Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUATEMALA, Jenderal Enrique Monteverde yang sudah tua selalu terbangun tengah malam. Ia senantiasa mendengar isak tangis seorang perempuan. Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil pistol di lemari, dan kemudian, dalam kegelapan, mengendap-endap menuruni tangga menodongkan senjatanya ke seluruh ruang rumahnya. Pada`dinihari, ia juga selalu mendengar air di kamar mandi mengucur tiba-tiba. Ia pun bersigap menembak ke arah bathtub.
Istri Jenderal Monteverde, salah satu mantan jenderal paling berkuasa di Guatemala, menganggap sang suami mengidap alzheimer. Monteverde sendiri merasa menderita somnabulisme atau penyakit tidur berjalan. Ia berjalan-jalan pada malam hari dalam keadaan bermimpi. Ia mengaku tak sadar.
Hari-hari itu, sang Jenderal disidang di pengadilan dengan dakwaan melakukan genosida. Monteverde pada masa lalu dianggap membantai ratusan penduduk pribumi suku Indian Maya Guatemala. Monteverde berkilah bahwa warga desa keturunan Indian itu bagian dari pemberontak Marxis. Monteverde, jenderal sepuh itu, divonis bersalah. Tapi, dengan alasan kesehatan, pengadilan tidak menjebloskannya ke penjara.
Ratusan aktivis hak asasi Guatemala mengepung rumah keluarga Monteverde berminggu-minggu. Mereka meneriakkan yel-yel, menggelar upacara, menyanyi-nyanyi, memukul timpani, mendaraskan mantra. Dan ternyata arwah ratusan orang Indian yang dibunuhnya menyusup di antara demonstran itu. Termasuk arwah anak-anak kecil yang dibenamkannya di sungai. Suara tangisan dan bunyi ketika mereka tenggelam di dalam airlah yang malam-malam “didengar” sang Jenderal.
Sutradara dan aktor utama film Atlantis dari Ukraina. TEMPO/Seno Joko Suyono
Ukraina Timur. Seorang lelaki mantan serdadu perang selalu dikejar-kejar trauma. Tahun itu adalah 2030. Setahun setelah peperangan Ukraina dan Rusia. Suasana Ukraina Timur masih jauh dari normal. Gedung-gedung boyak. Rumah-rumah kusam. Jalanan masih lengang. Di sana-sini tampak rongsokan barang akibat pertempuran. Hanya pabrik-pabrik metalurgi, baja, dan besi yang masih hidup. Tiap malam, laki-laki itu selalu menyempatkan diri berlatih menembak. Dalam kegelapan, di sebuah hutan kecil, dia memasang orang-orangan dan kemudian mengetes apakah ia masih jitu menembakkan peluru beruntun tepat ke dada orang.
Laki-laki itu bekas serdadu Ukraina bernama Sergiy. Pekerjaannya serabutan. Sesudah perang, dia berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan. Tapi itu tak mudah baginya. Emosinya belum stabil. Ia bergabung dengan sebuah kelompok sukarelawan bernama Black Tulip. Tugasnya membantu para sukarelawan menggali tanah untuk menemukan mayat-mayat serdadu baik dari Ukraina maupun Rusia yang dikuburkan massal. Tanah Ukraina tercemar oleh mayat-mayat busuk. Di sana-sini juga masih tertanam ranjau aktif. Mobil siapa pun yang melintas, di mana pun, sewaktu-waktu bisa meledak. Air bersih sebentar lagi tak ada. Air sudah teresapi radiasi, limbah perang, termasuk mayat. Warga Ukraina Timur dihadapkan pada situasi sulit untuk bertahan.
Dua film tentang bayang-bayang kekejaman perang tersebut berlaga di Tokyo International Film Festival, 28 Oktober-5 November 2019. Yang pertama adalah La Llorona karya sutradara Guatemala, Jayro Bustamante. Yang kedua Atlantis karya sutradara Ukraina, Valentyn Vasyanovych. Dengan cara sendiri mereka menyajikan sesuatu yang masih tabu diungkap di negara masing-masing.
Di Guatemala, pada 1960-an, sebagaimana di Indonesia, pemerintah kanan militer membunuh banyak kalangan kiri dan simpatisannya. Adapun di Ukraina tak banyak diketahui bahwa tiga tahun terakhir, sejak 2017, sesungguhnya di daerah perbatasan masih berlangsung konflik dengan Rusia. Vasyanovych membayangkan terjadi perang besar habis-habisan antara Ukraina dan Rusia pada 2030 yang menewaskan banyak serdadu dari kedua belah pihak. Kedua film ini mengundang aplaus meriah penonton saat ditayangkan di Tokyo.
TOKYO International Film Festival ke-32 baru saja usai. Kurang-lebih tiga minggu lalu, tepatnya pada 28 Oktober, hamparan karpet merah panjang digelar di area depan Plaza Roppongi Hills. Panggung besar didirikan di tengah. Ratusan insan film dunia kemudian berturut-turut mengelilingi karpet merah. Acara itu memakan waktu lima jam, dari pukul 3 siang sampai 8 malam. Iring-iringan diawali Chairman Tokyo International Film Festival Hiroyasu Ando, Direktur Festival Takeo Hisamatsu, serta aktris Alice Hirose selaku Festival Muse. Kemudian menyusul rombongan dewan juri seksi kompetisi, aktris terkenal Cina, Zhang Ziyi, produser Bill Gerber dan Julie Gayet, serta sutradara Michael Noer dan Ryuichi Hiroki.
Dari ratusan insan film yang disambut di karpet merah, tampak dua artis Indonesia, Joko Anwar dan Oka Antara. “Di Asia, Tokyo International Film Festival saling melengkapi dengan Busan Film Festival di Korea,” kata Joko. Ujung iring-iringan karpet merah adalah sutradara gaek Jepang, Yoji Yamada, bersama rombongan pemain utama filmnya, Tora-san, Wish You Were Here, antara lain Chieko Baisho, Gin Maeda, Hidetaka Yoshioka, dan Kumiko Goto. Film Tora-san menjadi pembuka festival. Pada umurnya yang ke-88 tahun, Yamada tampak sehat. Wartawan berdesakan memotret saat dia melintas. Sebelumnya, juru kamera juga berebut saat sutradara nyentrik Jepang, Nobuhiko Obayashi, 81 tahun, yang tengah sakit, melintasi karpet merah mengenakan kursi roda.
Ratusan film ditayangkan dalam berbagai program Tokyo International Film Festival (TIFF). Yang utama adalah seksi kompetisi. Atlantis dan La Llorona ikut bertanding dalam seksi ini. Film lain yang beradu adalah Advantages of Travelling by Train karya sutradara Spanyol, Aritz Moreno; Chaogtu with Sarula (Mongolia, Wang Rui); Disco (Norwegia, Jorunn Myklebust Syversen); Food for Funeral
(Turki, Reis Çelik); Just 6.5 (Iran, Saeed- Roustaee); Mañanita (Filipina, Paul -Soriano); Nevia (Italia, Nunzia De Stefano), Only the Animal (Prancis, Dominik Moll); Toward the Battle (Prancis, Aurelien Vernhes-Lermusiaux); Uncle (Denmark, Frelle Petersen); dan dua film Jepang, A Beloved Wife karya Shin Adachi dan Tezuka’s Barbara karya Macoto Tezka.
Adegan dalam film Disco asal Norwegia.
Tak ada film dari Indonesia yang masuk seksi kompetisi. Tema-tema film dalam seksi ini banyak yang tak terduga. Tiap pemutaran diakhiri sesi tanya-jawab dengan sutradara. Film Disco berkisah tentang fanatisme para misionaris di Denmark. Miryam, 19 tahun (dimainkan Josefine Frida), adalah juara kompetisi disko. Ibunya seorang evangelis dan ayah tirinya pendeta. Mereka mengelola sebuah gereja yang diberi nama Kebebasan. Film menampilkan bagaimana gereja merekrut jemaat muda melalui dakwah yang dikemas dengan musik pop rock. Mereka ingin membuktikan kepada anak muda bahwa Yesus juga kontemporer. Tapi, tatkala para remaja itu bergabung, terjadi indoktrinasi keras.
Dalam acara Kemah Yesus, tubuh-tubuh mereka dianggap belum bersih dan karena itu harus menjalani “eksorsis”. Malam-malam kamar mereka digebrak dan mereka disuruh berlari ke arah hutan, mengeluarkan semua setan di dalam diri. Mereka kemudian menjalani inisiasi pemurnian dengan dicelupkan mukanya ke air. Mirjam mulanya seorang true believer. Tapi ia tak mampu mengatasi konflik dalam dirinya. Dan, akibat retret Kemah Yesus yang keras itu, tragedi terjadi padanya.
Film Uncle dari Denmark menceritakan sosok perempuan yatim-piatu bernama Kris di sebuah peternakan kecil selatan Denmark. Sehari-hari, Kris tinggal bersama pamannya yang menderita stroke. Ayah Kris mati bunuh diri. Kris dan sang paman mengelola sebuah peternakan sapi. Semua pekerjaan berat pamannya diambil alih Kris. Kris menyetir sendiri traktor pemotong rumput serta mengurus sapi. Film ini mengambil tema yang langka: dunia vetenarian (penyakit hewan). Kris sehari-hari menangani sapi, dari memberi makan sampai membantu proses kelahiran. Ia haus mengetahui pengobatan berbagai jenis penyakit sapi.
Adegan dalam film Nevia asal Italia.
“Kris adalah sosok yang menahan diri untuk melihat dunia luar karena tanggung jawabnya mengurus peternakan,” tutur sutradara Petersen. Akting Kris dan sang paman sangat wajar seperti dalam film dokumenter. “Peter Hansen Tygesen, yang menjadi paman Kris, bukan aktor. Dia peternak. Pemeran Kris juga sebetulnya keponakan Tygesen sendiri,” ujar Petersen.
Bagi penonton yang terbiasa menonton film Hollywood, pasti ritme film ini terasa lambat. Bagian awal hampir minim dialog. Film hanya menampilkan kerja sehari-hari Kris di kandang sapi tanpa banyak cakap. “Saya memang berasal dari peternakan. Saya biasa membelai kuping sapi karena di situ bisa menenangkannya,” kata Jette Søndergaard, yang berperan sebagai Kris, dalam tanya-jawab. Suasana panorama yang sendu dalam film makin mengukuhkan watak dingin Kris. “Saat syuting, hujan turun terus. Sedikit terang, suasana minim cahaya. Namun saya tak ingin menambah lampu. Saya ingin tetap natural,” ucap Petersen. Sesungguhnya, dengan film ini dia juga merefleksikan banyaknya peternakan tradisional di Denmark yang gulung tikar akibat kebijakan pemerintah.
Akan halnya Nevia, film karya Nunzia De Stefano tersebut bercerita tentang seorang anak remaja jalanan di Naples, Italia, bernama Nevia yang bekerja di tempat sirkus. Nevia tinggal bersama adik kecilnya di sebuah rumah kontrakan kumuh milik neneknya. Tantenya adalah muncikari. Polisi sering mengawasi rumah mereka. Mulanya, Nevia menemukan iguana milik rombongan sirkus yang lepas. Berawal dari iguana itu, Nevia, yang putus sekolah, akhirnya bekerja di tempat sirkus. Ia sehari-hari bertugas memandikan dan membuang kotoran hewan. Penonton Jepang memuji pemeran Nevia, Virginia Apicella, yang tak canggung bergaul dengan berbagai hewan, dari iguana sampai kuda nil. “Anda sangat natural saat memandikan kuda nil dan menyisir surai kuda,” kata seorang penonton kepada Apicella dalam tanya-jawab.
Adegan dalam film Uncle asal Denmark.
Yang gokil adalah film Advantages of Travelling by Train bikinan Aritz Moreno. Di sebuah kereta menuju Madrid, seorang editor buku bernama Helga Pato, yang baru saja memasukkan pasangan hidupnya ke klinik psikiatri, duduk berhadapan dengan penumpang pria bernama Angel Sanagustin. Sanagustin mengaku sebagai psikiater yang menangani berbagai kasus kegilaan. Ia membawa arsip kisah pasiennya. Film lalu memvisualkan kisah Sanagustin tentang seorang pasien paranoid bernama Martin Urales de Ibeda. Pasien ini terobsesi pada sampah busuk.
Di kereta, Pato ingat bahwa pacarnya yang baru saja dibawa ke klinik adalah pencinta anjing yang nyeleneh. Dia ingin Pato berlaku sebagai anjing. Mula-mula ia selalu meminta doggy style saat berhubungan seks. Lama-lama ia meminta Pato memakan makanan anjing dan kemudian tidur di kandang anjing. Klimaksnya, ia meminta Pato disetubuhi anjing.
Kisah-kisah aneh itu secara tak terduga kait-mengait, menjadi cerita dalam cerita. Setelah berpisah, Pato ingin mencari Sanagustin karena tertarik menerbitkan pengakuan pasiennya. Adegan lalu menampilkan satu arsip yang disukai Pato, yaitu hubungan seks dua orang yang menderita polio. Film ini diangkat dari novel karya sastrawan kontemporer Spanyol, Antonio Orejudo. Orejudo dikenal mengembangkan gaya novel Don Quixote karya Miguel de Cervantes yang penuh lapisan cerita yang mengaduk antara fiksi dan realitas. “Saya suka cara Aritz Moreno memvisualkan novel saya. Pas,” tutur Orejudo, yang hadir dalam acara tanya-jawab. Adapun Moreno merasa senang filmya diputar perdana di Jepang. “Kisah-kisah nyeleneh, aneh, begini biasa dalam komik-komik underground Jepang,” ucap Moreno.
Informasi dari sesi tanya-jawab kerap mengagetkan penonton. Salah satunya dari sesi tanya-jawab dua film bertema trauma kekerasan, Atlantis dan La Llorona. Andriy Rymaruk, aktor yang menjadi tokoh Sergiy dalam Atlantis, ternyata bekas tentara perang betulan. “Dia belum pernah bermain film sekali pun,” ujar sutradara Valentyn Vasyanovych. Rymaruk, yang juga hadir, saat ditanyai penonton mengatakan, “Semua adegan dalam film pernah saya alami. Saya melihat begitu banyak mayat. Hampir semua teman saya bekas serdadu seusai perang menjadi alkoholik dan punya kecenderungan melakukan bunuh diri.” Sepanjang sesi, ia tampak kaku dan tegang. “Dia menderita dua kali. Saat perang, dia menderita. Saat syuting, dia menderita lagi karena syuting membuatnya mengingat banyak pengalaman buruk,” tutur Vasyanovych.
Sesi tanya-jawab bersama sutradara film La Llorona, Jayro Bustamante, dalam Tokyo International Film Festival 2019. TEMPO/Seno Joko Suyono
Adapun saat sesi tanya-jawab film La Llorona, sutradara Jayro Bustamante menjelaskan, meski bergaya horor, sesungguhnya filmnya adalah film politik. “Ini strategi untuk menampilkan hal tabu di Guatemala. Di Guatemala, komunis adalah cap bagi semua aktivis yang bertentangan dengan pemerintah,” tuturnya. Menurut Bustamante, banyak jenderal pembunuh mendapat impunitas di Guatemala. “Llorona sesungguhnya nama cerita legenda. Saya pakai nama itu untuk film agar anak muda tertarik.”
TOKYO International Film Festival menyajikan berbagai kategori program selain seksi kompetisi, seperti Asian Future dan Japanese Cinema Splash. Setiap program memiliki kurator sendiri. Film yang memikat dalam seksi Special Screening adalah Taking Picture karya sutradara Masayuki Suo. Film ini bercerita mengenai era film bisu di Jepang sekitar seratus tahun lalu.
Tidak seperti sejarah film bisu di Jerman atau Amerika Serikat, pemutaran film bisu di Jepang, selain mendapat iringan musik langsung, selalu menampilkan narator yang menirukan dialog. Narator ini disebut katsudo-benshi. Narator berdiri di atas panggung di hadapan layar. Di Jepang, keterampilan benshi bercerita adalah unsur pemikat utama yang membuat penonton tertarik menyaksikan film bisu. Taking Picture berisi kisah persaingan bisnis film bisu. Seorang narator muda nan tangguh (Ryo Narita) menjadi rebutan dua bioskop. Penampilan narator itu demikian mampu memberikan jiwa pada adegan-adegan film bisu sampai penonton menangis dan tertawa. Adegan narator itu hendak diculik kocak.
Adapun dalam program Japan Now ditayangkan retrospeksi film karya Nobuhiko Obayashi dengan tema “The Wizard of Cinema”. Obayashi, 81 tahun, dikenal memiliki pendekatan surealis dalam film. Coba Anda menonton filmnya, The Labyrinth of Cinema. Tiga orang menonton film di Teater Onomichi. Tiba-tiba mereka menyadari diri mereka kembali ke era 1945, sesaat sebelum Hiroshima dijatuhi bom atom.
Hanya tiga film Indonesia yang berlaga di TIFF. Film Joko Anwar berjudul Mother’s Love dan film Randy Korompis, Foxtrot Six, diputar dalam seksi Cross Cut Asia. “Ini tentang wewe gombel, diproduksi HBO Asia, Singapura,” kata Joko. Adapun Foxtrot adalah film laga yang menggunakan bahasa Inggris seluruhnya. Satu film Indonesia berhasil masuk seksi World Focus, yaitu The Science of Fictions karya Yosep Anggi Noen. Seksi World Focus tergolong bergengsi. Salah satu film bagus dalam program ini adalah No.7 Cherry Lane karya Yonfan dari Hong Kong.
Sutradara Yoji Yamada (tengah) dan para pemain Tora-san, Wish You Were Here di karpet merah Tokyo International Film Festival 2019.
“Karya Yonfan salah satu film paling memikat di TIFF,” ucap Dumras Rodjanapiches, kolumnis senior bidang film di Thai Post Daily. Jenis film ini animasi, berkisah tentang cinta segitiga di sebuah apartemen di Jalan Cherry Nomor 7, Hong Kong, yang berlatar belakang demo besar menentang Inggris para mahasiswa kiri pro-Mao Zedong. Dalam film dikisahkan, Ziming, mahasiswa sastra Inggris University of Hong Kong, menjadi guru les Meiling di Jalan Cherry. Ibunda Meiling, Yu, wanita paruh baya yang juga aktivis demokrasi pelarian dari Taiwan, membayangkan tubuh Ziming. Tubuh Ziming juga dibayangkan seorang nyonya transgender eks pemain opera Cina yang merupakan tetangga lantai Yu.
Film ini penuh percakapan cerdas mengenai sastra, dari novel Marcel Proust sampai novel klasik Cina, Impian Paviliun Merah. Film ini juga penuh nuansa erotis. Saat Yu membaca bagian novel Impian Paviliun Merah yang menceritakan seorang bikuni yang diculik dan diperkosa tapi menikmati, imajinasinya melayang ke tubuh Ziming. Ia membayangkan dada Ziming dicakar kucing dan puting Ziming dijilati lidah kucing. Justru karena berformat animasi dengan gambar tangan yang cantik, film ini menjadi puitis.
Saat festival berakhir, dewan juri seksi kompetisi yang diketuai Zhang Ziyi mengumumkan peraih Tokyo Grand Prix/The Governor of Tokyo Award, yakni -Uncle karya Frelle Petersen. Adapun peraih Special Jury Prize adalah Atlantis karya Valentyn Vasyanovych. Film tentang sapi dan trauma serdadu Ukraina itu.
SENO JOKO SUYONO (TOKYO)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo