Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kebatinan untuk apa ?

Praktek kebatinan dilihat sebagai ekspresi yang dekat dengan sufisme untuk mendapat kejayaan. menurut alam pikiran jawa, suatu kegiatan falsafi hampir diidentikkan dengan usaha mencari wahyu. (fk)

16 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ngelmu iku, kalakone kanti laku MEMPEROLEH kearifan bukanlah cuma kegiatan teoritis. Kita tak jadi bijaksana, bersih hati dan bahagia karena membaca buku petunjuk yang judulnya bermula dengan ow to.... Kita harus terjun, kadang hanyut kadang berenang dalam pengalamam Kita harus berada dalam perbuatan, dalam merenung dan merasakan: dalam laku. Ujian dan hasil ditentukan di sana. Pelukis S. Sudjojono pernah ditanya dengan teori apa dia melukis. Jawabnya: "Tak pakai teori. Apa saudara pernah membikin teorinya orang naik sepeda?". Pengetahuan memang tak cuma sampai pada kita melalui anak tangga argumen, tapak demi tapak discourse. Banyak momen dalam hidup di mana kita langsung tahu, langsung mengerti, dan mengangguk. Penghayatan akan ke-Maha-Hadiran Tuhan misalnya, akan indah dan benar-Nya, bukan hasil konklusi debat. Persentuhan dengan apa yang dalam literatur sufi Jawa disebut kasunyatan memang sesuatu yang lain dari sekedar kehebatan menghapal ucapan Nabi. Yang terakhir inilah yang dikritik Mangkunegara IV: pongahnya orang yang pintar teori tapi tak faham bahwa ngelmu iku kalakone kann laku. "Tinggalkan pikiran rumit, agar dapat melihat jawab yang tersembunyi. Diamlah dari kata-kata, agar memperoleh percakapan abadi". Itulah kata-kata Jalaluddin Rumi dari abad ke-13. "Ia yang tak mencicipi, tak mengetahui", katanya pula, sebagaimana dikutip dalam The Sufis oleh Idries Shah. Tapi mengakui. bahwa teori bukanlah subsitusi bagi pengalaman, tak berarti harus mengakui, bahwa laku dan penghayatan langsung -- pengetahuan intuitif -- adalah sesuatu yang gaib. Sebab intuisi-lah sebenarnya yang mendasari pengenalan kita sehari-hari. Tak ada yang ajaib bila seorang penyair "mengerti" isyarat Tuhan, melalui keindahan, meskipun ia tak berhasil mengisahkannya dalam sajak. Sayangnya, alam pikiran kita -- khususnya Jawa nampaknya tengah mandeg. Kita cukup berpegang pada para pujangga lama, yang hampir dianggap manusia sempurna -- hingga seandainya penyair Rendra hidup di abad ke-18, ia pun mungkin di Yogya kini akan dipuja sebagai orang sakti. Puisinya, misalnya Blues untuk Bonnie, mungkin akan dianggap primbon. Kata-katanya orakel. Sebab kini pun renungan tentang sangkan pararing dumadi -- suatu kegiatan falsafi -- hampir diidentikkan dengan usaha mencari wahyu. Sebab kini pun kebatinan, sebagai ekspresi yang dekat dengan sufisme, diikuti untuk mendapatkan kejayaan, antara lain. Tak mengherankan bila sifat palsu, serakah, sadar kehebatan diri dan serba-curiga, tak hilang setelah itu. Tengeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus