Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Tilas Genosida karya A. Muttaqin terpilih sebagai karya seni pilihan Tempo 2024 kategori buku sastra puisi.
Tanah adalah pokok penting dalam puisi-puisi Muttaqin.
Buku puisi Muttaqin memikat karena kekuatan metafora yang segar dan orisinal.
Kami saling berbagi: aku dan sungai. Bunga dan rumput segar menjalar ke tidur kami. Kami saling mengerti dan tak ada maksud menghianati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
— A. Muttaqin, “Petani”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELAKANGAN, banyak puisi karya penyair Indonesia mencari jati diri dari sejarah tua yang berserak dalam kitab-kitab lama dan mencoba memahami, mengulik kembali, teks-teks masa lalu yang terkubur. Banyak puisi mencari dan menelusuri kembali sejarah identitas dan memberi perhatian khusus pada ekologi yang terjajah oleh kerakusan manusia kontemporer.
Kini tanah tak lagi mistis dan sakral untuk menopang masa depan. Orang modern gagal memahami makna simbolis kesakralan tanah bagi kelanjutan kehidupan manusia dan peradaban. Tanah sebagai basis identitas telah raib, berubah menjadi beton yang kelak mengubur manusia.
Sebagai negara agraris, seharusnya Indonesia merawat tanah. Sebab, transformasi ekonomi berbasis tanah telah menopang kebudayaan serta kehidupan sosial, politik, dan agama selama berabad-abad.
Di Bali, ada subak yang sangat terkenal. Namun kini subak telah berubah menjadi “mitos”, bahkan “dijual” untuk pariwisata yang “egois”. Ekosistemnya roboh. Tinggal perca-perca kenangan yang tidak lagi memikat generasi berikutnya untuk memilih hidup sebagai petani dengan bangga.
Sekarang tanah dikelola secara kapitalistis, rakus, jemawa, dan sesat untuk melayani pasar global yang snobis dan FOMO. Akibatnya, tanah tak lagi menjadi identitas. Tanah bukan lagi interior sekaligus eksterior semesta kehidupan dan upacara kemanusiaan.
Bersama lanskap geografis, tatanan sosial, dan praktik kebudayaan, tanah disesuaikan dengan tatanan ekonomi yang dominan. Padahal nilai tanah bagi masyarakat lokal agraris tidak semata menyangkut perhitungan materiil, tapi juga melibatkan makna simbolis. Ada makna sosial, budaya, politik, dan agama yang melekat pada tanah.
A Muttaqin di rumahnya, Mojokerto, Jawa Timur, 8 Januari 2025. Foto: Julian Romadhon
Tanah merupakan pokok penting dalam Tilas Genosida karya A. Muttaqin, buku puisi pilihan Tempo 2024. Karya penyair Jawa Timur ini mengungguli 45 judul buku puisi yang masuk ke redaksi. Buku ini menawarkan beragam tema menarik tentang tanah, budaya, agama, politik, mitologi, juga kehidupan desa dan urban Jawa, khususnya Gresik, Jawa Timur.
Buku puisi Muttaqin memikat karena kekuatannya menghadirkan metafora yang segar dan orisinal. Sang penyair tekun mengolah berbagai persoalan kritis dalam puisi-puisinya. Alam dan budaya diramu dengan mitologi menjadi gubahan puitik yang unik.
Ia juga mahir menyampaikan pesan filosofis ala Jawa dan masyarakat urban dengan bahasa yang sederhana, diselingi unsur bermain-main dan kejenakaan yang terasa khas penyair Suroboyoan. Di sisi lain, ia memperhatikan secara detail aspek bunyi dan estetika bentuk. Diksi puisinya menguarkan aroma puitik yang sedap.
Buku bersampul jingga ini terbagi menjadi dua bab: “Tilas” dan “Genosida”. Bab “Tilas” terbagi dua, “Petani” dan “Hibrida”. Bab “Genosida” juga terbagi dua, “Malap” dan “Koda”. Puisi-puisi di bagian “Petani” menjelajahi berbagai ihwal menyangkut dunia agraris. Ada mitologi Dewi Sri, nasib petani dengan berbagai problem klasiknya, sampai dunia mistik yang masih diyakini sebagian masyarakat agraris.
Dalam puisi “Padi”, contohnya, pembaca bisa merasakan bagaimana bangsa agraris mengelola tanah dengan penuh rasa cinta dan sukacita.
Muttaqin bertutur: Kami tumbuh dari benih yang sama. Mencintai hujan dan Tuhan yang sama hijaunya. Menunggu masa tua. Dan merunduk dalam hening kuning yang sama. Begitu kiranya kami selalu mengasup luas sawah. Sungai dan sang Sri menjaga kami sampai sembada. Kata sungai, petani yang menemukan kami. Menamai marga kami sebagai padi dan bertekad menghidupi kami dengan segenap raga.
A Muttaqin di masjid Al-Mujahidin, Mojokerto, Jawa Timur, 8 Januari 2025. Foto: Julian Romadhon
Puisi “Padi” mengingatkan bahwa Indonesia pernah menjadi lumbung pangan yang masyarakatnya bisa hidup dari lahan pertanian. Romantisisme negeri agraris meresapi lanskap-lanskap memikat yang menuntun kembali ke masa silam.
Sebaliknya, puisi “Penandur” memperdengarkan nada keresahan ketika tanah tidak lagi bisa dijadikan harapan hidup. Kita dengar: Ayah menabur gabah lalu menundukkan kepala / Seperti berdoa bagi benih kesabaran dan cinta […] Ibu bilang, tak baik berprasangka kepada tanah / Sebab tanah memberi kami cukup-cukup berkah […] Tidak, tidak. Bagaimana bibi bisa damai berbenah / Di tengah sawah saat hujan jadi hama di kakinya? // Seperti aku yang mengingat mereka saat hujan lebat / Sementara jalanan macet dan got-got pada mampet / Maka kupintal gurindam merang milik moyang kami ini / Serupa mantel jerami untuk menangkal hujan berlebih.
Muttaqin menyampaikan kritik ekologis dengan halus. Gambar dunia agraris Muttaqin dipotret pada masa ketika kesuburan tanah telah merosot. Inilah zaman ketika petani bukan lagi profesi yang menjanjikan kesejahteraan. Sebuah era ketika alih fungsi lahan pertanian begitu marak dan masif.
Dalam puisi-puisi di bagian “Hibrida”, penyair mencampur beragam tema. Ada mitologi Jawa, dunia santri, juga semacam alusi terhadap tokoh-tokoh di dunia Islam dan pewayangan.
Judul buku ini tentu memaku perhatian pada kata “genosida” yang terasa menyeramkan. Genosida lazim dipahami sebagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan dengan maksud memusnahkan suatu kelompok, bangsa, ras, etnis, atau satu bagian lain dari suatu masyarakat.
Di pengujung buku ini, terdapat puisi berjudul “Genosida”. Puisi tersebut kurang-lebih merekam ingatan masa kecil perihal cerita yang dituturkan orang-orang di kampung Muttaqin tentang peristiwa 1965.
Di sebuah desa agraris di Gresik bagian utara, ada tempat bernama Geseng. Muttaqin tidak yakin apakah Geseng berhubungan dengan Sunan Geseng, seorang wali yang merupakan murid Sunan Kalijaga. Tak jauh dari tempat itu memang ada sebuah gua dan petilasan yang dipercaya masyarakat setempat sebagai situs pertapaan Sunan Kalijaga. Yang jelas, Geseng adalah sebuah geladak, semacam jembatan kuno, yang melintasi sungai di hutan jati di tepi jalan utama. Konon, di tempat itulah korban peristiwa ‘65 dihabisi.
Alkisah, ada “algojo” bernama K yang pada akhir hidupnya mengalami nasib nahas. Perutnya menggelembung secara misterius. Penduduk percaya, perut K menggelembung lantaran ia selalu meminum darah yang mengalir dari ujung goloknya setelah memenggal kepala para korban.
Cerita seperti itu didengar Muttaqin sejak usia kanak-kanak dan sangat membekas dalam dirinya. Ingatan tentang kisah pembantaian sadis di sekitar kampungnya menginspirasi sang penyair.
Dalam puisi “Malap”, Muttaqin menjalarkan trauma keterasingan dan ketakutan selepas pembantaian: Aku terus berjalan. Memasuki kerumunan di ruas-ruas pasar. Dari lapak ke lapak aku hanya bertemu penjual mata. Aku ingat pembunuhan masal yang dulu melibatkan pamanmu. Kupacu langkah menjauhi pasar itu. Melewati odong-odong yang matanya terus terbelalak mengawasiku. Aku berbelok ke warung soto. Aku lapar, tapi aku yakin, tiga ayam yang dipaku di rombong soto itu adalah kirimanmu. Ayam malang yang tak henti-henti merintih: Gusti, kenapa Kau tinggalkan kami...
Dengan cara yang unik dan intim, puisi “Sandal” mengabarkan politik adu domba di balik perpecahan yang menyulut perang saudara.
Kita baca: Seperti awal sepasang sandal. Padahal mereka dahulunya saudara kembar. Satu lahir dengan aran kanan. Satunya lagi dipanggil kiri. // Aku tak tahu, siapa yang membuat mereka saling melengoskan arah. Memilih pisah. Walau semula mereka makhluk yang akur. // Dan sabar. Tanpa gentar, mereka mengangkat kaki. Melindungi putih telapak dari tai dan tembelek lantung yang tercecer di jalan. // Mereka juga tak pernah iri pada topi. Apalagi dengki pada peci yang merasa paling bersih dan mengejek keduanya dari tinggi. // Mereka tak mudah terganggu pada perkara remeh-temeh macam itu. Keduanya cuma melebar. Menahan berat kaki. Atau sekadar // Menuruti sunah karet pada diri. Tak terbersit niat saling menghianati. Bahkan saat ada dengkul menghasut mereka untuk saling mendahului.
A Muttaqin di rumahnya, Mojokerto, Jawa Timur, 8 Januari 2025. Foto: Julian Romadhon
Tikungan-tikungan masa lalu di kampung seperti itu menghiasi buku puisi Muttaqin dengan banyak cerita. Puisi-puisinya membocorkan peristiwa silam yang oleh pihak tertentu hendak dihapus dari memori generasi baru.
Tilas Genosida menggiring pembaca untuk merenungkan tanah, petani, agama, sampai jejak peristiwa politik yang tak tercatat dan tak banyak diketahui di pelosok terpencil. Muttaqin berpuisi dengan menyusuri kampung, sawah, ladang, dan hutan jati sambil menziarahi tilas peristiwa politik paling kejam yang mungkin sudah dilupakan banyak orang. Buku puisinya memperagakan eksplorasi yang hidup tentang perjalanan waktu. Sebuah pencarian kritis, tapi intim, tentang nilai kehidupan, bergerak di antara puisi-prosa dan puisi lirik.
Ia membangkitkan lagi semangat puisi-puisi yang memuja alam, tapi dengan tuturan yang terputus-putus serupa racauan orang sekarat. Ia mengambil kembali mitologi Jawa dan pewayangan sebagai sumber ciptaan. Puisi-puisi Muttaqin menghadirkan kembali sinkretisme iman dalam masyarakat agraris Jawa yang dalam situsi keberagamaan hari ini digencet karena dianggap sebagai bidah. Suara-suara sinkretis itu adalah bagian dari upaya penyair memoderasi formalitas kehidupan beragama dalam lingkungan sekitarnya.
Muttaqin menggeser ujaran puisi dari suara manusia menjadi senandika tokoh-tokoh nonmanusia. Bekerjanya personifikasi membuat suara puisi-puisi dalam kumpulan ini menjadi lebih beragam. Puisi-puisi Muttaqin terasa cukup. Ia tidak berlebihan dalam menggunakan kata sehingga puisi-puisinya mampu bersuara secara jernih, terhindar dari jebakan derau dan pukau kegelapan yang masih membayangi perpuisian Indonesia hari ini. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Tilas Muttaqin dalam Genosida