ORANG tua itu membuka topi pandannya, dan menelentangkannya di
atas lemari kaca sebuah warung Sehari-hari ia mengemis, namun
kali ini ia datang bukan untuk minta-minta. Melainkan untuk
menukarkan serenceng mata uang Rp 5 -- sejumlah Rp 3.000. "Ini
saya kumpulkan dalam waktu seminggu" ujar pak tua itu. Yang
rupanya sudah berlangganan menukarkan recehan tersebut ke sana
tiap minggu. Lumayan juga. Begitulah lebih kurang sekelumit
penghasilan kaum pengemis di Jakarta. Mereka sejak lama memang
dipandang rada merusak keindahan Ibukota. Dan tak kurang dari
Majelis Ulama DKI menjelang akhir tutup tahun lalu, menyampaikan
beberapa nasehat kepada pemerintah DKI -- khusus perkara
pengemis ini. Di samping menyarankan agar dibuat aturan
larangan mengemis plus wajib kerja, saran yang ditandatangani
KH Abdullah Syafei dan H. Gozali Syahlan itu, sekaligus minta
agar di tempat yang biasa jadi pangkalan pengemis dipasang
spanduk: "Jangan didik pengemis untuk tetap jadi pengemis dengan
sedekal Saudara".
Dalam pada itu disadari pula, mengalirnya para pengemis itu ke
Jakarta, antaranya karena kesulitan ekonomi dan sempitnya
lapangan kerja di daerah. Juga karena kurangnya prasarana yang
dapat melancarkan suburnya pertanian maupun penyaluran hasilnya.
Sehingga ke alamat pemerintah pusat, Majelis mendesak agar
melaksanakan dengan sungguh-sungguh penyebaran pembangunan ke
daerah-daerah.
Namun anjuran agar tidak memberi sedekah pada pengemis, sepintas
terasa kurang simpatik. Apalagi di tengah mssyarakat yang "rasa
senasibnya" sudah kian menipis seperti laizimnya warga kota
besar. "Anjuran itu merusak kepekaan orang terhadap penderitaan
orang lain" komentar seorang seniman. "Mungkin" sambut Haji
Gozali, "tapi apakah untuk kepekaan itu harus merusak jiwa orang
lain?" Ditambahkannya, bahwa agama Islam memang mewajibkan
umatnya membantu kaum fakir miskin. Namun Haji Gozali belum
sepakat menganggukkan bahwa kaum pengemis di Jakarta serta-merta
terbilang fakir-miskin. "Mereka tak lebih dari orang yang malas"
cetusnya, sembari mengulas, "dari segi keadilan sosial saja, itu
sudah bertentangan". Ditunjuknya contoh bagaimana seorang
pembantu rumah tangga yang bekerja sehari suntuk, toh
berpenghasilan hanya Rp 4.000 sebulan. Sedang seorang pengemis
bisa Rp 500 sehari. Lalu dituturkannya sikap Nabi Muhammad Saw
dalam menghadapi seorang pengemis. Nabi tak memberi uang,
melainkan menyuruh orang itu menjual harta yang ada. Kemudian
dari hasilnya Nabi menganjurkan supaya memberi kapak untuk
bekerja. "Pekerjaan mengemis, merusak jiwa orang seumur hidup"
tambah Gozali. Ungkapan tadi tentu karena peribahasa: ketimbang
memberi ikan, tentu lebih bermanfaat memberi jala.
Cuma dalam menyediakan jala inilah, sebegitu jauh belum didapat
cara yang ampuh. Pernah kaum pengemis itu disadarkan lewat
hukuman (TEMPO, 3 Nopember 1974), setelah melalui serangkaian
operasi pembersihan. Hasilnya, balik asal. Seperti dikeluhkan
Drs Rianto sehari-hari Kepala Dinas Sosial DKI: "Kecuali yang
ditransmigrasikan, mereka yang pernah ditangkap dan dipulangkan
ke daerahnya, hampir semua kembali lagi". Dalam hitungannya,
maka dari sekitar 6.000 kaum tuna karya dan tuna wisma,
terdapat 500 pengemis. Dari kenyataan ini, Rianto berpendapat,
"penyelesaian yang tepat mesti secara nasional". Maksudnya,
pemerintah pusat perlu mencarikan jalan keluar, dengan
menyediakan lapangan kerja di sektor pertanian. Cara
penanggulangan selama ini, dipandangnya lebih membuang tenaga
dan biaya -- bila tak tersedia lapangan kerja. Dan akan halnya
saran Majelis Ulama DKI tadi, nampaknya sekedar memperkuat
sebuah keputusan Gubernur DKI, tentang larangan mengemis dalam
wilayah Ibukota, tahun 1972.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini