MAKA bergetarlah gelombang TV dari utara, yang ditangkap di kota Pontianak dan sekitarnya. Benar tangkapannya di sini tidak semulus di daerah Sambas atau Singkawang. Tetapi toh sudah mendingan ketimbang tidak ada apa-apa. Ini adalah saat permulaan populernya acara-acara yang dilemparkan oleh tv Malaysia -- lewat jaringan Serawak. Enaknya lagi, bahasa pengantar yang
dipakai siaran Malaysia tersebut tampaknya dengan mudah dan akrabnya diterima rakyat setempat. Dialeknya dikenal baik, terutama oleh mereka yang berada di pinggiran kota. "Wah, cukup jelas", kata Lusiana Lysa, seorang guru bidan di sebuah asrama Rumah Sakit Bersalin yang memiliki pesawat ukuran 24 inci. "Apalagi kalau sudah beranjak pukul 21.00 Wita, bagus sekali tangkapannya".
Akan siaran dari Jakarta, yang mereka dengar juga bakal
menampilkan siaran-siaran berwarna, perkembangannya baru sampai
ke taraf pepatah: Hasrat hati memeluk gunung. Habis belum
mungkin ditangkap di sini karena stasiun penerus dan pemancar
masih baru akan dibangun. Memang bukan sedikit risaunya Tobing,
Kepala RRI Pontianak. Ia tidak mungkin berdiam diri saja. "Saya
sudah melapor ke pusat", ujarnya kepada pembantu TEMPO di sana.
Perihal popularitas siaran Malaysia itu masuk dalam pikirannya.
Yakni bagaimana caranya nanti mengimbangi manakala tv Jakarta
sudah mematuk Pontianak. Dianjurkannya, di daerah seperti Sambas
misalnya, harus dibangun stasiun penerus untuk Jakarta. Tapi
sudah jelas: seandainya tak ada dua buah puncak yang tingginya
500 m dan 1100 m, maka kalau ditarik garis lurus dari Serawak ke
Pontianak, tak ayal siaran Malaysialah yang bakalan paling sip
diterima di Pontianak. Tapi yang paling penting memang:
bagaimana caranya agar di tahun 1976 benar-benar Jakarta sudah
masuk Pontianak. Sebab kalau tidak, akibatnya tersimpul dalam
pepatah lagi: Tak kenal maka tak cinta.
Pontianak sekarang ini jadi bersolek di sebelah atas. Di
puncak-puncak toko dan rumah penduduk tersembul tiang-tiang dari
pipa ledeng menjulang sampai ketinggian 16 m. Menghadapi
kenakalan angin yang tak bisa diduga, kiri kanan antena tv itu
diikat kawat. Dekorasi jaringan awat ini, indah tak indah,
bagaikan ciri sebuah rumah yang sudah mampu ber-tv. Sebab sebuah
tv 24 inci komplit dengan sangkar kawatnya sudah mencapai harga
Rp 260.000. Setiap malam banyak film bisa ditonton, di samping
warta-berita pihak Malaysia. Tetapi seringkali juga perlombaan
jenake, dagelan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini