Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di akhir abad ke-22, kota-kota pantai tenggelam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Itulah tahun-tahun setelah puncak-puncak gunung es meleleh… karena gas rumah kaca, dan lautan yang pasang menggulung begitu banyak kota di sepanjang pesisir dunia. Amsterdam, Venezia, New York. Selama-lamanya punah.
Ratusan juta kelaparan di negeri-negeri miskin. Di tempat lain, kemakmuran tingkat tinggi berlanjut…. Sebagian besar pemerintah di negeri-negeri maju menerapkan sanksi hukum untuk menjatah kehamilan-dan itu sebabnya robot merupakan faktor esensial dalam ekonomi: tak pernah lapar dan konsumsi energinya tak lebih dari ketika ia diproduksi pertama kali…."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maka, di sebuah kota Amerika, para teknolog pun menciptakan "Mecha", robot yang canggih. Seorang pakar, Profesor Hobby, punya rencana lebih: memproduksi "sebuah robot bocah… yang sungguh-sungguh mencintai orang tuanya, orang tua tempat ia dipasangkan, dengan kasih yang tak bisa pudar".
Dan terbentuklah David, Mecha yang unik. Dengan itu, A.I. Artificial Intelligence, film Steven Spielberg dari tahun 2001, berkisah tentang masa depan yang menakutkan tapi membuka ingatan akan cerita bahagia Pinokio karya Collodi abad ke-19.
David, android itu, ditaruh di rumah Monica dan Henry Swinton. Anak pasangan ini sedang dirawat karena penyakit yang langka, dan David jadi si buyung ad interim, ditemani Teddy, sebuah robot beruang kecil.
David diprogram untuk mencintai Monica dan Henry. Apalagi setelah Monica-yang jatuh hati-mengaktifkan satu protokol dalam robot itu hingga tumbuh kasih sayang yang mendalam kepadanya.
Tapi hubungan ini punya komplikasi. Setelah lima tahun, Martin, anak kandung Monica dan Henry, pulang dari perawatan. Ia cemburu melihat hubungan David dengan ibunya. Ia coba merusaknya dengan menyetel si android untuk memotong rambut Monica dengan gunting besar. Orang tua angkatnya cemas. Ketika pada suatu ketika Martin nyaris mati tenggelam karena sebuah insiden yang melibatkan David, sang ayah memutuskan mengembalikan robot itu ke pabriknya agar dihancurkan.
Monica membawanya ke sana bersama Teddy-tapi ibu itu tak sampai hati. Ia taruh android itu dengan ditemani Teddy di sebuah hutan.
Tapi David tak mau berpisah. Cinta telah mengikatnya. Ia memeluk leher Monica erat-erat, menangis. Ia ingin balik ke rumah. Ia mau berubah jadi "bocah sungguhan" seperti Martin agar diterima kembali. Ia ingin seperti Pinokio, si boneka yang akhirnya jadi manusia.
Monica: "Itu cuma dongeng."
David: "Tapi dongeng menceritakan yang terjadi."
Monica: "Dongeng tak riil. Kamu tak riil…."
Dan dengan sedih ditinggalkannya robot itu. David pun mencari jalan bagaimana tak lagi jadi Mecha. Ia percaya akan nasib Pinokio. Ia juga ingin ditolong Peri Biru. Ia mencari peri yang bisa menjadikannya anak manusia.
Ditemani Teddy dan Gigolo Joe, robot seks, ia sampai di Rogue City. Di sana ia menemui Dr Know, hologram yang bisa menjawab segala pertanyaan. Tapi David hanya mendengar teka-teki: "Sang Peri Biru ada di satu tempat… di ujung dunia di mana singa menangis dan mimpi dilahirkan."
Akhirnya David merasa melihat sendiri Peri Biru di bawah lautan yang dulu Kota New York. Ketika bersama Teddy ia mendekat dengan pesawat amfibikopter, sebuah roda putar raksasa jatuh menimpa. Mereka terjepit. Sumber energi android yang malang itu habis. Sementara itu, lautan berangsur-angsur membeku.
Dua ribu tahun kemudian, manusia punah. Bumi dihuni Mecha yang telah berevolusi-yang gembira menemukan tubuh David, Mecha yang pernah bertemu dengan manusia. David pun dihidupkan kembali, bersama kenangan dan harapannya yang tak kunjung putus untuk jadi bocah.
Tapi Peri Biru mengatakan, ia tak sanggup mengubahnya. Akhirnya David pasrah, tapi ia minta Monica-yang meninggal 2.000 tahun sebelumnya-dihidupkan kembali.
Baiklah, kata para Mecha, tapi cuma bisa sehari.
Waktu sehari cukup bagi David. Ia bertemu kembali dengan ibu angkatnya. Mereka berbaring, dan robot itu tersenyum dan air matanya merebak ketika Monica berbisik: "Aku sayang kamu, David, aku selalu sayang kamu."
Lalu ibu itu pun tertidur, tak akan bangun. Juga si anak. Teddy menggerakkan tangan seakan-akan memberkati. Di latar, terdengar sang pencerita bertutur: "David pun tidur. Dan buat pertama kali dalam hidupnya, ia pergi ke tempat di mana mimpi dilahirkan."
Film ini mungkin film science fiction yang paling menyentuh hati dan membangkitkan pertanyaan yang dalam-terutama di masa ini, ketika pelbagai AI diciptakan, dengan kemampuan yang menakjubkan: ulung dalam permainan Go yang rumit, menulis puisi-dan mungkin kelak membuat robot yang lebih canggih tanpa bantuan manusia.
Teknologi kembali memicu optimisme, tapi juga kecemasan. Stephen Hawking pernah memperingatkan, kelak, bila harus berhadapan dengan kecerdasan yang supercanggih, manusia akan kalah, sebagaimana orang Indian binasa oleh kekuatan conquistador Spanyol.
Tapi tidakkah cinta, atau kasih, atau rasa sayang akan tetap kuat, seperti dalam diri David, walau algorithma berkuasa?
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo