Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GERAK-gerik Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan tak lepas dari pantauan Presiden Joko Widodo. Ia tahu Luhut kerap bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, seterunya dalam pemilihan presiden 2014 yang kemungkinan besar akan maju lagi pada pemilihan mendatang. "Tiap minggu. Kadang, ya, tiga hari sekali bertemu. Saya ngerti semua. Ngerti," kata Jokowi dalam wawancara khusus dengan Tempo pada Jumat pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sebulan terakhir, dua kali Luhut dan Prabowo bertemu di Restoran Jepang Sumire, Hotel Grand Hyatt, Jakarta. Pertemuan pertama terjadi sebelum Rapat Koordinasi Nasional Gerindra pada 11 April lalu. Pertemuan kedua berlangsung sepekan kemudian. Luhut, yang hendak terbang ke Amerika Serikat, mampir ke Grand Hyatt dan berbincang dengan Prabowo selama 30 menit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain soal pengalaman masa muda, topik pembicaraan mereka adalah pemilihan presiden 2019. "Saya cuma bilang, kalau mau maju, ya majulah," ujar Luhut. Sang Menteri menampik kabar bahwa ia menawari Prabowo sebagai calon wakil Jokowi pada pemilihan presiden.
Kepada Tempo, Jokowi justru mengatakan pertemuan Luhut dengan Prabowo membuka peluang ia menggandeng Prabowo sebagai calon wakilnya. "He-he-he.... Saya terbuka pada opsi-opsi untuk kebaikan negara. Terbuka opsi-opsi apa pun-lah," tuturnya.
Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani mendengar dari Prabowo soal pertemuan dengan Luhut. Menurut Muzani, memang pernah muncul wacana agar Prabowo menjadi pendamping Jokowi pada pemilihan umum presiden mendatang. Prabowo, kata Muzani, memang tak terang-terangan menolak tawaran tersebut.
Sebagai orang Jawa, menurut Muzani, Prabowo menolak secara halus dengan mengatakan bakal tetap bertarung pada pemilu presiden mendatang. Salah satu jawaban Prabowo, seperti ditirukan Muzani, "Bang, kalau saya menjadi wakil Pak Jokowi, apa Abang kira tidak ada kekuatan yang bisa mengalahkan Jokowi?"
Maka, setelah berjumpa dengan Luhut pada awal April lalu, Prabowo menyatakan siap maju sebagai calon presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional Gerindra. Dengan 73 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Gerindra membutuhkan tambahan sekurang-kurangnya 39 kursi dari partai lain untuk mendaftarkan Prabowo dalam pemilihan presiden. Gerindra sudah menjalin kesepakatan tertulis dengan Partai Keadilan Sejahtera, yang memiliki 40 kursi di parlemen, untuk mengusung Prabowo.
Tapi PKS pun menjalin kontak dengan Jokowi. Menurut Jokowi, ia setidaknya dua kali bertemu dengan petinggi PKS. "Ada yang menyampaikan dengan PKS enggak pernah bertemu. Siapa bilang?" ujarnya.
Tiga bulan menjelang pendaftaran presiden, Jokowi bertemu dengan hampir semua partai politik. "Dengan hampir semua tokohnya bertemu," katanya. "Ada yang terbuka, ada yang tertutup." Topiknya apa lagi kalau bukan politik. "Kami blakblakan saja. Kalau bicara politik, kan, mesti pilpres. Kalau pilpres, apa? Ya, mesti koalisi. Gitu aja, kan. Ha-ha-ha...."
Jokowi tak menampik pandangan bahwa merapatnya sejumlah partai ke kubunya tak lepas dari elektabilitasnya yang terus menanjak. Survei Litbang Kompas pada awal April lalu menyebutkan tingkat keterpilihan Jokowi mencapai 55,9 persen, naik 9,6 persen dari enam bulan lalu. Sedangkan Prabowo menukik ke angka 14,1 persen dari 18,2 persen dalam periode yang sama. Bekas Panglima Tentara Nasional Indonesia, Gatot Nurmantyo, hanya mendapat 1,8 persen. Calon lain kurang dari 1 persen.
Walau elektabilitas Prabowo masih paling tinggi dibandingkan dengan calon lain, sejumlah orang dekat Jokowi menyebutkan "Ki Lurah" sebenarnya paling sreg bila lawannya Prabowo. "Ki Lurah" adalah sebutan pengganti untuk Jokowi dalam percakapan para petinggi partai koalisi.
Alasannya, elektabilitas Prabowo dinilai sudah mentok. Sigi lembaga lain menunjukkan hasil serupa dengan survei Litbang Kompas. Dalam sigi Indo Barometer pada Februari lalu, misalnya, elektabilitas Prabowo hanya berada pada angka 22,3 persen. Padahal popularitasnya sudah mencapai 87,7 persen.
Lembaga Populi Center juga memaparkan tingkat keterpilihan Prabowo yang turun secara konsisten. Pada Agustus 2017, elektabilitasnya masih berada di angka 32 persen. Pada Desember 2017, angka ini turun ke 27,3 persen, dan merosot lagi ke 23 persen pada Februari 2018.
Pernah bertanding melawan Prabowo pada 2014, kubu Jokowi percaya diri telah memahami strategi sang lawan. Apalagi Prabowo disebut tak sekaya sebelumnya. Calon Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, mendengar sendiri dari Prabowo soal hartanya yang menipis. Deddy, yang pernah mengikuti penjaringan calon gubernur di Partai Gerindra, mengatakan Prabowo bercerita bahwa ia sudah tak punya dana untuk maju sebagai calon presiden.
Alasan-alasan tersebut membuat ucapan Luhut yang mendorong Prabowo maju dalam pemilihan presiden sebagai lawan Jokowi jadi masuk akal. Melawan Prabowo, kata politikus yang kerap diutus Jokowi untuk menemui petinggi partai ini, relatif "tidak berkeringat" ketimbang menghadapi nama baru.
Siapa yang paling membuat khawatir Jokowi? Orang dekat Jokowi menyebut nama Gatot Nurmantyo. Meski elektabilitasnya masih rendah, Gatot dianggap masih memiliki daya kejut ketimbang calon lain. Sebab, popularitasnya belum mencapai puncak. Sebaliknya, tingkat kesukaan pemilih terhadap Gatot justru relatif tinggi.
Popularitas Gatot hanya berada di posisi kesembilan dengan angka 57,6 persen dalam sigi Indo Barometer per Februari lalu. Jokowi berada di posisi teratas dengan angka 97 persen. Meski Gatot tidak terlalu populer, tingkat kesukaan responden terhadapnya justru tinggi. Sebanyak 70,2 persen responden mengaku menyukai Gatot. Angka ini hanya kalah dibandingkan dengan Jokowi, yang disukai 75,1 persen.
Dalam survei Populi Center, Gatot bahkan tidak masuk 10 tokoh politik paling populer di Indonesia. Popularitas Gatot jauh di bawah Anies Baswedan, Agus Harimurti Yudhoyono, Hary Tanoesoedibjo, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, hingga Mahfud Md. Meski popularitasnya rendah, Gatot justru memperoleh tingkat penerimaan lebih tinggi ketimbang nama-nama yang lebih tenar. Pria 58 tahun itu hanya kalah dibanding Jokowi dan Prabowo di tiga kriteria strategis, yakni tokoh yang dianggap paling tegas, paling mampu memimpin, dan paling layak menjadi presiden 2019-2024.
Di luar itu, Gatot dianggap memiliki basis pemilih muslim konservatif karena perannya yang menonjol dalam demonstrasi "212", yang menuntut Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, dipenjarakan karena dianggap menodai agama. Gatot pun dianggap memiliki sumber dana yang besar. Kivlan Zen, bekas Kepala Staf Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat, yang kini dekat dengan Gatot, menyebutkan harta Gatot lebih banyak daripada Prabowo. "Gatot berani jual asetnya, Prabowo tidak," ujar Kivlan dalam suatu kesempatan.
Kepada Tempo pada akhir Maret lalu, Gatot membantah punya harta triliunan seperti yang disampaikan Kivlan. "Saya anggap itu doa," katanya.
Karena faktor-faktor itulah, menurut sejumlah orang dekatnya, Jokowi lebih kelesah jika Gatot menjadi lawannya pada pemilihan presiden mendatang. Jokowi justru disebut tidak terlampau khawatir kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Alasannya, angka kesukaan responden dalam sejumlah survei terhadap Anies jauh di bawah popularitasnya.
Jokowi menampik mencemaskan nama tertentu sebagai calon kompetitornya. Ia justru menyatakan, makin banyak calon, makin baik buat rakyat karena jadi banyak pilihan. "Siapa pun. Ini demokrasi. Terserah," ujar Jokowi.
Walau begitu, Jokowi menyatakan sudah menyiapkan sejumlah nama sebagai calon pasangannya untuk antisipasi. Nama calon wakil presiden bisa meroketkan elektabilitas. Keputusan memilih wakil, antara lain, ditentukan kombinasi calon presiden dan wakil presiden di kubu lawan.
Maksudnya, bila kubu seberang menyodorkan tokoh Islam sebagai wakil, Jokowi sudah punya nama dari kalangan yang sama. Demikian pula bila kandidatnya militer atau profesi lain. "Nama sudah banyak di sini," katanya sambil menunjuk saku kemeja batiknya. "Militer bisa, profesional bisa."
Hanya, untuk urusan ini, Jokowi menghadapi dilema. Ia mesti bernegosiasi dengan partai pendukungnya. Partai ramai-ramai menyorongkan kadernya. Ketua Dewan Pakar Golkar Agung Laksono, misalnya, mengusulkan Jokowi mengambil ketua umumnya, Airlangga Hartarto, sebagai wakil presiden. Usul serupa datang dari politikus senior Golkar, Akbar Tandjung.
Airlangga tak bersedia berbicara tentang namanya yang disorongkan sebagai calon pendamping Jokowi. "Pembicaraan di luar pencalonan presiden bakal dibahas setelah pemilihan kepala daerah," ujar Airlangga.
Partai Kebangkitan Bangsa bahkan menyorongkan ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, dengan ancaman. Sekretaris Jenderal PKB Lukman Edy mengatakan mereka bakal membentuk poros baru jika Jokowi tidak memilih Muhaimin. Bila hal itu terjadi, kata Lukman, "Masih memungkinkan terwujud (poros baru) meski ada ikatan tertentu."
Partai Persatuan Pembangunan juga mendorong ketua umumnya, Romahurmuziy. "Tidak ada kata tidak siap kala negara memanggil atau rakyat memerlukan," ujar Romahurmuziy.
Saling sorong ini memanaskan koalisi Jokowi. Politikus PKB dan PPP saling sindir di ruang publik untuk menjagokan calon masing-masing. Lukman Edy menyindir politikus PPP yang ikut-ikutan menyorongkan Romahurmuziy. Sebab, Muhaimin lebih dulu mendeklarasikan diri sebagai calon wakil presiden. "Dia mau menghidupkan lampunya," Lukman Edy menyindir.
PPP justru menuding PKB tak tahu diri mencalonkan Muhaimin sebagai wakil Jokowi. PKB dianggap tak berkontribusi dalam memoles citra Jokowi di hadapan pemilih Islam. PPP mengklaim, sejumlah pertemuan Jokowi dengan kiai terjadi berkat perannya.
Jokowi mengatakan akan membicarakan calon wakil presiden dengan partai koalisi. "Partai pendukung, relawan, pasti diajak bicara," katanya. "Kalau malamnya sudah salat istikharah, kemudian ketemu nama, ya, saya sampaikan esoknya," ujarnya.
Menurut Jokowi, calon wakil bakal diumumkan pada hari seputar pemilihan kepala daerah serentak 2018, yang akan diselenggarakan pada 27 Juni. "Nanti setelah pilkada. Tapi mungkin bisa sebelumnya. He-he-he...."
Wayan Agus Purnomo, Yusuf Manurung, Imam Hamdi (Jakarta), Ahmad Fikri (Bandung), Wahyu Muryadi (Washington, DC)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo