Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ke mana sedekah anda?

Majelis ulama dki mengusulkan agar pemerintah dki membuat aturan larangan mengemis disertai wajib kerja. penanggulangan yang ditempuh dinas sosial harus disertai dgn lapangan kerja. (kt)

17 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG tua itu membuka topi pandannya, dan menelentangkannya di atas lemari kaca sebuah warung Sehari-hari ia mengemis, namun kali ini ia datang bukan untuk minta-minta. Melainkan untuk menukarkan serenceng mata uang Rp 5 -- sejumlah Rp 3.000. "Ini saya kumpulkan dalam waktu seminggu" ujar pak tua itu. Yang rupanya sudah berlangganan menukarkan recehan tersebut ke sana tiap minggu. Lumayan juga. Begitulah lebih kurang sekelumit penghasilan kaum pengemis di Jakarta. Mereka sejak lama memang dipandang rada merusak keindahan Ibukota. Dan tak kurang dari Majelis Ulama DKI menjelang akhir tutup tahun lalu, menyampaikan beberapa nasehat kepada pemerintah DKI -- khusus perkara pengemis ini. Di samping menyarankan agar dibuat aturan larangan mengemis plus wajib kerja, saran yang ditandatangani KH Abdullah Syafei dan H. Gozali Syahlan itu, sekaligus minta agar di tempat yang biasa jadi pangkalan pengemis dipasang spanduk: "Jangan didik pengemis untuk tetap jadi pengemis dengan sedekal Saudara". Dalam pada itu disadari pula, mengalirnya para pengemis itu ke Jakarta, antaranya karena kesulitan ekonomi dan sempitnya lapangan kerja di daerah. Juga karena kurangnya prasarana yang dapat melancarkan suburnya pertanian maupun penyaluran hasilnya. Sehingga ke alamat pemerintah pusat, Majelis mendesak agar melaksanakan dengan sungguh-sungguh penyebaran pembangunan ke daerah-daerah. Namun anjuran agar tidak memberi sedekah pada pengemis, sepintas terasa kurang simpatik. Apalagi di tengah mssyarakat yang "rasa senasibnya" sudah kian menipis seperti laizimnya warga kota besar. "Anjuran itu merusak kepekaan orang terhadap penderitaan orang lain" komentar seorang seniman. "Mungkin" sambut Haji Gozali, "tapi apakah untuk kepekaan itu harus merusak jiwa orang lain?" Ditambahkannya, bahwa agama Islam memang mewajibkan umatnya membantu kaum fakir miskin. Namun Haji Gozali belum sepakat menganggukkan bahwa kaum pengemis di Jakarta serta-merta terbilang fakir-miskin. "Mereka tak lebih dari orang yang malas" cetusnya, sembari mengulas, "dari segi keadilan sosial saja, itu sudah bertentangan". Ditunjuknya contoh bagaimana seorang pembantu rumah tangga yang bekerja sehari suntuk, toh berpenghasilan hanya Rp 4.000 sebulan. Sedang seorang pengemis bisa Rp 500 sehari. Lalu dituturkannya sikap Nabi Muhammad Saw dalam menghadapi seorang pengemis. Nabi tak memberi uang, melainkan menyuruh orang itu menjual harta yang ada. Kemudian dari hasilnya Nabi menganjurkan supaya memberi kapak untuk bekerja. "Pekerjaan mengemis, merusak jiwa orang seumur hidup" tambah Gozali. Ungkapan tadi tentu karena peribahasa: ketimbang memberi ikan, tentu lebih bermanfaat memberi jala. Cuma dalam menyediakan jala inilah, sebegitu jauh belum didapat cara yang ampuh. Pernah kaum pengemis itu disadarkan lewat hukuman (TEMPO, 3 Nopember 1974), setelah melalui serangkaian operasi pembersihan. Hasilnya, balik asal. Seperti dikeluhkan Drs Rianto sehari-hari Kepala Dinas Sosial DKI: "Kecuali yang ditransmigrasikan, mereka yang pernah ditangkap dan dipulangkan ke daerahnya, hampir semua kembali lagi". Dalam hitungannya, maka dari sekitar 6.000 kaum tuna karya dan tuna wisma, terdapat 500 pengemis. Dari kenyataan ini, Rianto berpendapat, "penyelesaian yang tepat mesti secara nasional". Maksudnya, pemerintah pusat perlu mencarikan jalan keluar, dengan menyediakan lapangan kerja di sektor pertanian. Cara penanggulangan selama ini, dipandangnya lebih membuang tenaga dan biaya -- bila tak tersedia lapangan kerja. Dan akan halnya saran Majelis Ulama DKI tadi, nampaknya sekedar memperkuat sebuah keputusan Gubernur DKI, tentang larangan mengemis dalam wilayah Ibukota, tahun 1972.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus