Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STASIUN Shibamata adalah stasiun kecil. Stasiun ini bisa dicapai kurang-lebih satu jam perjalanan kereta dari Tokyo, tergantung dari stasiun mana kita bertolak. Dari Roppongi, tempat Tokyo International Film Festival 2019 berlangsung, waktu tempuhnya hanya sekitar 40 menit dengan tiga kali pergantian kereta. Kota Shibamata terletak di ujung timur Tokyo.
Shibamata adalah kota di pinggiran Tokyo yang masih memiliki kios dengan gaya old school di sana-sini. Shibamata juga memiliki Kuil Taishakuten. Sejenak mengunjungi kuil ini pada pagi hari, terasa ada nuansa “diam” yang jelas berbeda dengan Tokyo, yang riuh. Begitu tiba di Stasiun Shibamata, kita akan disambut dua patung seukuran manusia di pelataran.
Sebuah patung menampilkan sosok laki-laki bertopi tengah membawa koper jinjing. Ia tampak bergegas. Wajahnya menoleh, menatap patung sesosok perempuan yang seolah-olah tercengut melepasnya. Patung perempuan itu didirikan hanya beberapa meter darinya. Kedua patung diletakkan dalam posisi diagonal. Gestur dan raut muka patung perempuan seakan-akan sedang waswas.
Itulah patung Tora-san dan adiknya, Sakura. Tora dan Sakura adalah dua tokoh utama serial film dan televisi yang dibuat Yoji Yamada sejak 1969. Serial film dan televisi Tora-san sangat populer di Jepang. Seorang pengamat mengatakan Tora dan adiknya adalah dua sosok protagonis dalam film Jepang yang paling dicintai di negara itu. Shibamata adalah kota tempat tinggal Tora dan Sakura. Seluruh film seri Tora-san sejak 1968 selalu bercerita tentang kejadian di seputar Shibamata.
Tora-san adalah pedagang keliling. Dari Shibamata, ia bertualang ke seluruh Jepang untuk menjajakan dagangannya. Tapi ia selalu balik ke Shibamata dengan membawa berbagai cerita dan persoalan. Patung di Stasiun Shibamata itu tentunya hendak menceritakan betapa berat Sakura melepas kakaknya tersebut pergi meninggalkan Shibamata. Betapa sayangnya Sakura kepada sang kakak.
Suasana Kota Shibamata, 30 Oktober 2019. TEMPO/Seno Joko Suyono
Sebuah kado istimewa hadir bagi dunia perfilman Jepang pada tahun ini ketika Yoji Yamada, pada usianya yang sudah sangat sepuh, 88 tahun, membuat film baru mengenai Tora-san. Ia secara jenius menggabungkan potongan film lamanya dengan gambar baru. Film Tora-san, Wish You Were Here menjadi pembuka Tokyo International Film Festival. “Dengan film baru ini, Yoji Yamada merefleksikan apa yang terjadi sepanjang 50 tahun dalam masyarakat Jepang. Saya bangga sekali,” tulis Hiroyasu Ando, Chairman Tokyo International Film Festival, dalam buku program festival itu.
Film ini memukau dalam hal penyuntingan. Pemeran utama Tora-san, Kiyoshi Atsumi, meninggal pada 1996 karena kanker. Kematian Atsumi, yang memerankan tokoh Tora dalam sederet sekuel film Tora-san sejak 1968, dianggap sebagai kematian Tora-san sendiri. Atsumi sudah kadung identik dengan Tora-san. Karakter Atsumi adalah karakter Tora. Tak ada aktor lain yang sanggup menggantikannya. Sejak kematian Atsumi pada 1996, tak ada lagi sekuel film Tora-san yang diproduksi. Tapi, pada tahun ini, Yamada menghidupkan kembali Atsumi.
Yamada menggunakan footage atau arsip lama. Seluruh penampilan Atsumi dalam film sesungguhnya adalah adegan lama yang diramu Yamada dari berbagai film Tora-san yang ia buat. Adegan-adegan lama itu dipertemukan dengan materi adegan baru. Namun kita yang menontonnya sama sekali tak merasa bahwa itu gabungan dari potongan film lama dan baru. Keseluruhan cerita solid. Menyatu utuh.
Kita dibawa ulang-alik dari masa lampau ke kiwari tanpa satu pun adegan terasa janggal. Sakura dan suaminya, Hiroshi Suwa, tetap dimainkan Chieko Baisho, 78 tahun, dan Gin Maeda, 75 tahun, yang membawakan peran tersebut sejak 1968. Dalam film kita melihat flashback adegan bagaimana Baisho dan Maeda saat muda (menggunakan footage lama) memerankan Sakura dan Hiroshi tengah berpacaran.
Film baru Tora-san mengisahkan Mitsuo Suwa (Hidetaka Yoshioka), anak Sakura dan Hiroshi. Mitsuo adalah novelis terkenal yang telah enam tahun ditinggal wafat istrinya. Ia kesepian. Mitsuo tinggal di Tokyo bersama putrinya yang menginjak usia remaja. Setiap pekan, mereka mengunjungi Sakura dan Hiroshi di Shibamata.
Tanpa diduga, tatkala meluncurkan novelnya di Tokyo, Mitsuo bertemu dengan Izumi (Kumiko Goto), cinta pertamanya yang puluhan tahun tak pernah ia jumpai. Izumi telah berkeluarga di Eropa. Ia mengunjungi ayahnya di Jepang yang sakit parah. Mitsuo menahan diri, menekan perasaannya kepada Izumi. Ia membawa Izumi mengunjungi Sakura, yang mengenal Izumi sejak kecil. Kenangan lama di antara keduanya menyeruak. Mitsuo mengantar Izumi membesuk sang ayah—dan sadar bahwa keluarga Izumi sesungguhnya keluarga yang retak.
Saat kesepian menekan, ingatan Mitsuo tentang pamannya, Tora, menyeruak. Sang paman mengajarkan banyak hal tatkala ia kecil. Di sinilah film lalu menyajikan adegan-adegan masa lalu (menggunakan footage lama) mengenai betapa dekatnya Tora dengan Mitsuo. Bagian paling indah dan pedih dalam film ini adalah bagaimana Tora sesungguhnya juga sosok laki-laki yang selalu gagal mendapat cinta sejati.
Tora memiliki banyak sahabat perempuan. Tiap kali berdagang di sebuah kota, ia selalu berpacaran dengan wanita setempat. Beberapa di antaranya sampai mengejar ke Shibamata, bahkan menginap di rumah Tora. Namun, hingga akhir hayatnya, Tora tetap menyendiri. Ia selalu gagal memperoleh pasangan yang memahaminya. Film ini menyajikan kilas balik cerita sejumlah pacar Tora. Salah satunya, pada usia sepuh, memiliki sebuah kafe di Tokyo tempat Mitsuo sering menyeduh kopi sendirian. Mitsuo mengajak Izumi mampir ke kafe itu. Bekas pacar Tora itu masih ingat saat Izumi remaja.
Film ini mengaduk emosi karena secara sederhana mampu menampilkan kehangatan keluarga Tora, Sakura, sampai anak-cucu Sakura. Juga kegetiran keluarga Izumi. Film ini dapat mempermainkan bagaimana ingatan pedih mengalir di sebuah keluarga dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tora-san adalah sosok yang jujur dan ringan tangan, tapi gampang meledak. Perangai Tora yang suka marah-marah karena hal-hal kecil tiba-tiba membuat Sakura pada usia tuanya terseret kenangan akan sang kakak.
Keluarga Tora bukanlah keluarga kaya. Yang dipercakapkan sehari-hari bukanlah hal muluk-muluk. Meja makan biasanya adalah tempat keluarga berkumpul. Di situlah mereka membicarakan banyak hal yang bisa membuat semua tertawa terpingkal-pingkal. Di situlah sebuah masalah yang disembunyikan bisa menyeruak sampai meletupkan percekcokan-percekcokan kecil. Menonton film ini bagaikan menonton sebuah keluarga di Indonesia. Menonton film ini seolah-olah menonton diri sendiri. Film ini mampu membawa kita pada perenungan tentang apa arti bahagia.
“Sejak film-film Tora-san meledak, Shibamata menjadi kawasan turistik,” ucap Nami Sato, perempuan asal Tokyo yang bekerja di Indonesia. Memang benar, di samping kanan-kiri jalan utama menuju Kuil Taishakuten penuh kios penganan dan suvenir yang selalu dipenuhi wisatawan. Di tiap toko, wisatawan bisa mencicipi berbagai camilan yang dijual. Kios di Shibamata banyak menyajikan kudapan atau produk kuliner berbahan ikan sungai. Amatilah betapa poster Atsumi sebagai Tora-san banyak ditempel pada kios-kios di Shibamata. Seolah-olah setiap kios itu berebut menampilkan diri kepada wisatawan bahwa mereka dulu rumah Tora-san.
Poster film Tora-san, Wish You Were Here.
Di Shibamata, kita bisa mengunjungi Museum Tora-san dan Museum Yoji Yamada, yang terletak di satu area. Di Museum Yoji Yamada, kita bisa melihat kamera dan peralatan syuting lain yang ia gunakan sejak 1968. Ada pula reel dan rol-rol film lama. Foto-foto Yoji Yamada saat pertama kali menyutradarai Tora-san pada 1968 juga dipampangkan. Adapun di Museum Tora-san kita dapat menonton berbagai petilan film Tora-san sejak 1968. Di situ terdapat diorama yang mendeskripsikan secara rinci kehidupan penduduk Shibamata tempo dulu, dari kegiatan sehari-hari di kios sampai ritual di kelenteng.
Kita bisa menyaksikan rekonstruksi model rumah tradisional di Shibamata sebagaimana rumah Tora-san dalam film. Ada meja di ruang belakang dan dapur keluarga Tora. Ada pula miniatur peron Stasiun Shibamata tempo dulu, dari loket sampai interior kereta. Kita bisa duduk di “kursi-kursi” kereta sembari mungkin merasakan bagaimana perasaan Tora-san tatkala pergi meninggalkan Shibamata. Tentu saja Shibamata kini tidak sama dengan Shibamata dalam film. Panorama Shibamata dalam layar perak masih asri, penuh pohon dan tanah luas.
Dalam film-film Tora-san, kawasan sekitar Sungai Edogawa, yang menjadi perbatasan antara Tokyo dan Prefektur Chiba, masih kosong. Saat Tora-san dengan menjinjing koper berjalan tergesa-gesa menuju stasiun melewati Kuil Taishakuten (Kyoei-zan Daikyoji), kita juga menyaksikan tak seperti kini, kanan-kiri kuil belum padat oleh rumah. Tapi, setelah kita menonton film Tora-san, Wish You Were Here yang mengharukan, Shibamata mungkin tak bisa dilewatkan.
SENO JOKO SUYONO (TOKYO)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo