Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benarkah akal lebih baik ketimbang okol? Dalam petuah Jawa, itulah yang sering dikatakan: akal umumnya diartikan sebagai nalar, okol kekuatan kasar. Sebaiknya, demikian dinasihatkan, kita gunakan nalar dalam beradu pendapat, jangan dengan gertak dan kekerasan. Melalui nalar, orang akan bisa diyakinkan dan akan menerima posisi kita bukan karena ketakutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi perlu ada catatan: "akal" tak niscaya sama dengan "nalar". Tak jarang "akal" mengacu kepada kecerdikan. "Akal-akalan" adalah kata yang menyiratkan kepintaran memperdaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mungkin sebab itu lebih baik kita bedakan "akal" dengan "akal budi", kata lain buat nalar, yang dalam bahasa Inggris disebut reason: kapasitas membentuk makna secara sadar dari gejala yang tampak, mempertegas fakta dan mengujinya, menggunakan logika, dan menjelaskan dan mengoreksi cara bekerja, kebiasaan, atau keyakinan. Kata "budi" mengandung sisi ethis: kemampuan kita memakai nalar juga kemampuan kita membedakan mana yang baik dan mana yang keji, dan memilih yang pertama.
Sisi ethis akal budi ini yang membuat nalar bukan satu kemampuan yang unggul tersendiri, terlepas dari totalitas diri manusia. Dalam kitab Wulangreh, misalnya, melatih kemampuan nalar bertautan dengan melatih "kalbu", hati nurani, dan jasmani:
Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, kaprawiran den kaesthi pesunen sariranira, sudanen dhahar lan guling.
(Biasakanlah engkau melatih kalbu, agar tajam dan cerdas menangkap tanda dan gejala. Jangan hanya makan-minum. Bersikap perwira adalah menggembleng tubuh; kurangilah makan dan tidur.)
Tampak, bagi Wulangreh, membiasakan diri sepenuhnya dalam kenikmatan jasmani bertentangan dengan melatih kecerdasan dan mempraktikkan kearifan.
Ini agaknya ajaran yang beredar dari masa ke masa: hanya memanjakan tubuh akan membuat kita abai dan lemah pikir. Yang paling menarik di abad ke-4 sebelum Masehi, di Yunani Kuno: Sokrates, penganjur rasionalitas dalam hidup dan politik mengecam kenikmatan-dan menarik: ia menentang retorika.
Retorika, baginya, cuma enak didengarkan: bisa merayu orang sedemikian rupa hingga jauh dari susah payah mencapai kebenaran dan keadilan. Kepintaran dalam retorika (dalam Wulangreh disebut "sugihwuwus") bisa membuat orang terlena dan berhenti menggunakan nalar. Seorang orator, dengan retorikanya, "tak perlu mengetahui kebenaran", demikian Sokrates dikutip dalam Gorgias. Yang dibutuhkan hanya "menemukan cara membujuk". Retorika, bagi Sokrates, hanya seperti membuat masakan atau mempercantik diri. Ia bukan kiat (techne), melainkan cuma keterampilan yang tumbuh karena pengalaman, empereia. Tak ada hubungannya dengan nalar, tak pula memenuhi kebutuhan akal budi.
Sokrates-yang tak menyukai demokrasi-mengemukakan pandangannya di masa ketika Athena memanas oleh orang-orang yang dengan pidato yang hebat mengobarkan gelora perasaan para demos, orang ramai. Para orator itu membujuk khalayak ramai bukan karena keinginan akan pengetahuan dan kebenaran, melainkan dengan membuat demos merasa asyik. Mereka bertepuk dalam rapat politik, ikut marah, memuja atau membenci dalam mahkamah.
Wulangreh bahkan mengingatkan bahwa dengan ucapan yang seru dan memukau, oleh para orator "kedengkian diumbar, tanpa batas", panastene kang den umbar, nora nganggo sawatawis.
Ada yang sejajar di sini: Wulangreh adalah ajaran berkuasa (nge-reh) bagi generasi muda aristokrat Surakarta untuk mengikuti guru yang bukan sembarang guru; Sokrates memajukan argumentasi untuk mengganti semangat demokratik dengan sesuatu yang lebih perkasa: rasionalitas. Kita ingat, Sokrates anggap orang ramai dungu.
Tapi sebenarnya tak jelas benar apa yang dimaksudkan "rasionalitas" dalam politik. Kini kita ragu bisakah perjuangan ke arah kekuasaan dan hegemoni dijalankan dengan mempertahankan akal sehat. Asas yang diajarkan Machiavelli, yang mengutamakan tujuan negara dengan menghalalkan bahkan cara yang busuk, juga bisa dianggap penerapan akal "rasionalitas"-setidaknya yang disebut sebagai "rasionalitas instrumental".
Kini suasana "pasca-kebenaran" dikukuhkan; nilai-nilai yang dulu dinyatakan universal dianggap hanya topeng bagi pemegang hegemoni, hingga "berpihak" adalah sikap yang diutamakan. Kini, imbauan ke arah sebuah percaturan politik dengan "akal sehat" terdengar sumbang....
Maka apa yang bisa dilakukan?
Mungkin politik perlu lebih rendah hati tanpa mati semangat. Orang perlu mengakui bahwa "rasionalitas" dalam politik tak punya formula yang terang dan kekal. Lebih sering terjadi adalah "akal-akalan". Wajar bila pasca-Sokrates, Aristoteles mengakui: "Awal pemikiran rasional... bukanlah pemikiran rasional, melainkan sesuatu yang lebih kuat." Bukan wahyu Tuhan, melainkan hasrat akan kemerdekaan dan keadilan.
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo