. Ia pernah dituduh murtad hanya karena pernah didoakan seorang pendeta untuk kesembuhan matanya. ”Tidak benar saya dibaptis, hanya didoakan saudara kita yang berbeda keyakinan, soal diterima atau tidak, bukan urusan kita,” katanya enteng.

Di kalangan Islam, termasuk NU, Gus Dur juga siap ”tempur”. Jauh hari, sejalan dengan Rais Am NU Kiai Achmad Siddiq, dia tegaskan bahwa bentuk negara Pancasila adalah final. Tak ada negara Islam dan kita pun tak wajib mewujudkannya, begitu ujarnya suatu saat. Ia dianggap mengganti ”assalamualaikum” dengan ”selamat pagi”. Perkara sensitif ini, termasuk keterlibatannya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, membuat dia sampai berhadapan dengan kiai karismatik yang berpandangan konservatif, seperti Kiai Machrus Ali dari Kediri; Kiai Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta; dan Kiai As’ad Syamsul Arifin, Situbondo—yang akhirnya memutuskan untuk mufarraqah, memisahkan diri dari kepemimpinan Gus Dur di NU.

Selain As’ad, kedua kiai sepuh itu bisa memaklumi, dan menerima ”hujjah” Gus Dur. Ia pun akhirnya direstui memimpin NU dan memenangi pemilihan secara demokratis selama tiga periode sejak 1984. Meski perannya tak disukai Presiden Soeharto, dia melenggang di muktamar Krapyak ataupun Cipasung—meski Pak Harto kala itu emoh menjabat tangannya.

Saat Soeharto berkuasa, dia termasuk dalam jagat pengkritik terdepan. Ia pun mendirikan Forum Demokrasi bersama Marsillam Simandjuntak, Todung Mulya Lubis, Rahman Tolleng, dan segenap aktivis prodemokrasi lainnya, walau akhirnya dia ”dipecat” lantaran dianggap bermain-main dengan Cendana—dia mempromosikan Siti Hardijanti ”Tutut” Rukmana, putri Soeharto, untuk memimpin negara.

Soeharto jatuh, Habibie ditolak pidato pertanggungjawabannya. Inilah masa kinclong rekam jejak Gus Dur. Setelah melalui pergulatan yang panjang, didukung Poros Tengah, akhirnya dia memenangi pemilihan presiden yang kala itu ditentukan suara terbanyak di MPR, mengalahkan Megawati, yang partainya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, memenangi pemilihan umum legislatif. Mega akhirnya berduet menjadi wakil presiden. ”Begitu memenangi pemilihan presiden, Gus Dur langsung menemui Megawati agar menenangkan massanya yang mengancam ribut-ribut,” ujar seorang perwira pasukan pengaman presiden. ”Kami pun menyiapkan peci karena presidennya kiai.”

Saat di Istana, Gus Dur menegaskan prinsip pengamanan yang luwes. Pernah suatu kali dia meminta duduk semobil dengan Wakil Presiden Megawati, tanpa pengawalan, ketika hendak bernostalgia ke Istana Batutulis, Bogor. Paspampres panik karena aturan tak membolehkan. Mobil rangkaian mendadak diubah, tapi diakali tetap dikawal polisi dalam jarak satu kilometer tanpa sirene. Presiden Wahid juga pernah meminta semobil dengan Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung ketika hendak mengantar pulang ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

Tamu dan koneksinya luar biasa luas, dari tokoh dan negarawan dunia, pebisnis kelas atas, aktivis dunia, jaringan ulama Timur Tengah, sampai kiai kampung alias kiai teklek. Selama menjadi presiden, dia sudah melawat ke hampir tiga perempat dunia—selain negara Skandinavia dan Rusia. Di setiap Konferensi Tingkat Tinggi, Presiden Wahid tak pernah absen—diselingi makan ”burger” kalau lapar. Soal makan, Gus Dur memang simpel. Ia taat diet, cuma makan sedikit karbohidrat. Nasi digantikan jagung rebus, tapi karena ususnya pernah terganggu, lantas diganti edamame, kedelai impor dari Jepang.

Tapi Presiden Wahid tetap disiplin: dia jalan pagi mengitari Istana saban hari, termasuk ketika melawat ke luar negeri, lalu berlatih di treadmill, sebelum sarapan—yang biasanya sudah dijejali tamu. Jadwalnya terima tamu diawali sejak jalan pagi ”tawaf” Istana, sarapan, hingga larut malam. Sejak kesehatannya menurun, dokter meminta acara diakhiri sebelum pukul sepuluh malam. Tapi dia tetap saja menerima tamu khusus, terutama kiai khos, atau tokoh informal yang sangat dinantikan untuk ”urusan menjaga negara”.

Toh, dia tetap saja rileks dan mengumbar joke. Saat bertemu dengan Presiden Clinton di Gedung Putih, 1999, misalnya, dia tanyakan di mana tempatnya ”bercengkerama” dengan Monica Lewinsky. Bertemu dengan Fidel Castro, pada 2000, dia bertukar humor soal ”hobi presiden”. Di tengah perjalanannya di mana pun, dia selalu minta dibawakan CD musik klasik, terutama Symphony Beethoven No. 9, atau karya Mozart, 20th Piano Concerto, yang diorkestrai Zubin Mehta, atau Herbert von Karajan dari Berliner Philharmonie. Tapi kaset berisi wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo atau Ki Anom Suroto juga tak ditinggalkan, lengkap dengan headphone-nya. ”Beliau justru sedih ketika meninggalkan Istana, banyak keping cakram musik klasik yang hilang,” kata Munib Huna, asisten pribadinya.

Tapi Gus Dur tak mampu mengelola pemerintahannya dengan baik. Hubungannya dengan para petinggi militer, politikus Senayan, juga Golkar memburuk, dipicu pula oleh terpaan ”dugaan skandal” dana Yanatera Bulog, meski sampai akhir pemerintahannya belum pernah dibuktikan di pengadilan. Ia pun dimakzulkan MPR, setelah mengumumkan Dekrit Presiden pada 23 Juli 2001. ”Di republik ini, tak ada satu pun jabatan penting yang harus dipertahankan mati-matian,” katanya kepada saya, sembari makan kedelai Jepang, sebelum meninggalkan Istana Merdeka untuk berobat ke Amerika Serikat.

Sejak itu riwayatnya di pentas politik berakhir defisit. Ia gagal mencalonkan diri menjadi presiden pada 2004. Ia juga kehilangan otoritas sebagai Ketua Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa, yang dideklarasikannya dengan sejumlah kiai pada 1998. Ironisnya, peran itu digusur Muhaimin Iskandar, kemenakannya, yang kini selain memimpin partai itu, menjadi Menteri Tenaga Kerja. Sebelum dengan Muhaimin, Gus Dur berseteru dengan kemenakannya yang lain, Saifullah Yusuf, yang kini Wakil Gubernur Jawa Timur.

Kesehatannya menurun pada 2006. Ia berkali-kali keluar-masuk rumah sakit. Terakhir harus cuci darah seminggu tiga kali. Ia sempat dilarikan ke Rumah Sakit Dr Soetomo, Surabaya, ketika mengeluh lemas, setelah bertandang ke sahabatnya, Kiai Mustofa Bisri atau Gus Mus, dari Rembang, Jawa Tengah. ”Saat itu beliau ngotot minta mampir ziarah ke makam ayahandanya dan kakeknya di Tebuireng,” kata Sulaiman, anggota staf khususnya. Kepada menantunya, Dhohir Farisi, Gus Dur mengaku melihat kuburan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari kotor. Isyaratnya, harus bekerja keras membenahi NU. Sebelum masuk RSCM 26 Desember lalu, Gus Dur minta mampir ke kantornya di gedung PBNU, Kramat Raya, Jakarta, karena ”kangen dengan kursinya itu”.

Isyarat lainnya berupa kabulnya banyak keinginan. Di Rembang, Gus Dur sempat makan nasi mangut, kuah ikan pari yang dibakar bercampur santan. ”Bapak minta disuapin makan kikil sapi dan soto Kudus kesayangannya,” kata Lisa, putri sulungnya. Perut Yenny Wahid yang sedang hamil muda pun tak lupa disentuh sang penggemar Janis Joplin dan Ummi Kultsum ini, dengan pesan agar hati-hati menjaga anak yang dikandung.

l l l

FATIMAH, peziarah asal Jombang, tak bisa masuk saat pemakaman berlangsung. Sehari setelah pemakaman, ia berdoa lirih, lalu mengambil sejumput tanah makam, berikut melati dan mawar merah yang mulai layu. ”Untuk menyembuhkan linu pergelangan tangan saya,” katanya. Muchlizon melakukan hal yang sama. ”Saya ikhtiar untuk anak saya yang lumpuh,” kata peziarah asal Lumajang, yang letaknya sekitar empat jam berkendaraan dari Jombang.

Mereka yakin tuah tanah makam itu akan membantu, seperti banyak orang berharap pada Gus Dur ketika ia masih bersama kita.

Wahyu Muryadi


Abdurrahman Wahid (1940-2009)

Ia anak pertama KH Wahid Hasyim, pemimpin Partai Masyumi dan Menteri Agama di awal kemerdekaan. Kakeknya, KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Bernama asli Abdurrahman ad-Dakhil atau Abdurrahman sang Penakluk, Gus Dur menapaki jejak sang kakek dan ayah: menjadi kiai sekaligus politikus kampiun. Ia pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Presiden RI. Berikut ini gagasan dan langkah kontroversialnya.

4 Agustus 1940
Lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur. Putra pertama pasangan KH Wahid Hasyim dan Solichah.

1963
Memperoleh beasiswa dari Kementerian Agama untuk belajar di Department of Higher Islamic and Arabic Studies Universitas Kairo, Mesir.

1966-1970
Pindah ke Fakultas Hukum dan Sastra Universitas Bagdad, Irak.

1968
Menikah dengan Sinta Nuriyah. Dikaruniai empat anak: Alissa Qotrunnada Munawaroh, Zannuba Arifah Chafsoh, Annita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.

1971
Kembali ke Indonesia. Mulai aktif di berbagai organisasi dan rajin menulis untuk berbagai media nasional.

1972-1974
Dosen dan Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari, Jombang.

1983-1985
Ketua Dewan Kesenian Jakarta.

1984
Mendirikan Pesantren Ciganjur. Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sampai 1999.

1984
Mendorong Nahdlatul Ulama mengeluarkan keputusan bahwa dasar negara Pancasila adalah final.

1987

  • Mengganti salam ”assalamualaikum” dengan ”selamat pagi”.
  • Menawarkan konsep ”pribumisasi Islam”: bagaimana Islam yang berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitas masing-masing.

    1991-1999
    Ketua Forum Demokrasi.

    1991
    Mendirikan Forum Demokrasi sebagai bentuk perlawanan terhadap Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia yang disokong Soeharto.

    1994
    Berkunjung ke Israel. Ia menyarankan pemerintah membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ia kemudian menjadi anggota Dewan Pendiri Shimon Peres Peace Center, Tel Aviv, Israel.

    1998
    Bersama empat kiai menjadi deklarator berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa pada 23 Juli.

    1999
    Terpilih sebagai Presiden RI.

    1999

  • Membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.
  • Mendorong penggunaan nama Papua sebagai ganti Irian Jaya.

    2001
    Mandat sebagai presiden dicabut MPR pada 23 Juli.

    2001

  • Mengumumkan Imlek sebagai hari libur nasional dan mengakui Konghucu.
  • Mencabut PP No. 14 Tahun 1967 yang melarang kegiatan warga Tionghoa.
  • Mengancam mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen.

    DESEMBER 2009
    24 Desember masuk rumah sakit di Jombang, Jawa Timur. 26 Desember masuk Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Meninggal pada 30 Desember pukul 18.45

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus