Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Industri film tengah membutuhkan banyak pekerja. Sekolah dan kursus akan menjadi ujung tombak untuk melahirkan para pekerja di bidang ini. Salah satu sekolah film yang lulusannya sudah dikenal publik adalah Fakultas Film dan Televisi (FFTV) Institut Kesenian Jakarta. Fakultas ini berdiri sejak 1971 dan sudah menghasilkan banyak sekali alumnus yang berkecimpung dan berprestasi di bidang film, misalnya Riri Riza, Hanung Bramantyo, dan Mira Lesmana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FFTV IKJ saat ini memiliki pilihan program diploma III dan strata I. Mereka juga memiliki sejumlah peminatan studi, seperti produksi, penyutradaraan, penulisan skenario, tata kamera, dan tata artistik. "Mereka baru bisa mengambil peminatan itu di semester lima, tapi ada syarat nilainya," kata Dekan FFTV IKJ, R.B. Armantono, saat ditemui pada Selasa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Armantono mengatakan saat ini peminatan yang tengah digandrungi mahasiswanya adalah editing dan penulisan skenario. Ia menuturkan peminatan ini sering berubah, tergantung tren yang ada. Selain itu, mahasiswa melihat kondisi dan kebutuhan lapangan pekerjaan.
Armantono menjelaskan, mereka menerapkan konsep interdisipliner dalam perkuliahan. Maksudnya, film tak bisa lagi dipisahkan dari seni lain. Makanya, mereka menghadirkan sejumlah mata kuliah yang tak berhubungan dengan film. Alasannya, perkembangan medium untuk memutar film tak hanya layar, bisa juga bergabung dengan seni lain, misalnya pertunjukan tari.
Hal berikutnya, kata Armantono, adalah mengajak mahasiswa mengenal lingkungan dan budaya. Tiap tahun mahasiswa diajak ke suatu daerah untuk melakukan riset dan menciptakan karya berdasarkan ide dari tempat itu. Armantono merasa pengembangan konten-konten lokal perlu mendapat perhatian. Konten seperti ini tak dimiliki sineas di Amerika Serikat dan Eropa.
IKJ juga menjalin kerja sama dengan semua lembaga pendidikan film dan televisi di Indonesia. Hal ini dilakukan agar pengembangan dunia perfilman tidak terpusat di Jakarta. Sebab, tiap daerah memiliki ciri khas masing-masing.
Armantono mengungkapkan, jumlah peminat yang ingin belajar tentang film di FFTV IKJ terus meningkat tiap tahun. Mereka yang sudah lulus pun dianggap cukup efektif untuk langsung terjun ke industri. "Tidak menunggu lulus pun, mahasiswa di sini sudah kerja." Mereka yang ingin berkuliah di sana, selain menjalani sejumlah tes, harus membawa hasil karya untuk ditonton dan dinilai oleh tim pengajar. Armantono menjelaskan, beberapa tahun terakhir semua pendaftar sudah membawa karya yang hasilnya sudah cukup baik.
Bukan hanya di IKJ, peminat untuk belajar film di SAE Institute juga terus meningkat. Para mahasiswa, menurut Head of Film Coordinator SAE Institute Ali Munandar, juga sudah bekerja di industri meski belum lulus. Adapun bidang-bidang yang paling diminati kini adalah sinematografer dan penulisan skenario. Meski di SAE tidak dikenal peminatan seperti di IKJ, pada satu tahun terakhir mahasiswa bisa memilih bidang tertentu untuk didalaminya.
SAE Institute hadir di Jakarta sejak 2011 dan sempat membuka ruang perkuliahan di Mal FX sebelum pindah ke sebuah gedung di Pejaten, Jakarta Selatan. Sampai saat ini, mereka sudah membuka program film untuk diploma III dan IV serta strata I. Selain itu, mereka membuka kursus singkat bagi yang ingin mempelajari film.
Penumbuhan karakter di luar aspek teknis pembuatan film juga menjadi perhatian SAE. Mahasiswa diajari untuk mengetahui dengan baik alasan dia memilih belajar film. Sebab, saat ini soal teknis pembuatan film bisa dipelajari di mana saja dengan perkembangan teknologi yang ada. "Yang paling penting karakter dan mentalitas," ucapnya kepada Tempo, Selasa lalu.
Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) ikut bergerak untuk mengatasi kurangnya pekerja film. Ketua Umum Aprofi, Fauzan Zidni, mengatakan organisasi itu sedang menggelar lokakarya intensif secara berkala untuk mempersiapkan 20 kru film agar siap menjadi asisten sutradara. Kegiatan itu dilakukan bersama komunitas Astrada Film Indonesia. Tahun depan, mereka berencana membuat acara serupa namun untuk mempersiapkan tenaga di posisi line producer.
Fauzan Zidni menilai defisit pekerja film merupakan dampak dari kurangnya perhatian di bidang pendidikan film sejak 5-10 tahun yang lalu. Akibatnya, Indonesia tidak memproduksi cukup banyak pekerja film untuk memenuhi kebutuhan industri. "Apalagi tak semua lulusan sekolah film memutuskan masuk industri."
Untuk menjawab persoalan ini, menurut dia, pemerintah bisa berperan di bidang pendidikan, misalnya dengan membuka jurusan film dan teater lebih dini di pendidikan dasar. Bisa juga mengirim mahasiswa yang baru lulus sekolah film untuk mengikuti pendidikan lanjutan di luar negeri. Ia menganggap diversifikasi profesi film dalam tiga tahun ke depan akan menguatkan ekosistem film Indonesia untuk 5-10 tahun mendatang. DIKO OKTARA
Profesi yang Makin Diminati
Jumlah pekerja di bidang film ditengarai tidak sebanding dengan angka produksi yang terus meningkat. Menurut data Badan Perfilman Indonesia (BPI), jumlah pekerja film di Indonesia saat ini 6.877 orang.
Sementara, jumlah film yang tayang di bioskop beberapa tahun terakhir meningkat. Perlu diketahui, sampai 31 Januari 2018 sudah ada 150 judul film yang mendaftar untuk tayang pada 2018. Berikut ini data total film yang tayang selama beberapa tahun terakhir.
Kenaikan jumlah film yang tayang di bioskop juga diiringi kenaikan jumlah penonton film Indonesia:
SUMBER: BADAN PERFILMAN INDONESIA | APROFI | FILMINDONESIA.OR.ID | DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo