Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jawara di Kampung, Preman di Kota

Kampung Gabus dikenal sebagai daerah asal jawara dan preman di Bekasi. Bergabung dengan organisasi kemasyarakatan.

16 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jawara di Kampung, Preman di Kota/Tempo/Adi Warsono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUMIS pria itu melintang hingga nyaris mencapai rahang dan bertemu dengan janggut yang mulai memutih. Kedua pergelangan tangannya dililit akar bahar. Dua batu akik sebesar biji sawit menyembul di jari tengah dan jari manis kanannya. Dialah Pandih, 49 tahun, bekas preman dari Kampung Gabus, Kabupaten Bekasi.

Pria yang kerap disapa Bewok ini meng-aku pernah menguasai jalanan Kampung Gabus hingga Kota Bekasi sejak 1993. “Sekitar tujuh tahun saya menjadi preman,” kata Pandih saat ditemui Tempo di kediam-annya di Kampung Gabus, Desa Srijaya, pada Kamis, 14 November lalu. Meski dia sudah bertobat, masa lalunya sebagai preman sekaligus jawara masih mempengaruhi penampilannya hari ini.

Pandih adalah satu dari sekian preman yang berasal dari Kampung Gabus. Kampung ini berada di utara Bekasi, yang meliputi Desa Srijaya, Desa Sriamur, dan Desa Srimukti, di Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi. Jarak Kampung Gabus dari pusat Kota Bekasi hanya sekitar 10 kilometer. Stigma sebagai kampung preman masih melekat hingga sekarang. “Bukan cuma preman, banyak jawara Bekasi yang lahir dari sini juga,” ucap Pandih.

Ia mengaku menjadi preman karena tak punya pekerjaan. Wilayah kekuasaannya dari Kampung Gabus hingga Pasar Proyek, Kota Bekasi. Menurut pengakuannya, ia hidup di jalanan setiap hari sambil menenteng golok atau celurit. Dengan memasang wajah sangar, Pandih meminta uang peng-amanan kepada para pemilik toko dan kendaraan yang melintas di daerah kekuasaannya.

Tak sendirian ia beraksi. Pandih beroperasi bersama kelompoknya, yang terdiri atas tujuh orang. Semuanya berasal dari Kampung Gabus dan sama-sama pernah belajar silat. Pandih mengatakan berlatih silat membuat mereka percaya diri dalam menggertak atau memeras. Menurut dia, uang hasil pemalakan itu kerap tak bersisa. Semuanya habis untuk makan dan mabuk-mabukan.

Sebagaimana Pandih, sejumlah pemuda dari Kampung Gabus menyebar ke jalanan, pasar, terminal bus, dan lokasi keramaian lain di Kota Bekasi hingga Cikarang. Pandih tak mengetahui nasib preman seangkat-annya itu sekarang.

Orang-orang yang tersisa seperti dirinya memilih pensiun dari dunia preman. Pandih kini mengelola padepokan silat dengan 100-an murid dan menjalankan praktik pengobatan alternatif. Ia juga mendirikan “bank sampah” untuk membantu membersihkan lingkungan. “Ada juga mantan preman yang berdagang, menjadi satpam, hingga jadi pengusaha,” kata Pandih.

Kondisi Kampung Gabus sebenarnya tak jauh berbeda dengan daerah lain di sekitar Bekasi. Hampir semua jalannya sudah beraspal atau berlapis beton. Bangunan dan rumah penduduk umumnya berdinding bata. Tak seperti “kampung narkoba” yang warganya selalu tampak waspada terhadap kehadiran orang luar, penduduk Kampung Gabus terbuka terhadap pendatang. Jalan-jalan pun ramai dilalui kendaraan. Warung dan toko berjejer di sepanjang jalan.

Tokoh masyarakat Gabus, Drahim Sada, 38 tahun, mengatakan di kampungnya dulu banyak rawa yang dihuni ikan gabus. Itulah yang menjadi asal-usul nama Kampung Gabus. Menurut dia, penduduk asli Kampung Gabus adalah keturunan Betawi Kranggan dari barat Bekasi. Ada juga yang keturunan Banten.

Drahim mengatakan para pemuda Gabus ikut angkat senjata di masa perang kemerdekaan. Keturunannya kemudian menjadi jawara. “Makanya orang sini ada juga yang tak setuju disebut preman karena merasa berasal dari keluarga pejuang,” ujar mantan Kepala Desa Srijaya itu, Kamis, 14 November lalu.

Pandih alias Bewok, 49 tahun, di Kampung Gabus, Tambun, Kabupaten Bekasi, 14 November 2019./TEMPO/ Adi Warsono


Pandih kini mengelola padepokan silat dengan 100-an murid dan menjalankan praktik pengobatan alternatif. Ia juga mendirikan “bank sampah” untuk membantu membersihkan lingkungan.

 


 

Ia menolak anggapan bahwa Kampung Gabus adalah daerah asal preman di Bekasi. Menurut dia, kesan itu timbul karena sebagian penduduk bekerja di pasar, seperti menjadi kuli panggul, juru parkir, dan penyedia lapak. Menurut Drahim, inilah yang membuat mereka tampak seperti preman.

Kini, menurut Drahim, Kampung Gabus merupakan kawasan yang nyaman untuk ditinggali, sehingga menarik orang luar untuk menghuninya. Pendidikan penduduknya pun kian baik. Pesantren berdiri di tiap dusun.

Sekretaris Camat Tambun Utara, Najmuddin, mengatakan perekonomian Kampung Gabus tumbuh cukup pesat. Ini terjadi sejak Pemerintah Kabupaten Bekasi membangun Kampung Gabus sebagai wilayah permukiman. Rumah baru dan modern terus dibangun di sana.

Menurut Najmuddin, ada sekitar 200 ribu penduduk di Kampung Gabus. Ia memprediksi Gabus menjadi kawasan perkotaan baru pada lima tahun mendatang. Pembangunan ruas jalan tol Cibitung-Cilincing dan proyek waterway melalui kanal Cikarang-Bekasi-Laut Jawa diperkirakan mendongkrak perekonomian Kampung Gabus. “Warga asli yang dulu petani, sekarang mayoritas sudah menjadi wirausaha,” kata Najmuddin, Kamis, 14 November lalu.

Namun meningkatnya pendapatan masyarakat tidak hanya berkat pembangun-an infrastruktur. Menurut Drahim Sada, sebagian pemuda bisa mendapat rezeki setelah bergabung dengan organisasi kemasyarakatan. Hampir semua organisasi kemasyarakatan di Bekasi, kata Drahim, merekrut penduduk Gabus sebagai tenaga keamanan. “Mereka bisa mendapatkan rezeki dengan cara halal,” ujarnya.

Pandih adalah bekas preman yang bergabung dengan salah satu organisasi kemasyarakatan. Organisasi yang diikuti Pandih bahkan terlibat dalam politik. Mereka, misalnya, mendukung salah satu kandidat dalam kampanye pemilihan presiden awal tahun lalu. “Kami hadir di acara deklarasi dukungan,” ucap bapak tiga anak itu.

Ia mengatakan organisasi kemasyarakatan kerap menjadi kedok preman. Menge-nakan baju organisasi, kata Pandih, mereka meminta duit ke toko-toko di Bekasi. “Sekarang organisasi kemasyarakatan disalahgunakan untuk mencari uang receh,” ujar Pandih, terkekeh. Adi Warsono

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus