Ngelmu iku, kalakone kanti laku
MEMPEROLEH kearifan bukanlah cuma kegiatan teoritis. Kita tak
jadi bijaksana, bersih hati dan bahagia karena membaca buku
petunjuk yang judulnya bermula dengan ow to.... Kita harus
terjun, kadang hanyut kadang berenang dalam pengalamam Kita
harus berada dalam perbuatan, dalam merenung dan merasakan:
dalam laku. Ujian dan hasil ditentukan di sana.
Pelukis S. Sudjojono pernah ditanya dengan teori apa dia
melukis. Jawabnya: "Tak pakai teori. Apa saudara pernah membikin
teorinya orang naik sepeda?".
Pengetahuan memang tak cuma sampai pada kita melalui anak tangga
argumen, tapak demi tapak discourse. Banyak momen dalam hidup di
mana kita langsung tahu, langsung mengerti, dan mengangguk.
Penghayatan akan ke-Maha-Hadiran Tuhan misalnya, akan indah dan
benar-Nya, bukan hasil konklusi debat. Persentuhan dengan apa
yang dalam literatur sufi Jawa disebut kasunyatan memang sesuatu
yang lain dari sekedar kehebatan menghapal ucapan Nabi.
Yang terakhir inilah yang dikritik Mangkunegara IV: pongahnya
orang yang pintar teori tapi tak faham bahwa ngelmu iku kalakone
kann laku. "Tinggalkan pikiran rumit, agar dapat melihat jawab
yang tersembunyi. Diamlah dari kata-kata, agar memperoleh
percakapan abadi". Itulah kata-kata Jalaluddin Rumi dari abad
ke-13. "Ia yang tak mencicipi, tak mengetahui", katanya pula,
sebagaimana dikutip dalam The Sufis oleh Idries Shah.
Tapi mengakui. bahwa teori bukanlah subsitusi bagi pengalaman,
tak berarti harus mengakui, bahwa laku dan penghayatan langsung
-- pengetahuan intuitif -- adalah sesuatu yang gaib. Sebab
intuisi-lah sebenarnya yang mendasari pengenalan kita
sehari-hari. Tak ada yang ajaib bila seorang penyair "mengerti"
isyarat Tuhan, melalui keindahan, meskipun ia tak berhasil
mengisahkannya dalam sajak.
Sayangnya, alam pikiran kita -- khususnya Jawa nampaknya tengah
mandeg. Kita cukup berpegang pada para pujangga lama, yang
hampir dianggap manusia sempurna -- hingga seandainya penyair
Rendra hidup di abad ke-18, ia pun mungkin di Yogya kini akan
dipuja sebagai orang sakti. Puisinya, misalnya Blues untuk
Bonnie, mungkin akan dianggap primbon. Kata-katanya orakel.
Sebab kini pun renungan tentang sangkan pararing dumadi -- suatu
kegiatan falsafi -- hampir diidentikkan dengan usaha mencari
wahyu. Sebab kini pun kebatinan, sebagai ekspresi yang dekat
dengan sufisme, diikuti untuk mendapatkan kejayaan, antara lain.
Tak mengherankan bila sifat palsu, serakah, sadar kehebatan diri
dan serba-curiga, tak hilang setelah itu.
Tengeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini