Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA lebih menarik peneliti asing justru di masa pemerintahan yang represif. Di masa Orde Baru, misalnya, studi tentang Indonesia marak di berbagai kampus universitas terkemuka dunia. Banyak donor yang mendanai riset sekitar pergulatan negeri ini menolak rezim otoriter.
Zaman berganti. Rezim Soeharto tumbang pada 1998 dan membawa perubahan signifikan. Informasi lebih terbuka, represi jauh berkurang, demokratisasi tumbuh. Indonesia bukan lagi sebuah negeri "misterius". Paradoks pun muncul: pamor pusat studi Indonesia di berbagai universitas mancanegara malah meredup, bahkan ada yang gulung tikar.
Indonesia bukan lagi magnet bagi para Indonesianis—begitu para peneliti asing itu dijuluki. Sudah tak banyak periset akademis yang membaktikan seluruh karier dan hidupnya demi menekuni Indonesia seperti George McTurnan Kahin, Benedict Anderson, Herbert Feith, David T. Hill, Daniel S. Lev, Ruth McVey, Denys Lombard, Rudolf Mrazek, Anthony Reid, dan Harold Crouch. Mereka bukan hanya peneliti, tapi juga "juru bicara" yang lebih fasih berbicara tentang Indonesia dibandingkan dengan anak negeri ini.
Analisis dan perspektif yang mereka sajikan memperkaya pengetahuan tentang Indonesia. Imagined Communities, The Rise of Communism, The Religion of Java, The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959, dan masih banyak judul lain merupakan deretan buku klasik yang paling mencerminkan keadaan Indonesia pada masa itu. Interaksi para Indonesianis dengan ilmuwan lokal juga cukup intensif, sehingga jagat intelektual kita semarak dengan nama besar seperti Selo Soemardjan, Deliar Noer, Taufik Abdullah, Melly Tan, Tapi Omas Ihromi, Umar Kayam, dan Anton Moeliono.
Tentu saja cara pandang para Indonesianis itu tidak bebas pro-kontra. Klasifikasi priayi, santri, dan abangan dalam masyarakat Jawa yang ditulis dalam buku The Religion of Java oleh Clifford Geertz, umpamanya, banyak menuai sanggahan, juga penguatan. Meski begitu, buah pikir para Indonesianis ini banyak pengaruhnya pada politik Indonesia era 1960-1970-an. Pikiran mereka ikut menyumbang politik Indonesia kontemporer—setidaknya menurut pendapat pengamat Daniel Dhakidae.
Tak bisa dibantah, hasil karya pada Indonesianis ini kerap dianggap rujukan paling bisa dipercaya. Pada zaman kolonial, umpamanya, kita mendapat potret lengkap tentang mooi Indie, Hindia Belanda nan indah, dengan penduduk terbelakang, lewat riset KITLV (The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) dan Universitas Leiden. Sampai sekarang lembaga itu menjadi pusat studi Indonesia kenamaan.
Pada masa revolusi kemerdekaan, tema sentral yang banyak diteliti adalah nasionalisme. Sosok cemerlang seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka adalah daya pikat utama bagi Indonesianis di masa itu. Memasuki 1950-an, Perang Dingin datang dengan tarik-ulur dua poros dunia, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dunia merasa perlu memahami Indonesia, salah satu titik panas dalam peta Perang Dingin. Cornell Modern Indonesia Project yang dikelola Kahin yang legendaris itu, misalnya, didirikan dengan misi utama mempelajari gerakan komunis di Indonesia.
Setelah Orde Baru berganti, meskipun menurun, minat mempelajari Indonesia tidak sepenuhnya mati. Sebuah seminar besar di Cornell University, April lalu, merupakan salah satu buktinya. Muncul generasi baru Indonesianis, antara lain Ben Smith dari Universitas Florida, yang menulis buku Hard Times in the Lands of Plenty. Ada juga Michael Buehler dari London School of Economics yang meneliti dampak desentralisasi dan pemilihan langsung di Indonesia.
Para Indonesianis masa lalu banyak meneliti relasi negara dan rakyat, sementara fokus studi masa kini lebih beragam. Misalnya tentang lingkungan, budaya, peran perempuan, Islam, pluralisme, terorisme, dan radikalisasi. Pemerintah perlu mendorong minat yang mulai tumbuh ini, dengan memberi kemudahan dalam pengurusan izin meneliti, umpamanya.
Perguruan tinggi di sini juga perlu lebih aktif bekerja sama dengan mitranya di luar negeri. Membuka pusat studi bidang tertentu merupakan salah satu cara. Para peneliti lokal perlu dukungan dana dan fasilitas yang layak, agar mereka bisa ikut terlibat riset-riset tentang Indonesia bersama para Indonesianis generasi baru.
Sekarang ini 90 persen publikasi dalam jurnal akademis tentang Indonesia ditulis bukan oleh orang yang tinggal di Indonesia. Hal ini, menurut Indonesianis Anthony Reid, menjadikan Indonesia negara yang paling tidak efektif menceritakan dirinya sendiri kepada dunia. Satu ironi yang perlu diubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo