Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seorang Astronaut Bernama Siman

Film The Science of Fictions karya Yosep Anggi Noen masuk kategori World Focus dalam Tokyo International Film Festival. Tema trauma politik disajikan melalui gagasan unik.

16 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Film The Science of Fictions karya Yosep Anggi Noen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIDAH Siman dipotong. Ia tak bisa menceritakan sebuah rahasia besar yang disaksikannya malam itu. Sekelompok orang, pada 1966, di gumuk-gumuk pasir Pantai Parangkusumo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyusun sebuah set serupa wahana antariksa. Dari antara semak-semak, Siman mengintip. Orang-orang tak dikenal itu kemudian melakukan syuting film seolah-olah ada pendaratan manusia pertama di bulan.

Siman tertangkap. Disiksa dan dikerat lidahnya. Ia bisu seumur hidup. Dan, sampai 2019, ia mengalami trauma atas penyiksaan itu. Ia dibayang-bayangi terus oleh roket, bulan, dan astronaut. Itu membuat gerak tubuhnya melambat saat dia berjalan, seolah-olah ia berada di ruang tanpa gravitasi.

Di mana saja. Di kampung, di tempat kerja memburuhnya—dari pabrik traktor di Kulon Progo sampai pasar—bahkan di tempat pelacuran, Siman selalu berjalan dengan kaki seolah-olah melayang. Di sebuah pekarangan yang rindang—syuting film ini dilakukan di kawasan Kaliduren, Moyudan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta—Siman membangun tempat bernaung sehari-hari dari seng dan barang rongsokan yang ditatanya seperti sebuah “spacecraft”. Dari “roket” itu ia sering pergi ke tempat perkawinan, acara jatilan, ke mana-mana dengan mengenakan helm serta kotak bak peralatan astronaut di punggungnya.

Jelas, gagasan Yosep Anggi Noen ini di luar dugaan. Masa 1965-1966 adalah wilayah sejarah kita yang kelam. Begitu banyak korban pembunuhan. Begitu banyak penculikan, penganiayaan, pemenjaraan. Betapapun demikian, jarang terdapat film yang mengangkat tema seputar hal itu. Anggi Noen ingin merefleksikan periode itu, tapi dengan cara lain daripada yang lain. Alegoris.

Film Anggi bukan jenis film dengan cara bertutur yang menampilkan sebab-akibat yang jelas sehingga penonton bisa mendapat alur logika adegan yang kuat. Anggi condong menggarap keseluruhan film dengan cara penglihatan yang impresif dan berpretensi puitis. Adegan porsi pemotongan lidah yang menjadi clue, misalnya, hanya ditampilkan sekilas. “Banyak pembunuhan pada 1966 muncul sebagai desas-desus. Rumor. Itu mengapa banyak adegan kunci saya sajikan secara samar-samar. Adegan syuting pendaratan manusia di bulan di Pantai Parangkusumo yang dilakukan NASA atau entah lembaga apa juga saya sajikan misterius,” kata Anggi. 

Memang, adegan syuting rekayasa pendaratan di bulan yang menjadi pembuka film The Science of Fictions ini hanya muncul beberapa menit. Itu pun hanya dalam perspektif mata Siman yang mengintip dari kegelapan. Adegan itu tidak cukup membuat kita tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Padahal ini adegan pembuka penting yang menjadi penyebab dari seluruh rangkaian film. Tak mengherankan jika dalam sesi tanya-jawab setelah pemutaran film tersebut tak ada sama sekali penonton Jepang yang mempertanyakan masalah rekayasa “NASA” di Parangkusumo. Itu mungkin karena adegan awal tersebut “tak tertangkap” oleh mereka—lewat begitu saja.

  Seluruh ingatan Siman dibuat samar-samar dan sekilas. Sesungguhnya ada  adegan dalam film ini yang bila digarap lebih detail bisa membantu penonton membayangkan betapa “kegilaan” dan trauma yang dialami Siman begitu merajam tubuhnya, yaitu yang berkenaan dengan “rumah roket” Siman. Dalam film, penonton hanya melihat Siman ditampilkan kerap tidur di sebuah “wahana rongsokan” yang aneh. Tak ada adegan yang menunjukkan bagaimana Siman “dengan edan” mengumpulkan barang-barang bekas dan menyusunnya satu per satu menjadi sebuah “roket”, yang kemudian didiaminya seolah-olah ia berada di ruang angkasa. Film ini mungkin akan lebih terasa bila adegan itu dibuat.

Siman diperankan Gunawan Maryanto, aktor Teater Garasi yang juga memainkan penyair Wiji Thukul dalam film Anggi sebelumnya, Istirahatlah Kata-kata. Gunawan berperan dalam film yang menyajikan fase pelarian Wiji Thukul di Kalimantan tersebut tanpa banyak dialog. Sedangkan dalam film The Science of Fictions, ia memerankan Siman sama sekali tanpa ucapan. Selain menampilkan Cindil—panggilan akrab Gunawan—Anggi melibatkan Yudi Tajudin dan Komar, yang juga aktor Teater Garasi. Penata musiknya komposer asal Jepang, Yasuhiro Morinaga, yang juga dikenal sering berkolaborasi dengan Teater Garasi. Adapun penata lampunya Teoh Gay Hian, yang sering digunakan Garin Nugroho untuk film-filmnya. Banyaknya adegan “gelap” minim cahaya tapi artistik tentunya karena perspektif kamera dan pencahayaan Teoh Gay Hian.

Anggi merasa perlu menampilkan sosok berpakaian dan beratribut seperti Sukarno (dimainkan Ecky Lamoh) dalam film ini. Sosok ini pada awal film disajikan sebagai orang kuat yang bisa menghentikan syuting rekayasa di Parangkusumo. Figur Ecky yang agak gemuk, gondrong, serta mengenakan peci dan jas penuh emblem ditampilkan—di sebuah ruangan mirip bunker—sering menonton video rekaman rekayasa itu. “Saya di berbagai kota sering melihat orang yang berlaku sebagai Sukarno. Mengenakan dan mengoleksi memorabilia Sukarno, lalu berperilaku aneh-aneh. Seolah-olah dia pemimpin,” tutur Anggi.

Yang mungkin agak membingungkan bagi penonton adalah soal usia para tokoh. Pada adegan awal, yang diandaikan berlangsung pada 1960-an, saat lidah Siman dipotong, katakanlah umur Siman 20-an tahun. Demikian juga karakter yang dimainkan Yudi Tajudin, pemuka desa yang merasa waswas dikejar-kejar tentara atau intel lalu bersembunyi bersama Siman. Tapi, saat mereka muncul lagi pada 2019, raut mukanya sama. Sama sekali tak tampak tanda bertambahnya usia.

Anggi membiarkan tak ada makeup yang membuat wajah Siman dan lain-lain bertambah tua. Termasuk untuk sosok orang kuat yang bertingkah laku seperti Sukarno. Saat ia muncul pada masa sekarang, wajahnya tak berubah meski tak lagi mengenakan atribut Sukarno. “Memang saya sengaja membiarkan demikian. No aging. Saya ingin sinema menjadi medium yang mengacak-acak waktu. Fiksi dalam fiksi. Itu tawaran saya. Menurut saya, ingatan itu tidak menua. Memori tidak muncul secara kronologis,” ucap Anggi. 

Sutradara Yosep Anggi Noen saat bertemu dengan penggemar dalam Tokyo International Film Festival 2019. TEMPO/Seno Joko Suyono

Ya, ya, ya. Film ini memang permainan antara fiksi, fakta, dan gagasan. Film ini bukan jenis film yang diikhtiarkan menampilkan seluruh adegan dengan logika realis yang ketat. Harus diakui, Anggi Noen berani menyajikan film dengan gaya seperti ini. Itulah mungkin sebabnya kurator Tokyo International Film Festival, Yoshi Yatabe dan Kenji Ishizaka, menempatkan The Science of Fictions secara prestisius ke seksi World Focus, sekelompok dengan film bergengsi seperti While at War karya sutradara Spanyol, Alejandro Amenábar, dan Ghost Town Anthology karya sutradara Kanada, Denis Côté.

Bagian akhir film The Science of Fictions sendiri menurut saya memang kuat. Terutama ketika Siman dengan pakaian astronautnya diminta ikut menari dalam sebuah pesta pernikahan. Juga saat Siman dengan kostum astronaut ikut bermain dalam kelompok jatilan. Adegan ini seolah-olah menjadi “katarsis” atas serangkaian adegan sebelumnya. Secara tidak langsung, melalui film ini Anggi juga ingin merefleksikan sejarah kamera. Anggi ingin memperlihatkan bagaimana pada 1960-an kamera adalah suatu alat eksklusif dan mahal yang tidak bisa dimiliki sembarang orang. Dari situlah negara sering memanfaatkan kamera untuk menciptakan rekayasa dan propaganda. “Di tangan negara, kamera di masa lalu menjadi alat the truth dan the lies. Sedangkan di masa kini, melalui kamera telepon seluler, siapa pun bisa membuat the truth dan the lies,” ujar Anggi.   

Film ini diakhiri dengan segerombolan anak bersukaria menaiki odong-odong (kereta-keretaan) melintasi hutan tempat “pesawat antariksa” Siman dibangun. Odong-odong berhenti. Anak-anak itu berloncatan dan mengeluarkan ponsel masing-masing. Klik. Mereka memotret obyek di depannya yang tak terlihat di layar film. Kita bisa menduga mereka memotret Siman bersama roketnya. “Tapi coba perhatikan, HP anak-anak itu mengarah ke penonton. Mereka sebenarnya memotret penonton. Saya ingin mengatakan, jangan-jangan kita semua juga adalah Siman-Siman lain. Kita adalah Siman yang menutup diri untuk membicarakan hal-hal politik tabu,” kata Anggi.

Sebuah ending yang menarik. Pemutaran film yang ongkos produksinya ditanggung renteng beberapa produser Indonesia, Prancis, dan Malaysia ini pertama kali ditayangkan pada Agustus lalu dalam Locarno International Film Festival, Swiss. “Dari Tokyo, film saya akan diputar dalam festival di Los Angeles. Sudah ada 15 festival sampai pertengahan tahun depan yang akan menayangkan film Siman ini,” ucap Anggi. Astronaut dari Parangkusumo itu melanglang buana.

SENO JOKO SUYONO (TOKYO)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus