KRITIK-kritik yang saya dengar di Moskow tertuju kepada pusat sistem Soviet dan -- ideologi komunis mereka. Dengan demikian, itu lewat jauh dari pembatasan-pembatasan yang diatur Gorbachev. Persoalan mengenai multipartai merupakan salah satu yang dibicarakan. Gorbachev telah menyerukan adanya "pluralisme" yang lebih, besar dalam bidang-bidang sosial dan politik. Namun secara tegas ia mengatakan, itu tak berarti berlakunya sistem multipartai. "Peranan terkemuka" partai komunis yang artinya tak lain dari monopoli atas kehidupan politik, masih merupakan pusat dari sistem politik Soviet. Namun, dalam iklim Glasnost, kata-kata yang disebarkan oleh sang sekjen nampaknya tak punya dampak apa pun. Dalam pertemuan Front Populer itu, misalnya, seorang pembicara menyerukan "pemerintahan oleh rakyat dan bukan oleh partai". Seorang buruh yang sudah lanjut usianya mengutuk Marxisme sebagai "kekuasaan yang apotheosis", Revolusi Bolshevik sebagai "tragedi yang penuh dengan kekeliruan" dan prinsip "demokrasi sentralisme" sebagai telah "meratakan jalan untuk naiknya Stalin ke puncak kekuasaan" dan ke arah terciptanya "sistem partai tunggal yang bagaikan monster". Selama waktu istirahat sekelompok orang muda mengerumuninya, padahal dulu itu berarti ia akan dijeblosken ke dalam kam kerja paksa. Pada 15 November, Izuesha menurunkan tulisan yang dibuat oleh dua pakar hukum anggota Institut Kenegaraan dan Hukum yang menjadi bagian dari Lembaga ilmiah Uni Soviet Ahli pertama, Prof.B. Lazarev, mengemukakan bahwa "kepentingan-kepentingan pluraristis akan dapat sepenuhnya diekspresikan dalam sistem politik partai tunggal". Ahli yang satu lagi, Dr. Boris Kurashvilitak, menyetujui pandangan itu. "Suatu sistem satu partai yang sosialistis," katanya dengan tangkas, "merupakan salah satu komponen utama dalam suatu sistem demokrasi sosialis yang sudah berkembang." Saya pergi menemui Dr. Kurashvili di kantornya di Moskow. Ia mengatakan, "Saya menyebut diri saya sebagai seorang sosialis demokrat. Semua bentuk sosialisme yang pernah berlaku di Rusia, sampai sejauh ini -- mulai dari "komunisme perang" 1918-1919 sampai ke komunisme model Brezhnev -- adalah sosialisme yang telah dicampuri oleh otoriterisme." Ia mengagumi Kebijaksanaan Ekonomi Baru (NEP) Lenin, tapi kekaguman itu disertai pula dengan sikap kritis. NEP, yang diberlakukan pada 1921, memberikan beberapa konsesi tertentu kepada bisnis swasta. "Benar," katanya, "pada 1921 Teror Merah berakhir ketika NEP diberlakukan. Tapi, pemilihan wakil-wakil untuk duduk dalam dewan-dewan rakyat masih tidak demokratis. Pada kenyataannya, semua hak-hak sipil dari semua orang yang dicap atau dituduh sebagai anggota orde lama telah dibatalkan. Kekuasaan berada di tangan partai tunggal yang memerintah Demokrasi di dalam partai pun, pada dasarnya, sudah punah." "Sekarang", kata Kurashvili, "saatnya telah tiba untuk mempraktekkan suatu model baru sosialisme. Di dalam sistem tersebut antara lain harus dijamin kehadiran banyak partai termasuk yang dianggap sebagai liberal-borjuis. Pemilikan pribadi mesti dijamin dan tidak boleh dianggap bahaya, karena itu akan menjadi dasar pertumbuhan demokrasi sosialis." Kurashvili bukanlah orang yang paling ekstrem dalam usaha pencarian "model baru sosialisme". Masih ada lagi lusinan tokoh lain yang seperti dia. Dan, pada kenyataannya, Komite Sentral telah mengumumkan untuk membicarakan topik itu dalam pertemuannya pada bulan April ini. Itu malah dikatakan sendiri oleh Gorbachev dalam suatu ungkapan yang berbunyi "prinsip-prinsip filosofis dan politis pembaruan masyarakat Soviet". Tidak mengherankan kalau masalah multipartai itu akan menjadi mata acara perdebatan dalam Komite Sentral walaupun Gorbachev pribadi sebenarnya tak menyetujui itu. Malah tak akan ada peluang sedikit pun Komite Sentral akan menyetujuinya. Dalam suatu pidato baru-baru ini, Gorbachev mengatakan, "Rakyat Soviet sudah menjatuhkan pilihan atas sistem Sosialis yang berarti sistem partai tunggal. Sistem banyak partai takkan mungkin dibicarakan, dan mereka yang menganjurkan itu telah melakukan kekeliruan." Selagi pencarian dasar baru legitimasi komunis baik di dalam maupun di luar partai -- berjalan terus, untuk pertama kalinya kearifan Marx dan Lenin dipertanyakan. "Apakah Marx Perlu untuk Perestroika?" judul suatu artikel Sejarawan G. Lisichkin dalam terbitan terbaru Novyi mir. Jawaban yang diajukan atas pertanyaannya sendiri itu masih terlalu umum. Misalnya saja, ia mengatakan, ternyata terdapat "unsur-unsur sosialis yang lebih besar di negara-negara yang secara resmi tak mengatakan dirinya sebagai penganut sistem sosialis." Ia mengambil contoh sistem yang berlaku di Swedia. Mengenai Lenin, para penulis jurnal yang berani nyerempet-nyerempet bahaya sekalipun berusaha tidak secara langsung menyerangnya. Reformasi Gorbachev selalu dikatakan berasal dari ajaran-ajaran sang pendiri negara Soviet. Seorang wartawan memperlihatkan kepada saya beberapa potongan yang dihilangkan dari artikelnya oleh penyunting, walaupun ia sendiri dan sang penyunting tak lain dari penyokong berat: Perestroika. Salah satu potongan itu antara lain mengatakan tindakan Lenin membubarkan Dewan Rakyat pada 1918, pengadilan atas para tokoh sosialis-revolusioner pada 1922, sebagai rantai penghubung antara Leninisme dan Stalinisme. Komentar yang paling keras atas kebijaksanaan-kebijaksanaan Lenin datang dari sejarawan ekonomi Vasili Seliunin, dalam artikelnya yang berjudul Istoki Sumber-Sumber -- dimuat dalam Nouyi mir. Ia mempertanyakan kembali interpretasi ortodoks kebijaksanaan Lenin pada 1918, yang melakukan teror terhadap petani. Menurut tafsir tradisional, langkah Lenin itu tak lain dari suatu respons atas terjadinya bencana kelaparan, yang sebenarnya diakibatkan oleh penolakan para petani untuk menyerahkan padi-padian mereka kepada pemerintah. Menurut Seliunin, bukan bahaya kelaparan yang menjadi penyebab, tapi justru penyitaan atas padi-padian -- tentu saja secara implisit atas perintah Lenin -- yang mencetak kelaparan. Sejarawan Nikolai Popov malah berargumentasi lebih jauh. Ia mengatakan, Leninlah yang meletakkan dasar negara model Stalinis. Marx dan Engles, dewasa ini, bukan dewa yang tak bisa salah. Lenin sering dianggap bertindak salah, Stalin sebagai psikis, dan Brezhnev tak lain dari tokoh korup. Khrushchev berusaha memperbaiki semuanya itu, tapi ia disabot oleh rekan-rekannya. Andropov tak punya waktu banyak untuk membuktikan kesanggupannya, sedangkan Chemenko tak lebih dari catatan kaki dalam sejarah Soviet. Dengan demikian, siap sesungguhnya yang benar-benar pahlawan sosiali Soviet? Calon yang paling jelas tak lain dari Nikola Bukharin, "Pengikut Lenin yang paling setia" dan kampiun NEP, yang disembelih Stalin pada 1938. Konsepnya tentang ekonomi dan sistem politik bebas akhir-akhir ini telah menjadi dasar dalam membicarakan pembaruan. Tapi, selagi berbagai kebijaksanaan, Lenin sekarang sedang diteliti lagi, sejarah yang tersembunyi sekarang ini sedang digali lagi. Dalam proses ini bukan saja sekutu-sekutu Lenin -- Seperti Trotsky -- yang dinilai kembali, tapi juga lawan-lawan politiknya. Saya hadir pada suatu pertemuan dengan mahasiswa di Institut Sejarah dan Arsip, yang diatur sendiri oleh rektombya, yakni sejarawan yang suka ngomong blak-blakan, Yuri Afasanev. Saya menanyakan pendapat mereka akan silabus resmi yang memuat "daftar bacaan wajib" tentang Revolusi Oktober. Daftar itu hanya menyebut karya-karya Lenin dan beberapa pilihan dari buku Gorbachev yang berjudul Oktober dan Perestroika: Revolusi Berjalan Terus (Moskow, 1987). Sedangkan untuk periode 1920-an itu, hanya merekomendasikan tulisan-tulisan Bukharin, Zinoviev, dan Kemenev sebagai "Daftar Bacaan Tambahan". Saya katakan kepada mereka, itu tak lebih dari sejarah yang lebih condong pada kemauan partai. Mengapa Trotsky tak disebut? Dan bagaimana pula dengan karya-karya golongan Menshevik dan kaum sosialis-revolusioner? Mana mungkin suatu kuliah tentang sejarah Soviet melewatkan begitu saja Revolusi Maret 1917? Baik para mahasiswa maupun profesor, semuanya setuju. Mereka mengatakan, tiga tahun silam menyebut nama Zinoviev saja sudah merupakan hal yang mustahil. Sekarang, mereka bisa membaca buku-buku dan dokumen tentang orang itu, walaupun di perpustakaan bahan-bahan tersebut ditempatkan pada ruang khusus -- untuk memasukinya diperlukan izin istimewa. Mereka berharap, dalam waktu yang dekat akan dapat membaca karya-karya Trotsky yang sebenarnya akan keluar pada 1989. Buat Prof. Afanasev, salah satu sejarawan yang dihormati dan paling radikal di Soviet, istilah "rehabilitasi" merupakan kata terkutuk. "Tugas seorang sejarawan," katanya, "adalah menulis sejarah dan bukan membagi-bagikan sertifikat berkelakuan baik Sebagian besar sejarawan kami masih menganggap sejarah sebagai instrumen ideologi. Sampai sekarang tak ada tanda-tanda bahwa para penguasa akan menerima tuntutan diberlakukan suatu hukum yang membolehkan orang melihat dan membaca arsip Anda mesti menjilat-jilat para pejabat agar diperbolehkan membaca materi-materi tertentu, misalnya yang ada di Departemen Luar Negeri. Tapi, itu semuanya merupakan bagian dari perjuangan kami dan akan terus berlangsung sampai kapan pun."Dhn.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini