Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

TV Lagi

Siaran TV Malaysia lewat jaringan serawak, sangat populer di kota pontianak. Tanpa stasiun penerus & pemancar tinggi, siaran TVRI Jakarta tidak dapat masuk, dan mampu mengimbangi siaran Malaysia. (md)

17 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKA bergetarlah gelombang TV dari utara, yang ditangkap di kota Pontianak dan sekitarnya. Benar tangkapannya di sini tidak semulus di daerah Sambas atau Singkawang. Tetapi toh sudah mendingan ketimbang tidak ada apa-apa. Ini adalah saat permulaan populernya acara-acara yang dilemparkan oleh tv Malaysia -- lewat jaringan Serawak. Enaknya lagi, bahasa pengantar yang dipakai siaran Malaysia tersebut tampaknya dengan mudah dan akrabnya diterima rakyat setempat. Dialeknya dikenal baik, terutama oleh mereka yang berada di pinggiran kota. "Wah, cukup jelas", kata Lusiana Lysa, seorang guru bidan di sebuah asrama Rumah Sakit Bersalin yang memiliki pesawat ukuran 24 inci. "Apalagi kalau sudah beranjak pukul 21.00 Wita, bagus sekali tangkapannya". Akan siaran dari Jakarta, yang mereka dengar juga bakal menampilkan siaran-siaran berwarna, perkembangannya baru sampai ke taraf pepatah: Hasrat hati memeluk gunung. Habis belum mungkin ditangkap di sini karena stasiun penerus dan pemancar masih baru akan dibangun. Memang bukan sedikit risaunya Tobing, Kepala RRI Pontianak. Ia tidak mungkin berdiam diri saja. "Saya sudah melapor ke pusat", ujarnya kepada pembantu TEMPO di sana. Perihal popularitas siaran Malaysia itu masuk dalam pikirannya. Yakni bagaimana caranya nanti mengimbangi manakala tv Jakarta sudah mematuk Pontianak. Dianjurkannya, di daerah seperti Sambas misalnya, harus dibangun stasiun penerus untuk Jakarta. Tapi sudah jelas: seandainya tak ada dua buah puncak yang tingginya 500 m dan 1100 m, maka kalau ditarik garis lurus dari Serawak ke Pontianak, tak ayal siaran Malaysialah yang bakalan paling sip diterima di Pontianak. Tapi yang paling penting memang: bagaimana caranya agar di tahun 1976 benar-benar Jakarta sudah masuk Pontianak. Sebab kalau tidak, akibatnya tersimpul dalam pepatah lagi: Tak kenal maka tak cinta. Pontianak sekarang ini jadi bersolek di sebelah atas. Di puncak-puncak toko dan rumah penduduk tersembul tiang-tiang dari pipa ledeng menjulang sampai ketinggian 16 m. Menghadapi kenakalan angin yang tak bisa diduga, kiri kanan antena tv itu diikat kawat. Dekorasi jaringan awat ini, indah tak indah, bagaikan ciri sebuah rumah yang sudah mampu ber-tv. Sebab sebuah tv 24 inci komplit dengan sangkar kawatnya sudah mencapai harga Rp 260.000. Setiap malam banyak film bisa ditonton, di samping warta-berita pihak Malaysia. Tetapi seringkali juga perlombaan jenake, dagelan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus